Senin, 18 Juni 2012

LEGALISASI FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC CO-OPERATION BETWEEN ASEAN AND THE PEOPLE'S REPUBLIC OF CHINA

 by: Amanah Dirasah Islamiyah, Muthi Fatihah, Yayan Al Fatah


1.      Pendahuluan
Pasar bebas atau free trade tengah marak di era globalisasi saat ini. Berbagai negara telah melakukan perjanjian kerjasama ekonomi dengan membangun kawasan perdagangan bebas (free trade area). Dengan adanya free trade diharapkan dapat membantu meningkatkan kondisi perekonomian suatu negara dengan memperoleh keuntungan dari kegiatan ekspor tanpa mengalami hambatan perdagangan. Salah satu kawasan perdagangan bebas yang ada adalah Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China.
       Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China atau disebut ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA),  merupakan  suatu kawasan perdagangan bebas di antara anggota-anggota ASEAN dengan negara China. Demi mewujudkan ACFTA dibuatlah Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between ASEAN and The People’s Republic of China yang disepakati di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 November 2002, dan ditujukan bagi pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN dengan China pada 1 Januari 2010.   
            Usulan pembentukan kawasan ini awalnya dicetuskan China pada bulan November 2000. Pada saat itu China sebagai salah satu negara dengan perekonomian yang maju  diprediksi akan menggeser Amerika Serikat pada posisi mitra dagang utama ketiga ASEAN, setelah Jepang dan Uni Eropa. 
            Sebagai anggota ASEAN Indonesia pasti tergabung dalam kawasan perdagangan bebas ini dan dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia karena akan menghancurkan industri dalam negeri dengan masuknya barang-barang dari China yang dikenal murah.
            Tulisan ini bertujuan untuk membahas bentuk legalisasi dari perjanjian kerjasama ekonomi menyeluruh antara ASEAN dengan China. Untuk mengetahui keefektifan dari perjanjian yang telah dibuat kita menganalisisnya dengan menggunakan teori legalisasi, yaitu suatu teori untuk mengukur efektif tidaknya suatu hukum internasional dengan melihat obligasi, presisi, dan delegasinya sehingga suatu hukum tersebut dapat dikategorikan sebagai soft law, moderate law, atau hard law.
2. Pembahasan  Legalisasi
a. obligasi

a. Obligasi adalah kumpulan aturan dan komitmen yang mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian itu. Untuk mengetahui tingkat obligasinya maka dilakukan analisa terhadap pasal-pasal yang termuat di dalam suatu hukum dalam hal kekuatan mengikatnya. Berikut hasil analisa kami terhadap pasal-pasal dalam  Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between ASEAN and The People’s Republic of China.
            Artikel pertama menjelaskan tentang tujuan–tujuan perjanjian ACFTA ini. Para pihak sepakat untuk mencapai tujuan seperti yang tercantum dalam poin (a) (b) (c) dan (d) dengan dibuatnya perjanjian ini. Dengan adanya kesepakatan tersebut maka para pihak terikat untuk dapat mencapai tujuan – tujuan tersebut
            Artikel kedua mengatur tentang langkah-langkah kerjasama ekonomi menyeluruh yang akan diterapkan. Para pihak sepakat untuk menegosiasikan secepatnya pendirian ASEAN-China Free Trade Area dalam waktu sepuluh tahun dengan melakukan kerjasama yang diatur dalam delapan pasal artikel ini. Artinya setiap pihak wajib  menerapkan langkah kerjasama ekonomi berupa (a) penghapusan hambatan dalam semua perdagangan barang, (b) liberalisasi perdagangan barang dan jasa, (c) pendirian rezim investasi secara terbuka dan berdaya saing, (d) memberi perlakuan khusus dan berbeda serta fleksibilitas untuk negara anggota ASEAN yang baru, (e) ketentuan fleksibilitas bagi para pihak dalam negosiasi ASEAN-China FTA untuk menanggulangi bidang-bidang yang sensitif dalam sektor-sektor barang, jasa dan investasi, (f) pembentukan langkah fasilitasi perdagangan dan investasi yang efektif, termasuk, tetapi tidak terbatas pada penyederhanaan prosedur kepabeanan dan pengembangan pengaturan pengakuan yang saling menguntungkan, (g) memberi ketentuan fleksibilitas bagi para pihak dalam negosiasi ASEAN-China FTA untuk bidang-bidang yang mungkin disepakati dalam rangka pendalaman hubungan perdagangan, investasi dan perumusan rencana aksi dan program untuk mengimplementasikan kerjasama dari sektor yang telah disepakati, dan (h) terdapat pembentukan mekanisme yang tepat dengan maksud efektifitas bagi implementasi persetujuan ini.
            Dari uraian tadi, ada satu poin yang kurang jelas, yaitu poin (f) tentang pembentukan langkah fasilitasi perdagangan dan investasi yang efektif, termasuk, tetapi tidak terbatas pada penyederhanaan prosedur kepabeanan. Di poin tersebut tidak dirinci apakah hal-hal lain yang berkaitan langkah perdagangan dan investasi efektif itu, selain prosedur kepabeanan tadi. Dengan demikian tingkat obligasi artikel 2 adalah moderate.
            Dalam, artikel ketiga terutama pasal pertama (a), dijelaskan bahwa untuk tujuan dari artikel perdagangan bebas ini terdapat beberapa ketentuan (definisi) yang harus diterapkan (kecuali jika dalam konteks sebaliknya), salah satunya yaitu ASEAN 6 yang merujuk kepada Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Dengan ini maka para pihak yang tertera di atas terikat dengan perjanjian ini.
Pada artikel keempat disebutkan bahwa para pihak sepakat untuk mengadakan negosiasi  bagi liberalisasi perdagangan jasa secara progresif dengan cakupan sektor secara signifikan. Dengan adanya kesepakatan diantara pihak tersebut, maka para pihak terikat dengan perjanjian tersebut.
Pada artikel kelima, disebutkan bahwa para pihak setuju untuk melakukan beberapa persyaratan untuk meningkatkan investasi dan menciptakan suatu rezim investasi yang bebas, mudah, transparan dan bersaing. Dengan adanya kesepakatan diantara pihak tersebut, maka para pihak wajib untuk melaksanakan persyaratan – persyaratan tersebut seperti yang tercantum dalam pasal (a) (b) dan (c).
            Pada artikel keenam ini terdapat dalam bagian 1 persetujuan yang membahas tentang perdagangan barang. Artikel 6 terdiri dari tiga pasal yang menjelaskan tentang penyelenggaraan Early Harvest Program. Dalam artikel ini para pihak setuju untuk mengimplementasikan suatu Early Harvest Program untuk produk-produk yang dicakup dalam pasal 3(a) dan yang dimulai dan diakhiri sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan dalam artikel ini. Dengan adanya kesepakatan diantara pihak tadi, maka para pihak wajib untuk menjalankan Early Harvest Programm sesuai produk-produk yang dicantumkan dengan waktu yang telah ditentukan pula.
            Dalam artikel ketujuh para pihak yang bersangkutan setuju untuk memperkuat kerjasama mereka dalam lima sektor utama dan memperluas kerjasama ke bidang lainnya. Para pihak wajib  mengimplementasikan program peningkatan kemampuan, dan bantuan teknis, terutama bagi negara ASEAN baru, dalam rangka menyesuaikan struktur ekonomi mereka dan memperluas perdagangan dan investasi mereka dengan China. Tingkat obligasi artikel 7 adalah tinggi.
            Artikel kedelapan menjelaskan tentang kerangka waktu untuk perdagangan barang, dan negoisasi mengenai pengurangan atau penghapusan tarif yang telah ditetapkan dalam artikel ketiga dari persetujuan, sehingga para pihak wajib untuk mematuhi jadwal yang telah ditetapkan. Untuk bidang kerjasama ekonomi lainnya dalam bagian sebelumnya, para pihak wajib terus membangun pada program, mengembangkan program kerjasama ekonomi baru dan menyelesaikan persetujuan mengenai berbagai bidang kerjasama ekonomi. Para pihak wajib melaksanakan implementasi secepatnya. Maka, obligasi artikel 8 adalah tinggi.
            Artikel kesembilan mengatur tentang Most Favoured Nation Treatment, di mana China harus menyetujui perlakuan MFN secara konsisten sesuai dengan peraturan dan persetujuan WTO terhadap seluruh pihak ASEAN.
            Artikel kesepuluh membahas tentang pengecualian umum yang berkaitan dalam keadaan yang menimbulkan suatu ketidakadilan. Adanya pengecualian umum yang diberikan membuat artikel 10 tingkat obligasinya adalah moderat.
            Artikel kesebelas memuat mekanisme penyelesaian sengketa dalam jangka waktu satu tahun setelah tanggal berlakunya persetujuan tersebut secara baik dengan cara konsultasi atau mediasi.
            Artikel keduabelas mengatur tentang adanya kelembagaan untuk negoisasi yaitu Komite Negoisasi Perdagangan ASEAN-China untuk terus melaksanakan program negoisasi yang telah ditetapkan dalam persetujuan.
            Artikel ketigabelas mengatur tentang pasal-pasal lainnya dalam persetujuan. Di sini dikatakan bahwa persetujuan ini harus memasukan lampiran-lampiran dan isi di dalamnya, semua instrumen resmi dimasa datang yang disepakati untuk mengikuti persetujuan ini kecuali diatur sebaliknya dan harus tidak mempengaruhi atau menghilangkan hak-hak. Diatur juga bahwa para pihak harus berusaha mencegah peningkatan pembatasan yang akan mempengaruhi penerapan persetujuan
            Artikel keempatbelas memuat tentang adanya kemungkinan perubahan tertentu dalam persetujuan. Dikatakan bahwa, pasal-pasal dari persetujuan ini mungkin dapat dimodifikasi melalui perubahan-perubahan yang disepakati bersama secara tertulis oleh para pihak.
            Artikel kelimabelas mengatur tentang penyimpanan persetujuan. Untuk negara-negara pihak ASEAN, persetujuan ini harus di simpan Sekjen ASEAN (Secretary-General of ASEAN)    
            Artikel keenambelas mengatur tentang waktu mulai berlakunya persetujuan ini, yaitu harus dimulai sejak tanggal 1 Juli 2003, dan para pihak berjanji akan menyelesaikan prosedur internalnya sebelum tanggal 1 Juli 2003.
            Setelah menganalisa setiap pasal kerangka kerjasama ekonomi ASEAN-China tadi, dapat diketahui bahwa terdapat 13 artikel dengan obligasi tinggi (high), dan 2 artikel dengan obligasi moderate. Obligasi persetujuan ini dilemahkan, salah satunya dengan adanya artikel 10 yang memberikan pengecualian apabila terdapat keadaan yang  menimbulkan ketidakadilan antara para pihak, dan diperbolehkan untuk tidak mematuhi persetujuan apabila harus melindungi keamanan nasionalnya atau melindungi hal yang berkaitan dengan kesenian, sejarah dan nilai arkeologi, atau langkah lain yang diperlukan untuk perlindungan moral masyarakat, atau perlindungan manusia, binatang atau tanaman hidup dan kesehatan. Dari hasil analisa tadi, dapat disimpulkan bahwa persetujuan ini memiliki tingkat obligasi yang moderat.
  
bPresisi
Presisi adalah jelas atau tidaknya suatu aturan, dan tidak adanya multitafsir bagi aturan tersebut sehingga dapat menjadi acuan bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Berikut adalah analisa tentang tingkat presisi Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between ASEAN and The People’s Republic of China.
Pada artikel pertama secara jelas disebutkan tentang tujuan – tujuan dibuatnya perjanjian ini. Namun, tujuan tersebut dijelaskan secara detail dan lebih lanjut dalam artikel – artikel selanjutnya
                  Mengenai langkah-langkah kerjasama ekonomi menyeluruh, di artikel kedua telah menjelaskan apa saja yang harus dilakukan dalam rangka pendirian ACFTA sepuluh tahun mendatang, yaitu (a) penghapusan secara progresif terhadap hambatan-hambatan dalam semua perdagangan barang, (b) liberalisasi perdagangan barang dan jasa dengan mencakup beberapa sektor, (c) pendirian rezim investasi yang terbuka dan yang berdaya saing sehingga disini dapat secara jelas untuk mendorong investasi dalam perdagangan tersebut, (d) memberi perlakuan khusus dan berbeda serta fleksibilitas untuk negara anggota ASEAN yang baru, (e) adanya ketentuan fleksibilitas dalam menanggulangi bidang sensitif dalam sektor barang, jasa, dan investasi yang akan dinegosiasikan lagi dan akan disepakati bersama dengan prinsip timbal balik, (f) pembentukan langkah fasilitasi perdagangan dan investasi yang efektif, termasuk, tetapi tidak terbatas pada penyederhanaan prosedur kepabeanan dan pengembangan pengaturan pengakuan yang saling menguntungkan, (g) perluasan kerjasama ekonomi dalam bidang bidang yang mungkin disepakati bersama diantara para pihak yang akan melengkapi pendalaman hubungan perdagangan dan investasi antara para pihak dan perumusan rencana- aksi dan program dalam rangka mengimplementasikan kerjasama dari sektor yang telah disepakati.
                  Beberapa poin dalam artikel 2 ini memiliki presisi yang tinggi, namun ternyata dilemahkan oleh poin (d) yang menjelaskan tentang adanya ketentuan perlakuan khusus dan berbeda serta fleksibilitas untuk negara–negara anggota ASEAN yang baru. Poin ini tergolong presisi rendah, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya keterangan spesifik dan lebih lanjut akan bagaimana perlakuan perlakuan khusus, berbeda dan fleksibel itu serta tidak adanya batasan–batasan yang jelas, sehingga dapat memunculkan pemahaman yang berbeda–beda tentang bentuk perlakuan khusus tersebut.
                  Begitu juga pada poin (f) dijelaskan bahwa pembentukan langkah – langkah fasilitasi perdagangan dan investasi yang efektif, termasuk, tetapi tidak terbatas pada penyederhanaan prosedur kepabeanan dan pengembangan pengaturan pengakuan yang saling menguntungkan. Kata – kata ‘including, but not limited to’ dalam pernyataan ini tidak detail / spesifik, sehingga tidak jelas prosedur kepabeanan sederhana seperti apa. Dapat disimpulkan tingkat presisi untuk artikel 2 adalah moderate.
                  Artikel ketiga terdiri dari delapan pasal yang mengatur tentang perdagangan barang. Pasal pertama menyatakan bahwa para pihak telah sepakat untuk mengadakan negosiasi dimana pajak dan peraturan perdagangan lainnya (kecuali, apabila diperlukan, semua yang diizinkan dibawah pasal XXIV (8) (b) dari persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan (GATT)) harus dihapuskan secara substansial untuk semua perdagangan antara pihak. Penggunaan kata “shall” dalam pasal ini menunjukkan ketegasan yang kuat, namun dengan penggunaan kata “Except, where necessary” dapat menimbulkan tafsir yang luas dan menunjukkan bahwa presisinya moderat. Kata “necessary” yang digunakan sifatnya sangat relatif, tidak terdapat keterangan yang cukup spesifik tentang kondisi yang ‘diperlukan’ itu.
                  Pada pasal kedua dijelaskan secara detail tentang ketentuan penetapan tarif. Untuk kasus negara – negara anggota ASEAN (yang menjadi anggota WTO sejak tanggal 1 Juli 2003) dan China, merujuk kepada penetapan tarif mereka masing – masing sejak 1 Juli 2003; dan dalam kasus negara – negara anggota ASEAN (yang bukan anggota WTO sejak 1 Juli 2003) merujuk kepada tingkat tarif seperti yang diterapkan pada China sejak tanggal 1 Juli 2003.
                  Pasal ketiga menyebutkan secara spesifik tentang program pengurangan atau penghapusan tarif dari para pihak, harus mensyaratkan bahwa tarif – tarif pada produk yang didaftarkan yang secara bertahap harus diturunkan tersebut, dapat diterapkan maupun dihapuskan dalam kaitannya dengan pasal ini.
                  Pasal keempat menjelaskan lebih jauh dan secara detail tentang produk dari pengurangan atau penghapusan tarif dalam artikel ini, harus memasukkan semua produk yang tidak dicakup dalam Early Harvest Programme, dan produk – produk tersebut harus dikategorikan menjadi dua jalur yaitu jalur normal dan jalur sensitif seperti yang tertera pada 4 (a) dan (b).
                  Pada pasal kelima dengan tegas diatur bahwa jumlah produk yang terdaftar dalam jalur sensitif harus berdasarkan pada suatu nilai maksimum teratas yang disepakati bersama diantara para pihak. Pasal keenam dengan jelas ditegaskan bahwa komitmen yang diambil oleh para pihak dibawah Pasal ini dan Pasal 6 dari Persetujuan ini harus memenuhi persyaratan WTO untuk menghapuskan tarif pada semua perdagangan secara subtansial (signifikan) diantara para pihak. Pasal ketujuh secara jelas mengatur bahwa tingkat tarif khusus yang akan disepakati secara bersama diantara para pihak sesuai dengan pasal ini harus hanya menetapkan batas tingkat tarif yang dapat diterapkan atau selang tahun tertentu untuk implementasinya oleh para pihak dan tidak boleh menghalangi setiap Pihak untuk melakukan percepatan penurunan atau penghapusan tarifnya jika hal tersebut diharapkan.
                  Pada pasal kedelapan terutama poin kelima (e) menyebutkan bahwa tindakan non tarif yang dikenakan pada setiap produk yang tercakup di dalam pasal ini dan Pasal 6 dari persetujuan ini termasuk, tapi tidak terbatas pada pembatasan kuantitatif atau pelarangan impor dari setiap produk atau ekspor atau penjualan untuk ekspor dari setiap produk, juga tindakan sanitary dan phytosanitary yang tidak dapat dijustifikasi secara keilmuan dan hambatan teknis perdagangan. Dalam pasal kedelapan diatas, terdapat kata - kata “including, but not limited” yang kurang spesifik dan dapat memunculkan banyak kemungkinan – kemungkinan yang lain. Kata – kata tersebut terlalu umum, sehingga mungkin akan memunculkan interpetasi lain. Sehingga tingkat presisi untuk artikel 3 ini adalah moderate.
               Artikel keempat menjelaskan secara detail tentang arah dari negosiasi yang disepakati para pihak untuk memperlancar / mempercepat perluasan perdagangan jasa.
                Artikel kelima dijelaskan tentang beberapa persyaratan yang disepakati para pihak dalam peningkatan investasi dan untuk menciptakan suatu rezim investasi yang bebas, mudah, transparan dan bersaing, antara lain:
a.       bernegosiasi dalam rangka untuk meliberalisasikan secara progresif rezim investasi;
b.      memperkuat kerjasama investasi, mempermudah investasi dan meningkatkan transparansi dari peraturan dan regulasi investasi
memberikan perlindungan terhadap investasi
            Artikel keenam terdiri dari 5 pasal yang menjelaskan tentang pengimplementasian Early Harvest Program. Pasal pertama menyatakan bahwa para pihak telah sepakat untuk melaksanakan Early Harvet Programm dengan cakupan produk seperti yang tertera pada pasal 3(a). Pasal kedua menjelaskan tentang ketentuan penetapan tarif. Untuk kasus negara-negara Pihak ASEAN (yang merupakan pihak WTO sejak tanggal 1 Juli 2003)dan China, merujuk kepada penerapan tarif mereka masing-masing sejak 1 Juli 2003; dan dalam kasus negara-negara pihak ASEAN (yang bukan merupakan Pihak WTO sejak tanggal 1 Juli 2003) merujuk kepada tingkat tarif seperti yang diterapkan pada China sejak tanggal 1 Juli 2003.
            Pasal 3(a) mengatur secara spesifik tentang cakupan produk, pengurangan dan penghapusan tarif, penerapan kerangka kerja, peraturan asal barang, tindakan-tindakan darurat dan ganti rugi dalam perdagangan yang dapat diterapkan terhadap Early Harvest Program. Semua produk yang tercantum dan pada tingkat digit 8/9 (HS code) harus dicakup oleh Early Harvest Program, kecuali  termasuk dalam Daftar Pengecualian (Exclusion List) seperti yang tercantum dalam lampiran 1 persetujuan.
            Pada pasal 3(b) diatur tentang tentang pengurangan dan penghapusan tarif, yaitu semua produk-produk yang termasuk Early Harvest Program harus dibagi ke dalam 3 kategori produk untuk pengurangan dan penghapusan tarif seperti yang telah ditentukan dan diimplementasikan sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan dalam lampiran 3 dari persetujuan. Pasal ini tidak boleh menghalangi pihak untuk mempercepat pengurangan atau penghapusan tarifnya jika itu yang diharapkan.
            Pasal 3(c) mengatur peraturan asal barang sementara (Interim Rules of Origin) yang dapat diterapkan terhadap produk-produk yang dicakup dalam Early Harvest Program harus dinegosiasikan dan diselesaikan pada bulan Juli 2003. Peraturan Asal Barang Sementara tersebut harus diperbaharui dan diganti dengan Peraturan Asal Barang yang akan dinegosiasikan dan diimplementasikan oleh para pihak berdasarkan Pasal 3(8)(b).
Pasal 3(d) mengatur secara rinci tentang penerapan pasal-pasal WTO yang mengatur modifikasi dari komitmen, tindakan-tindakan pengamanan (safeguard actions) dan langkah-langkah darurat (emergency measures) dan ganti rugi perdagangan lainnya, termasuk tindakan-tindakan anti-dumping, subsidi dan countervailing measures, dalam bentuk sementara, harus dapat diterapkan terhadap produk-produk yang dicakup dibawah Early Harvest Program dan harus diperbaharui dan digantikan dengan peraturan yang relevan yang telah dinegosiasikan dan disetujui oleh para pihak berdasarkan artikel 3(8) persetujuan ini.
            Pasal 4 membahas tambahan untuk Early Harvest Program untuk perdagangan dalam barang, para pihak akan mencari kemungkinan Early Harvest Program tersebut untuk perdagangan jasa pada awal tahun 2003.
            Pasal 5 menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan dalam lampiran 4 dari persetujuan harus dilaksanakan atau dimplementasikan secepat mungkin. Dari semua pasal-pasal pada artikel 6 ini, dapat disimpulkan bahwa artikel 6 memiliki presisi yang tinggi.
            Artikel ketujuh terdiri dari empat pasal yang menjelaskan bidang-bidang kerjasama ekonomi selain perdagangan. Pasal 1 menjelaskan secara rinci tentang persetujuan untuk memperkuat kerjasama mereka dalam sektor utama yaitu pertanian, teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan sumberdaya manusia, Investasi, dan pengembangan sungai Mekong. Berikutnya pada pasal 2 secara rinci menjelaskan bahwa kerjasama harus diperluas ke bidang  lainnya secara tidak terbatas pada perbankan, keuangan, pariwisata, kerjasama industri, transportasi, telekomunikasi, HKI, UKM, lingkungan, bio-teknologi, perikanan, kehutanan dan produk-produk hutan, pertambangan, energi dan pengembangan sub-regional.  Pasal 3 menjelaskan secara rinci bahwa langkah-langkah untuk memperkuat kerjasama mereka tidak terbatas pada promosi dan fasilitasi perdagangan barang dan jasa, dan investasi, peningkatan daya saing UKM, promosi e-commerce, peningkatan kemampuan dan transfer teknologi. Terakhir pada pasal 4 menjelaskan tentang  adanya persetujuan untuk mengimplementasikan program dalam rangka menyesuaikan struktur ekonomi mereka dan memperluas perdagangan dan investasi mereka dengan China. Dengan demikian presisi untuk artikel 7 adalah tinggi.
            Dalam artikel kedelapan terdapat empat pasal yang memuat tentang kerangka waktu pelaksanaan persetujuan. Pada pasal 1 secara tegas memuat tentang negoisasi mengenai persetujuan terhadap penghapusan tarif dan hal-hal lainnya harus dimulai pada awal tahun 2003 dan akan berlaku pada tanggal 30 Juni 2004 dalam rangka mendirikan ASEAN-China FTA yang mencakup perdagangan barang pada tahun 2010. Pada pasal 2 dikatakan secara tegas memuat tentang persetujuan negoisasi mengenai peraturan asal barang yang harus diselesaikan paling lambat bulan Desember 2003. Pada pasal 3 dikatakan secara tegas pula mengenai persetujuan negoisasi untuk perdagangan jasa dan investasi harus dimulai pada tahun 2003 dan diakhiri secepat mungkin untuk implementasinya sesuai dengan kerangka waktu yang disepakati bersama. Pada pasal 4 secara tegas menjelaskan tentang persetujuan untuk bidang kerjasama ekonomi lainnya, para pihak harus terus membangun pada program-program yang ada dan melaksanakan secepatnya untuk implementasi awal dengan suatu keadaan dan pada suatu kecepatan yang dapat diterima oleh seluruh pihak yang terkait. Dari analisa dari pasal-pasal yang telah disebutkan dalam artikel 8 presisinya bersifat tinggi.      
            Pada artikel kesembilan secara tegas menjelaskan tentang Most Favoured Nation Treatment bahwa China harus menyetujui perlakuan MFN yang konsisten terhadap peraturan dan persetujuan WTO terhadap seluruh pihak ASEAN pada tanggal persetujuan ini ditandatangani. Dapat disimpulkan presisi artikel 10 tinggi
            Artikel kesepuluh  telah menjelaskan bahwa terdapat pengecualian umum yang dapat dilakukan. Pengecualian umum tidak diberlakukan dalam keadaan yang akan menimbulkan suatu ketidakadilan. Persetujuan ini juga tidak menghalangi setiap pihak untuk mengambil dan menentukan langkah-langkah untuk melindungi keamanan nasionalnya atau melindungi hal-hal yang berkaitan dengan kesenian, sejarah dan nilai arkeologi, atau langkah-langkah lain yang diperlukan untuk perlindungan moral masyarakat, atau perlindungan manusia, binatang atau tanaman hidup dan kesehatan. Jadi, apabila terdapat sesuatu dalam persetujuan yang membahayakan hal-hal yang telah disebutkan tadi, diberikan pengecualian bagi para pihak. Ini artinya presisi pada artikel 10 bersifat moderat.
Berikutnya pada artikel 11, dikatakan secara tegas pada pasal 1 bahwa pihak harus dalam dalam jangka waktu satu tahun setelah tanggal berlakunya persetujuan ini, membuat prosedur dan mekanisme secara formal untuk mencapai persetujuan ini. Pasal 2 secara tegas menjelaskan setiap sengketa mengenai interprestasi,implementasi harus diselesaikan secara baik dengan konsultasi dan mediasi. Dapat disimpulkan presisi artikel 11 tinggi   
                   Pada artikel 12 terdapat 4 pasal yang menjelaskan tentang kelembagaan untuk negoisasi. Pada pasal 1 secara tegas dikatakan Komite Negoisasi Perdagangan ASEAN-China yang telah didirikan ‘harus’ terus  dilaksankan program negoisasi yang telah ditetapkan dalam persetujuan. Pada pasal 2 telah dijelaskan para pihak diberi wewenang untuk mendirikan badan lainnya yang kemungkinan membantu untuk mengkoordinasi dan mengimplementasikan setiap kegiatan kerjasama dalam persetujuan ini. Pada pasal 3 dijelaskan secara tegas bahwa ASEAN-China TNC dan setiap badan yang tersebut diatas harus melaporkan secara rutin kepada para menteri Ekonomi ASEAN dan menteri dari Departemen Luar Negeri dan kerjasama Ekonomi China melalui pertemuan-pertemuan SEOM dan MOFTEC, mengenai kemajuan dan hasil dari negoisasinya. Pada pasal 4 menegaskan sekretariat ASEAN dan MOFTEC harus bersama-sama menyediakan dukungan sekretariat yang diperlukan ASEAN China TNC. Dapat disimpulkan dari 4 pasal yang ada dalam artikel 12 presisinya tinggi.  
       Berikutnya, artikel 13 secara tegas pada pasal 1 dikatakan bahwa persetujuan ini harus memasukkan lampiran-lampiran, semua instrumen resmi di masa datang yang disepakati persetujuan ini.  Pada pasal berikutnya secara tegas dikatakan harus tidak mempengaruhi atau menghilangkan hak-hak dan kewajiban suatu pihak. Dan pada pasal ketiga para pihak diharuskan mencegah pembatasan yang akan mempengaruhi persetujuan ini. Dapat disimpulkan presisi pada artikel 13 ini tinggi.
Artikel keempat belas mengatur tentang dapat dilakukannya perubahan terhadap isi persetujuan (amandemen). Adanya perubahan atau modifikasi yang dapat dilakukan terhadap persetujuan ini menunjukkan bahwa artikel ini memiliki presisi yang moderat.
Artikel kelimabelas mengatur tentang cara penyimpanan persetujuan. Artikel ini memiliki presisi yang tinggi karena secara tegas terdapat ada kata ‘harus’ bagi negara pihak ASEAN agar persetujuan ini disimpan oleh sekretariat ASEAN.
Artikel keenam belas dikatakan dengan tegas bahwa harus mulai berlaku pada persetujuan ini adalah 1 Juli 2003, seperti yang tertuang pasal 1,”Persetujuan ini harus mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2003Di dalam kalimat tersebut terdapat kata ‘harus’ yang artinya wajib dilakukan pada tanggal 1 Juli 2003.  Ini juga terlihat dalam pasal berikutnya yaitu, “Para pihak berjanji untuk menyelesaikan prosedur dalam negerinya untuk berlakunya persetujuan ini sebelum tanggal 1 Juli 2003.” Berikutnya pasal 3  secara tegas diberikan pengecualian bagi negara yang tidak sanggup menyelesaikan prosedur internal, sehingga hak kewajiban negara tersebut mulai berlaku pada tanggal diselesaikannya prosedur internal  dengan memberikan pemberitahuan tertulis bagi negara ASEAN yang lain. Dapat dikatakan artikel 16 memiliki presisi yang tinggi.
Setelah menganalisa setiap pasal kerangka kerjasama ekonomi ASEAN-China tadi, dapat dilihat bahwa terdapat 12 artikel memiliki presisi tinggi (high), dan 4 artikel moderate. Tingkat presisi persetujuan ini dilemahkan oleh salah satunya pada artikel 14, dikatakan bahwa pasal-pasal dalam persetujuan ini dapat dimodifikasi sesuai dengan perubahan yang telah disepakati. Ini artinya persetujuan ini tidak mutlak, sehingga masih bisa diubah lagi apabila terdapat kepentingan tertentu. Maka dapat disimpulkan persetujuan ini memiliki presisi yang moderat.

c. Delegasi
c.    
Delegasi adalah pihak ketiga yang ditunjuk untuk mengimplementasikan, menginterpretasikan, mengaplikasikan suatu perjanjian, dan menyelesaikan perselisihan. Delegasi menjadi bagian terpenting dalam hukum internasional karena ia merupakan pihak yang berwenang dalam penyelesaian konflik dan memberikan sanksi sehingga hukum internasional itu bisa berjalan efektif.  
            Berhubungan dengan penyelesaian sengketa, ASEAN China telah melakukan perjanjian tentang mekanisme penyelesaian sengketa dalam artikel 11. Di dalam artikel 11 disebutkan bahwa para pihak harus dalam 1 tahun setelah tanggal berlakunya persetujuan, membentuk prosedur dan mekanisme formal untuk penyelesaian sengketa. Apabila terjadi penundaan penetapan prosedur dan mekanisme formal penyelesaian sengketa, maka setiap sengketa mengenai interpretasi, implementasi atau aplikasi dari persetujuan harus diselesaikan secara baik dengan konsultasi dan atau mediasi.
            Dalam artikel 11 tidak dijelaskan apakah ada lembaga khusus yang ditunjuk sebagai penengah dalam mediasi atau memberikan konsultasi. Persetujuan ini hanya menjelaskan tentang dibentuknya lembaga negosiasi perdagangan pada artikel selanjutnya.
            Pada artikel 12 dijelaskan mengenai pembentukan kelembagaan negosiasi yaitu Komite Negosiasi Perdagangan ASEAN-China (The ASEAN China Trade Negotiation Committee /ASEAN-China TNC). Lembaga ini dibentuk untuk melaksanakan program negosiasi yang ditetapkan. Pada pasal 2 dikatakan para pihak boleh mendirikan badan lain yang mungkin diperlukan untuk mengkoordinasi dan mengimplementasikan setiap kegiatan kerjasama ekonomi yang diterima dalam persetujuan. ASEAN-China TNC dan setiap badan yang dibentuk harus melaporkan secara rutin kepada Para Menteri Ekonomi ASEAN (the ASEAN Economic Ministers-AEM) dan Menteri dari Departemen Perdagangan Luar Negeri dan Kerjasama Ekonomi China (the Minister of the Ministry of Foreign Trade and Economic Co-operation–MOFTEC), melalui pertemuan-pertemuan SEOM (Senior Economic Official Meeting) dan MOFTEC tentang kemajuan dan hasil negosiasi.        
            Selain itu, hal yang melemahkan persetujuan ini adalah tidak memuat hukuman yang akan diberikan apabila ada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa delegasi persetujuan ini tergolong moderat.

d.              Kesimpulan
Legalisasi dari Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between ASEAN and The People’s Republic of China ditentukan oleh tingkat obligasi, presisi, dan delegasinya. Setelah dilakukan analisa, ternyata secara legalisasi persetujuan ini memiliki tingkat obligasi, presisi, dan delegasi yang moderat, dan itu artinya persetujuan memiliki bentuk hukum yang tergolong moderate law.
            Bentuk legalisasi dari persetujuan ini tergolong moderate karena terdapat aturan-aturan yang memberikan pengecualian bagi pihak-pihak terkait untuk tidak melaksanakan kesepakatan apabila terjadi keadaan yang mengancam kepentingan nasional dan hal lain sesuai dengan yang diatur dalam persetujuan, selain itu juga masih diberikannya kesempatan membuat perubahan dalam pasal-pasal persetujuan ini. Ini artinya tiap pihak terkait bisa saja mengusulkan perubahan demi memperjuangkan kepentingan nasional masing-masing.
            Kerangka kerjasama ekonomi menyeluruh antara ASEAN dengan China ini dibuat secara moderate untuk mempertimbangkan keadaan dari beberapa negara anggota ASEAN yang baru agar dapat menyesuaikan diri dan mempersiapkan keadaan ekonomi dalam negerinya dalam rangka pendirian ASEAN-China Free Trade Area.
            

DAFTAR PUSTAKA

  
Internet
Alfian, H. 8 November 2009. Teori Legalisasi Bentuk Legalisasi dan Efektifitas Hukum Internasional Studi Kasus Legalisasi Common Effective Prefental Tarif. Diakses 7 Juni  2012, dari http://alfianheri.blogspot.com
 
Anonim. 20 September 2011. Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Diakses 7 Juni 2012, dari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas: http://id.wikipedia.org

The Official Website of the Association of Southeast Asian Nations. 2003. Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between ASEAN and The People’s Republic of China. Diakses 7 Juni 2012:  http://www.aseansec.org

Kamis, 07 Juni 2012

PENCAPAIAN PEMBANGUNAN POLITIK INDONESIA SETELAH EMPAT BELAS TAHUN REFORMASI


(by: Muthi Fatihah, disusun untuk tugas mata kuliah Teori Pembangunan)

1.                  Pendahuluan
Pembangunan pada dasarnya selalu menyentuh berbagai aspek kehidupan karena tidak dapat dilepaskan dari faktor ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat yang ada. Namun selama ini kita hanya menganggap program-program pembangunan yang ada atau sedang dilaksanakan hanya memprioritaskan pada pembangunan ekonomi saja, padahal sebenarnya kemajuan pada bidang ekonomi juga ditunjang dengan perkembangan bidang-bidang lain, salah satunya adalah pembangunan bidang politik.
            Pembangunan pada bidang politik adalah berupa transformasi dari suatu sistem kekuasaan ke sistem kekuasaan lain yang lebih modern. Hal tersebut dapat berupa perubahan kekuasaan yang bersifat otoriter menjadi demokratis, munculnya sistem mulitpartai, ataupun pemilihan umum secara langsung. Kesejahteraan sebagai hasil dari pembangunan tidak selalu karena kemajuan dalam sektor ekonomi namun juga karena perubahan persepsi tentang peranan pemerintah dan hak kewajiban masyarakat sebagai warga negara.
            Memang keberhasilan pembangunan ekonomi diharapkan dapat mendorong perkembangan bidang-bidang lainnya ke tahap yang lebih tinggi. Namun kemajuan dalam bidang ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan keadaan sosial politik dalam suatu negara. Untuk menjaga agar proses pembangunan ekonomi suatu negara agar dapat berjalan dengan lancar dibutuhkan kestabilan politik, sedangkan untuk membentuk kestabilan politik di dalam suatu negara dibutuhkan juga kestabilan ekonomi dalam negara itu. Adanya kestabilan pada bidang politik dan ekonomi diharapkan dapat memberikan kondisi sosial yang baik di dalam suatu negara juga. Karena itulah aspek-aspek tersebut merupakan suatu kesatuan penting yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, utamanya pembangunan politik yang memegang peranan penting dalam kemajuan suatu bangsa.
            Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kehidupan politik di Indonesia tidak selalu stabil. Sistem politik Indonesia selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa, sejak awal kemerdekaan, pemerintahan orde lama, pemerintahan orde baru yang kemudian runtuh dan digantikan oleh era reformasi hingga sekarang ini.
            Begitupun dengan kondisi pembangunan di Indonesia yang juga mengalami pasang surut seiring dengan dinamika politik di Indonesia. Indonesia pernah hampir memasuki fase tinggal landas (take off) pada era orde baru yang kemudian runtuh pada tahun 1998 karena isu korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan pada saat itu Indonesia mengalami krisis moneter. Peristiwa ini menjadi awal kejatuhan bangsa Indonesia. Akibat krisis tersebut, Indonesia seakan harus memulai perjuangannya dari awal lagi.
            Tulisan ini dibuat untuk memberikan evaluasi bagaimana perkembangan pembangunan politik nasional Indonesia selama empat belas tahun berjalannya era reformasi. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana cara menciptakan suatu kestabilan politik sehingga dapat menunjang pembangunan pada bidang-bidang lain, juga meningkatkan daya saing Indonesia sehingga mampu menjadi negara yang kompetitif.  

2.                  Pembahasan
Pembangunan di Indonesia sudah berlangsung sejak bangsa ini mulai terbentuk pada era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga era reformasi saat ini. Bisa dibilang kemajuan pembangunan di Indonesia mulai pesat saat Orde Baru berkuasa. Saat itu pemerintah mencanangkan Repelita yang sukses mengantarkan Indonesia menjadi salah satu macan asia. Namun keberadaan Orde Baru tetap tidak bisa kita lepaskan dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menggerogoti negara hingga ke akar. Tahun 1998 Orde Baru runtuh, dan julukan bagi mantan Presiden Soeharto sebagai ‘Bapak Pembangunan’ seakan runtuh pula.
            Era reformasi dimulai sejak pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh wakilnya, BJ Habibie. Hal ini berawal dari krisis moneter yang mengakibatkan melemahnya ekonomi Indonesia dan memunculkan ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan saat itu dan muncul aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa.
            Pasca reformasi itu pun dinamika perpolitikan di Indonesia terus berjalan dengan beberapa kali berganti kepala pemerintahan, yaitu setelah BJ Habibie, lalu digantikan oleh Abdurrahman Wahid setelah diadakan pemilu legislatif yang diikuti oleh 48 partai politik. Namun pada 23 Juli 2001 MPR memakzulkan presiden  Abdurrahman Wahid dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Pada era Presiden Megawati inilah kemudian diselenggarakan pemilihan umum secara langsung yang diikuti 24 partai politik. Pemilihan umum pertama yang dilakukan secara langsung ini kemudian memunculkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI, dan akhirnya Susilo Bambang Yudhoyono terpilih lagi sebagai Presiden dalam dua periode masa pemerintahan pada pemilu tahun 2009 dengan Boediono sebagai Wakil Presiden RI.   
            Kini tepat setelah perayaan empat belas tahun berjalannya reformasi di Indonesia, mulai timbul pertanyaan apakah era reformasi ini telah berjalan dengan baik dan apakah telah memberikan perubahan bagi rakyat Indonesia? Karena selama empat belas tahun Reformasi berjalan dinilai masih banyak persoalan yang sama dengan masa Orde Baru yang terus terjadi.
            Memang banyak hal yang belum terselesaikan selama empat belas tahun ini,  namun tetap saja sudah ada beberapa pencapaian yang berhasil dilakukan oleh pemerintah dari awal reformasi hingga sekarang ini dengan berbagai kekurangannya. Beberapa pencapaian pembangunan politik era reformasi[1] adalah sebagai berikut:
1.      Penghapusan peran militer dalam kekuasaan sipil
a.       Kelembagaan TNI dan Polri dipisahkan (2000)
b.      Kursi di fraksi DPR/MPR untuk TNI Polri dikurangi, kemudian dihilangkan (2004)
c.       Terbitnya UU No 34 tahun 2004 yang mengatur larangan prajurit aktif menjadi anggota parpol, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya (2004)
2.      Pemberantasan KKN
a.    Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk (2002)
b.   Indeks Persepsi Korupsi membaik dari 2,0 pada tahun 2004 menjadi 3,0 pada 2011
c.    Indonesia menjadi negara di peringkat keempat negara yang paling banyak melakukan suap dalam transaksi bisnis di luar negeri (Survey Payers Index 2011)
3.      Reformasi dan kebebasan berpolitik
a.    UUD 1945 telah empat kali diubah sejak 1999 hingga 2002
b.   MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara karena lembaga itu menjadi bikameral yang terdiri atas DPR dan DPD (2002)
c.    Otonomi daerah sejak 2001
d.   Pemilihan presiden secara langsung sejak 2004
e.    Pemilu dengan multipartai sejak 1999
f.    Pemilihan kepala daerah secara langsung sejak 2005
4.      Kebebasan berekspresi
a.    Permenpen No 01/84 yang mengatur hal ihwal tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers dicabut (1998)
b.   Terbit UU No 9/Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (1998)
c.   Terbit UU No 40/Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kebebasan pers dan perlindungan terhadap pers (1999)  
5.      Pengusutan kasus penculikan aktivis tahun 1998
a.   Rapat paripurna DPR memutuskan penembakan Trisakti, Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat (Juli 2001)
b.  Badan Musyawarah DPR menolak pembentukan Pengadilan HAM ad hoc  (Maret 2007)
c.    Kejaksaan menyatakan perkara itu telah ditangani di Pengadilan Militer (April 2008)
Perjalanan reformasi telah dinilai melenceng dari semangat perubahan yang sebenarnya. Beberapa tuntuntan reformasi yang masih terhambat di antaranya adalah pemberantasan KKN dan penegakan HAM.
Runtuhnya Orde Baru juga tidak lepas dari tuduhan korupsi yang merugikan rakyat, dan reformasi muncul dengan semangat pemberantasan KKN. Namun kenyataannya selama empat belas tahun ini masalah KKN tetap terjadi dan sangat disayangkan bahwa yang melakukan KKN adalah orang-orang yang dulu meneriakkan reformasi. Walau KKN tetap marak, berdasarkan data angka Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia justru membaik dari 2,0 pada tahun 2004 menjadi 3,0 pada 2011. Kenaikan tersebut merupakan kenaikan tertinggi diantara sepuluh negara Asia Tenggara dan di Asia kenaikan tersebut merupakan kenaikan tertinggi kelima, lebih baik dibandingkan China.
Hal ini terjadi karena proses reformasi dinilai telah telah memberikan fondasi sistem antikorupsi yang semakin baik. Yang menjadi tantangan terberat adalah orang-orang dalam sistem yang ingin menghancurkan sistem itu. Menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, ada lima aspek pendukung antikorupsi yang membaik[2]. Pertama, sistem bernegara lebih demokratis, yang membuat kecenderungan praktik antikorupsi lebih besar daripada sistem kenegaraan yang otoritarian saat Orde Baru. Kedua, regulasi antikorupsi membaik, seperti dengan adanya UU Tipikor, UU KPK, UU Pencucian Uang, dan Peraturan Presiden yang melarang TNI berbisnis. Ketiga, institusi antikrupsi membaik, dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan MK yang giat menjaga UU antikorupsi. Keempat, kebebasan pers yang berguna untuk mengontrol sistem politik. Kelima, partisipasi publik meningkat ditandai dengan adanya LSM antikorupsi seperti Indonesia Corruption Watch.
Jadi sebenarnya sistem dan regulasi antikorupsi di Indonesia sudah banyak diperbaiki, terbukti dengan adanya UU Tipikor dan lembaga-lembaga terkait yang menangani tipikor. Hanya saja bagaimana dengan  orang-orang yang bergerak dalam pemerintahan dan yang bertugas menegakkan keadilan untuk serius melaksanakan UU yang telah ada. Indonesia saat ini membutuhkan reformasi di bidang kebudayaan, yaitu untuk menghilangkan krisis karakter yang selama ini terjadi dan menghilangkan mental korupsi para elitenya.
Masalah lainnya yang menanti untuk diselesaikan adalah penegakan hukum dan HAM. Hal yang menjadi hambatan adalah pengadilan HAM tersebut hanya mengadili pelaku lapangan dan para aktor intelektual pengambil keputusan belum tersentuh hukum, seperti aktor intelektual pelanggaran HAM DOM Aceh, kasus Talangsari, Tanjung Priok, Papua, Timor-Timur, dan kerusuhan Mei 1998 yang belum diadili. Sedangkan Komnas HAM hanya memiliki wewenang melakukan pengusutan pelanggaran HAM secara formal dan keputusan akhir temuan Komnas HAM hanya menjadi rujukan/rekomendasi bagi instansi terkait. Misalnya persoalan HAM yang muncul sejak zaman Orde Baru hingga awal reformasi tidak jelas  pengusutannya dan cenderung tidak diproses[3].  Kasus pembunuhan Munir juga sampai saat ini masih menggantung dan pelakunya masih bebas bahkan kabarnya ia menduduki jabatan dalam instansi negara.      
            Lain lagi dengan hak kebebasan. Indonesia telah mencapai suatu era di mana kebebasan berserikat, mengeluarkan pendapat dan berekspresi telah didapat. Setiap orang bebas berpolitik, bebas mengeluarkan aspirasinya, dan pers di Indonesia juga semakin bebas dalam pemberitaannya. Hal ini tentu berbeda pada saat Orde Baru masih berkuasa yang melakukan beberapa pembatasan.
Kebebasan ini juga memberikan dampak positif maupun negatif. Kini setiap orang merasa memiliki kebebasan itu sebebas-bebasnya hingga muncul kesan bahwa kebebesan di Indonesia ini jauh dari kebebasan yang bertanggung jawab sesuai Undang-Undang juga norma-norma yang berlaku.
Sangat disayangkan, pemerintah Indonesia saat ini belum menjamin kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan. Akhir-akhir ini seringkali muncul konflik dan kekerasan yang menyerang agama, konflik sering terjadi antara agama mayoritas yang menyerang penganut agama minoritas. 
Apakah dari semua permasalahan di atas, era reformasi telah gagal dalam melakukan pembangunan politik? Lalu apakah yang harus diperbaiki pada era reformasi ini?
Selama empat belas tahun ini Indonesia seperti telah kehilangan arah dan tujuannya. Reformasi yang ada hanya sebagai pergantian kekuasaan, namun tidak banyak memperbaiki sistem dan mental elite negeri ini tetap saja buruk. Bahkan reformasi ini malah menjadikan Indonesia sebagai negara yang liberal dan kapitalis, hanya menguntungkan orang-orang tertentu saja, yang bermodal besar tentunya, sehingga yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Kondisi Indonesia saat ini juga seperti telah kehilangan otoritas, pemerintah cenderung lemah dan tidak tegas, ini terlihat dari banyaknya konflik sosial antar kelompok masyarakat, kekerasan atas nama agama, penegakan hukum yang lemah, dan masih banyak kekacauan yang terjadi dan seolah-olah pemerintah selalu absen saat muncul masalah-masalah itu, ataupun terkadang cenderung lambat dan tidak tegas dalam menanganinya.
Sepertinya tata ulang sistem demokrasi sangat dibutuhkan bangsa ini. Pelu evaluasi menyeluruh agar dapat menata demokrasi agar dapat mencapai tujuan negara yang diharapkan bersama. Menata ulang di sini dapat berupa mengurangi lembaga negara yang tumpang tindih dan tidak efektif, dan perbaikan sistem partai politik. Partai politik yang ada saat ini cenderung tidak mengemban aspirasi rakyat, hanya demi uang dan kepentingan segelintir orang semata. Partai politik harus lebih bertanggung jawab serta perlu adanya aturan untuk memantau keuangan partai yang tidak pernah jauh dari kasus korupsi. Pemberantasam korupsi harus tetap digalakkan dengan memperkuat lembaga-lembaga yang berwenang menangani kasus tipikor.
Selain memperbaiki sistem demokrasi dan regulasi, kita perlu juga melakukan preformasi budaya. Kenyataannya, Indonesia saat ini mengalami kemerosotan karakter, para pejabat bermental buruk dan korup, dan masyarakat Indonesia yang masih mengalami keterbelakangan, seperti menggunakan cara-cara kekerasan yang kini mulai marak lagi untuk menyelesaikan masalah, mudah terprovokasi, suka merusak saat melakukan aksi protes, padahal kelakuannya itu tidak memberikan peubahan berarti terhadap apa yang diperjuangkan, malah merugikan diri sendiri dan masyarakat yang katanya mereka wakili. Banyak orang-orang di Indonesia yang kurang memiliki rasa toleransi atau rasa primordialisme mereka yang masih tinggi. Mereka menganggap kelompoknyalah yang paling benar dan merasa punya otoritas untuk menghukum yang lain. Selain itu misalnya, kurangnya kepatuhan masayarakat terhadap hukum tetapi selalu menuntut kehidupan yang lebih baik. Sebagian dari kita sepetinya belum punya kesadaran untuk berubah menjadi lebih baik.
Untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik diperlukan perbaikan dari bebagai pihak, dari pemerintah juga rakyatnya. Masing-masing harus memiliki kesadaran untuk berubah, bukan hanya menuntut pemerintah untuk melakukan perbaikan tetapi masyarakat juga harus berubah demi membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.

3.                  Kesimpulan
Apa yang telah dicapai bangsa Indonesia pasca Reformasi 1998 memang belum sepenuhnya berhasil, masih banyak pekerjaan rumah yang menanti untuk diselesaikan. Untuk membangun daya saing yang pertama harus dilakukan adalah melakukan perbaikan masalah-masalah di dalam negeri dahulu, seperti masalah korupsi, penegakan hukum, kesenjangan antara pusat dan daerah, konflik, dan lain sebagainya. Selain itu peningkatan mutu pendidikan juga sangat penting. Dan yang paling esensial dari semua itu adalah perlunya figur pemimpin yang dapat mengarahkan Indonesia ke arah yang lebih baik. Selain itu perlunya reformasi budaya juga sangat penting dalam rangka membangun Indonesia menjadi lebih baik. Para elite masih banyak yang bermental buruk, begitupun masyarakatnya. Untuk itu sangat perlu partisipasi dan kerja keras antara dua belah pihak, yaitu pemerintah dan rakyat agar tercapai kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan bagi bangsa Indonesia.   


DAFTAR PUSTAKA


Alfian. 1990. Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

MacAndrews, Colin. Amal, Ichsanul. (Ed.). 1995. Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Pembangunan. Jakarta: PT Raja Grafindo

Pangestu, Mari. Setiati, Ira. (Ed.). 1997. Mencari Paradigma Baru Pembangunan Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies (CSIS) 

Kompas, 21 Mei 2012. “Agenda Reformasi 1998 Dikhianati: Praktik Korupsi, Kolusi Nepotisme Tetap Marak”. Hal 1

Kompas, 22 Mei 2012. “Tata Ulang Demokrasi Modal Indonesia Jadi Bangsa Besar Tersedia”. Hal. 5

Kompas, 22 Mei 2012. “Kekuatan Lama Bercokol, Tidak Ada Pemimpin Kredibel yang Mengawal Reformasi”. Hal 1

Kompas, 22 Mei 2012. “Politikus dan Aparat Korup yang Kita Dapati”. Hal 5

Kompas, 23 Mei 2012. “Agenda Antikorupsi Terbangun: Transisi Demokratis Terlalu Lama”. Hal 1

Kompas, 23 Mei 2012. “14 Tahun Reformasi: Kebebasan Tanpa Saling Mendengarkan”. Hal 4

Kompas, 23 Mei 2012. “Pemenuhan HAM Diujung Tanduk.” Hal 4.  




[1] Kompas, 21 Mei 2012. “Agenda Reformasi 1998 Dikhianati: Praktik Korupsi, Kolusi Nepotisme Tetap Marak”. Hal 1

[2] Kompas, 23 Mei 2012. “Agenda Antikorupsi Terbangun: Transisi Demokratis Terlalu Lama”. Hal 1


[3] Kompas, 22 Mei 2012. “Kekuatan Lama Bercokol, Tidak Ada Pemimpin Kredibel yang Mengawal Reformasi”. Hal 1