Rabu, 16 Mei 2012

USAHA PEMERINTAH DUBAI DALAM MENGATASI ‘DUTCH DISEASE’


Dapat kita amati secara nyata bahwa banyak negara yang kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, juga barang-barang tambang namun negara-negara tersebut tergolong sebagai negara yang miskin dan terbelakang. Kekayaan alam yang mereka miliki seakan tidak sanggup membawa negaranya menuju kesejahteraan. Sebut saja Brazil, Afrika Selatan, India, juga negara kita sendiri, Indonesia. Hal ini berbeda dengan negara-negara yang tidak terlalu banyak mempunyai sumber daya alam seperti Jepang, Swiss, dan Korea Selatan, namun negara-negara tersebut mampu tumbuh sebagai negara yang maju dan sejahtera.
            Hal ini terjadi karena biasanya negara-negara yang kaya sumber daya alam tersebut sangat kekurangan dalam hal sumber daya manusia, sehingga tidak mampu mengolah sumber daya alam yang mereka miliki. Negara-negara berkembang tidak mampu mengolah sumber daya alam karena keterbatasan teknologi. Sedangkan negara maju, dengan perkembangan ilmu pengetahuan mereka mampu mengembangkan sektor industrinya hingga menjadi negara kaya hingga saat ini. Dari fenomena tersebut, kemudian muncul anggapan bahwa memiliki sumber daya alam merupakan ‘kutukan’ yang kemudian mengingatkan kita pada istilah ‘Dutch Disease’.
            Istilah ini sangat populer dalam dunia perekonomian. Fenomena ‘dutch disease’ ini berasal dari krisis yang terjadi di Belanda pada tahun 1960 yang saat itu ditemukan sebuah deposit gas alam yang melimpah di Laut Utara. Namun dalam perdagangan internasional justru terjadi penurunan daya saing harga sehingga ekspor barang-barang manufaktur terkena dampaknya, juga terjadi peningkatan ekspor yang akhirnya membuat neraca perdagangan defisit. Hal ini disebabkan karena negara yang kaya sumber daya alam cenderung memiliki tingkat kestabilan ekonomi dan sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan negara yang bergerak pada sektor industri dan jasa.
            Padahal, sumber daya alam dan tingkat perekonomian suatu negara memiliki kaitan yang erat, karena secara teoritis kekayaan sumber daya alam yang berlimpah akan menunjang pertumbuhan ekonomi suatu negara.  Namun kenyataannya korupsi, konflik dalam negeri, juga lemahnya pemerintahan dan demokrasi menjadi faktor penghambat dari perkembangan perekonomian negara-negara terebut.  
            Untuk mengatasi ‘dutch disease’ atau ‘kutukan Belanda’ ini, diperlukan pembenahan sistem pemerintahan, pengalihan investasi, dan penyokongan ekonomi ke bidang industri lain, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pemberdayaan sumber daya alam. Salah satu yang telah berhasil mengatasi ‘kutukan Belanda’ ini adalah Dubai.
            Dubai merupakan salah satu anggota Uni Emirat Arab (UEA) yang terletak di pantai teluk Persia. Dubai merupakan kota terluas kedua setelah Abu Dhabi. Dubai menarik perhatian dunia karena proyek real estatnya yang mewah dan ambisius, seperti Burj Khalifa yang merupakan gedung tertinggi di dunia, setinggi 828 meter. Dubai kemudian menjadi lokasi wisata favorit para sosialita terkenal dunia.
             Dulu, kota Dubai hanya menjadi pelabuhan pedagang asing dari India dan awalnya merupakan pengekspor permata pada tahun 1930-an, namun berkurang saat Perang Dunia II pecah. Lalu sumber minyak bumi ditemukan di Dubai pada tahun 1966 yang kemudian menjadikan Dubai sebagai tempat tujuan para pekerja asing, utamanya India dan Pakistan. Kemudian tahun 1970-an Dubai semakin berkembang dari pendapatan minyak bumi dan perdagangannya. Diperkirakan produksi minyak Dubai sebesar 240.000 barel per hari, dan pengeboran lepas pantai. Penghasilan dari sektor tersebut digunakan pemerintah Dubai untuk membangun berbagai infrastruktur secara besar-besaran dan modern.
            Konon, cadangan minyak Dubai sudah berkurang secara drastis dan diperkirakan kosong dalam 20 tahun. Keterbatasan cadangan minyak bumi membuat pemerintah Dubai memfokuskan kegiatan ekonominya melalui sektor lain, yaitu perdagangan dan pariwisata. Hal ini ditunjang oleh kepemimpinan yang transparan, infrastruktur memadai, iklim usaha kondusif bagi para pendatang, tidak dikenakannya pajak perorangan maupun perusahaan, serta bea masuk barang yang rendah.
            Program ini berhasil melepaskan Dubai dari ketergantungan pada migas dan mengembangkan sektor non-migas yaitu perdagangan, industri, perbankan, pariwisata, real estat, dan sektor jasa lainnya. Dubai berhasil menjadi pusat perdagangan, investasi, dan pariwisata paling diminati sekaligus didukung dengan letak geografis yang memungkinkannya menjadi hubungan perdagangan antara Asia, Afrika, dan Eropa.
            Proyek-proyek yang ada di Dubai antara lain, proyek The Palm di wilayah Jumeirah, proyek real estat The World serta dua pusat perbelanjaan The Dubai Mall dan Mall of Emirates. The Dubai Mall yang diresmikan pada bulan Nopember 2008 merupakan shopping mall terbesar di dunia berdasarkan luas total area dan merupakan ke-enam terbesar di dunia.
            PDB Dubai pada tahun 2005 tercatat sebesar US$ 37 miliar. Meskipun Dubai dibangun oleh industri minyak, pendapatan migas hanya menyumbang 6% saja. Pendapatan emirat dari gas alam hanya 2%. Pendapatan Dubai meliputi real estat sebesar 22,6%, perdagangan 16%, entreport 15%, keuangan 11%,.
            Inovasi yang dilakukan oleh pemerintah Dubai dalam mengatasi ketergantungan dari penghasilan sektor migas dengan cara melakukan meningkatkan penghasilan sektor-sektor lain berupa perdagangan, pariwisata, real estat mewah, dan berbagai fasilitas mahal lainnya. Pada akhirnya Dubai berhasil melepaskan diri dari ‘kutukan Belanda’, yang ditunjang juga dengan kinerja pemerintah yang baik dan transparan. Dubai berhasil membuktikan bahwa negara yang kaya sumber daya alam juga mampu menjadi negara yang maju dan berkembang tanpa harus selalu bergantung pada hasil bumi yang mereka miliki dan terbatas itu.

SUMBER BACAAN :
anonim. 2012. Dubai. Diakses 30 April 2012, dari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas: http://id.wikipedia.org/wiki/dubai

anonim. 2012. Ekonomi Dubai. Diakses 30 April 2012, dari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas: http://id.wikipedia.org/wiki/ekonomidubai

anonim. Penyakit Belanda. Diakses 30 April 2012, dari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas: http://id.wikipedia.org/wiki/PenyakitBelanda

anonim. 2012. Definition of Dutch Disease. Diakses 30 April 2012 jam 22:50,dari Investopedia: http://www.investopedia.com/terms/d/dutchdisease.asp#ixzz1tXV2BvwE

Marketeers. 2010. Belajar dari Dubai (I). Diakses 30 April 2012, dari the marketeers: http://the-marketeers.com

BURUKNYA PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI SALAH SATU MASALAH PUBLIK DI INDONESIA


Isu lingkungan hidup kini menjadi populer dalam beberapa tahun terakhir dan marak dikampanyekan juga istilah seperti ‘global warming’ atau pemanasan global pada masyarakat. Kerusakan lingkungan itu sendiri lebih banyak diakibatkan oleh perilaku manusia, seperti penebangan hutan secara besar-besaran, polusi udara akibat banyaknya kendaraan bermotor, asap pabrik, kebakaran hutan, pengelolaan sampah yang kurang, pembangunan infrastruktur yang tidak berwawasan lingkungan, dan lain sebagainya.
            Permasalahan lingkungan saat ini semakin rumit dan kompleks, terutama di kawasan kota-kota besar yang padat penduduk dan banyak pembangunan yang tidak teratur. Akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan ini juga sudah semakin terasa, misalnya terjadinya anomali cuaca ataupun bencana alam seperti banjir yang tiap tahunnya selalu  melanda salah satu kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta.
            Salah satu yang termasuk ke dalam permasalahan lingkungan hidup dan yang paling akrab dengan kehidupan sehari-hari adalah masalah pengelolaan sampah. Permasalahan sampah kini telah menjadi salah satu masalah publik yang serius dan sangat penting untuk segera diselesaikan. Di Indonesia, produksi sampah yang besar baik dari penduduk maupun sampah dari industri tidak diimbangi dengan pengelolaan sampah yang baik. Menurut Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, Balthasar Kambuaya, produksi sampah di Indonesia untuk setiap rumah tangga menghasilkan dua liter sampah setiap harinya. Sampah-sampah yang dihasilkan tersebut kebanyakan tidak dikelola dengan baik sehingga akibatnya sering kita temui tumpukan sampah yang menggunung di pinggir jalan, mengotori selokan atau saluran air, dan lebih banyak lagi yang mencemari sungai, juga menimbulkan penyakit.
            Sampah-sampah itulah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir di kota-kota besar karena menghambat saluran air yang ada sehingga air hujan yang seharusnya bisa ditampung meluap hingga menggenangi jalan raya, hampir di setiap hujan deras.
            Faktor-faktor yang menyebabkan buruknya pengelolaan sampah di Indonesia antara lain karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Masyarakat sudah sangat terbiasa membuang sampah-sampahnya ke sungai tanpa peduli bahwa itu akan menimbulkan polusi. Ketidakdisiplinan masyarakat dalam membuang sampah juga seing terjadi di mana saja, seperti di tempat umum atau di jalan raya, seolah-olah masyarakat tidak peduli bahwa perilakunya membuat lingkungan menjadi tidak sedap dipandang. Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara lain yang masyarakatnya punya kesadaran tinggi tentang menjaga lingkungannya, sehingga tempat-tempat umum di sana selalu terlihat rapi dan bersih. Ini artinya pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungannya sangat penting untuk dilakukan demi kelangsungan hidup manusia, untuk menjaga keanekaragaman hayati, dan warisan untuk generasi yang akan datang.
            Faktor lainnya adalah kurangnya fasilitas kebersihan yang seharusnya tersedia, misalnya di tempat-tempat umum ataupun di pinggir jalan. Hal ini kemudian menjadi alasan bagi masyarakat untuk membuang sampah sesuka hatinya karena tidak menemukan tempat sampah.
            Kemudian kurangnya peran pemerintah dalam menangani masalah ini juga menjadi salah satu faktor. Sebenarnya pemerintah sudah mempunya aturan tentang pengelolaan sampah, seperti UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah dan Permendagri No 33 Tahun 2010 tentang pengelolaan persampahan. Namun realita yang terjadi aturan-aturan ini tidak banyak merubah keadaan. Pencemaran sungai dan laut akibat sampah, sampah yang berserakan di tempat-tempat umum, dan lain sebagainya sepertinya tidak berkurang.
Kemampuan Pemerintah dalam menangani sampah masih sangat terbatas. Secara Nasional, dari tahun 2000 sampai 2005, tingkat pelayanan baru mencapai 40 % dari volume sampah yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang tinggi  menyebabkan semakin tingginya volume sampah yang harus dikelola setiap hari sehingga bertambah sulit karena semakin besar beban yang harus ditangani.
Terdapat beberapa saran yang dapat digunakan dalam penanganan masalah sampah di Indonesia, antara lain:
1.            Perlu sosialisasi kepada masyarakat tentang pengelolaan sampah rumah tangga yang merupakan sumber utama sampah-sampah yang ada.
2.            Pemerintah perlu mengadakan sosialisasi tentang pengurangan penggunaan kantong plastik atau diharapkan dapat memberi subsidi pengadaan kantong plastik yang dapat didaur ulang sehingga lebih ramah lingkungan.
3.            Pemerintah harus melibatkan langsung masyarakat dalam pengelolaan sampah, misalnya produksi pupuk kompos/organic basis sampah.
4.            Pemerintah dalam menyosialisasi dan aplikasi Go Green, perlu melibatkan perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan sampah/lingkungan bersama penyuluh lapang, agar bisa tercipta atau aplikasi langsung pengelolaan sampah/lingkungan berbasis entrepreneur di tengah masyarakat, baik kota maupun pedesaan.

REVISI BUKU AGAMA


Judul Buku      : Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum
Penulis             : Mukni’ah
Penerbit           : Ar-Ruz Media
Tahun              : 2011
Tebal               : 208 halaman

            Pembahasan mengenai syariah Islam memang selalu menarik perhatian dan ternyata banyak juga hal-hal yang belum diketahui, seperti tentang apa itu syariah Islam juga bagaimana penerapan syariah Islam yang tepat. Dalam tulisan ini, saya ingin memberi sedikit masukan pada buku ini, khususnya pada bab Syariah.
            Bahasan mengenai syariah Islam dapat kita temukan pada bab tiga. Dalam bab ini sebenarnya tidak hanya masalah syariah saja yang dibahas, namun juga tentang fiqih yang sangat berhubungan dengan keberadaan syariah itu sendiri juga tentang ibadah. Hal-hal yang dijelaskan pada bab ini adalah tentang pengertian syariah dan fiqih, perbedaan antara syariah dan fiqih, juga dasar-dasar penetapan syariah.      
            Pada awal bab dijelaskan tentang pengertian syariah dan fiqih. Menurut saya penjelasan tentang apa itu syariah dan fiqih sudah cukup jelas. Selanjutnya tentang perbedaan syariah dengan fiqih, di sini hanya menjelaskan tentang nash-nash yang menjadi sumber syariah dan fiqih, yaitu nash yang zanni dan nash yang qat’i. Sepertinya subbab ini kurang menjelaskan apa sebenarnya perbedaan syariah dengan fiqih, namun hanya perbedaan nashnya saja dan tidak ada contoh kongkrit yang membedakan syariah dengan fiqih. 
            Syariah dan fiqih memiliki perbedaan dilihat dari sumbernya. Syariah berasal dari Al-Quran dan as-sunah sehingga tidak dapat dirubah lagi, sedangkan fiqih adalah hasil ijtihad para mutjahid sehingga bisa terjadi perbedaan antara ulama yang satu dengan yang lain. Contoh perbedaan syariah dan fiqih antara lain sebagai berikut:
1.      kewajiban puasa Ramadlan (nash qat'i) adalah syari'ah, sedangkan kapan mulai puasa dan kapan akhir Ramadlan itu (nash zanni) adalah fikih.
2.       memulai shalat harus dengan niat (nash qat'i) adalah syari'ah, apakah niat itu dilisankan (dengan ushalli) atau cukup dalam hati merupakan fikih. Sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk "ushalli" sedangkan ulama lain memandang niat dalam hati saja sudah cukup
3.      judi itu dilarang adalah syari'ah, sedangkan apa yang disebut judi, apakah lottere juga termasuk judi masuk dalam bahasan fikih.
4.      riba itu diharamkan adalah syari'ah, dan apa bunga bank itu termasuk riba merupakan fikih.
            Pada subbab terakhir, yaitu tentang Dasar-Dasar Penetapan Syariah justru tidak dijelaskan apa saja yang menjadi dasar penetapan syariah itu. Di sini hanya dijelaskan tentang dua jenis ibadah, yaitu ibadah khusus (mahdlah) dan ibadah umum (muamalah). Terdapat empat hal yang menjadi dasar penetapan syariah, yaitu tidak memberatkan, diturukan secara berangsur-angsur, sejalan dengan kepentingan umum, dan dasar persamaan dan keadilan.
1.               Tidak Memberatkan dan Tidak Banyaknya Beban
           Aturan-aturan dalam syariah Islam, selalu diusahakan agar tidak memberatkan dan mudah dilaksanakan manusia. Contohnya adalah bagi orang yang tidak sanggup shalat dengan berdiri diperbolehkan shalat dengan duduk. Ini merupakan bukti bahwa syariah tidak  memberatkan umat Muslim.
2.               Berangsur-angsur dalam Penentuan Hukum
           Adanya faktor kebiasaan yang sudah berlangsung lama dan sulit diubah membuat Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan ayat demi ayat dan surat demi surat, terkadang ayat turun sesuai peristiwa yang terjadi saat itu. Cara seperti ini dilakukan agar mereka dapat bersiap-siap meninggalkan ketentuan lama dan menerima hukum baru.
3.               Sejalan dengan Kebaikan Orang Banyak
           Ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam diusahakan agar sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang baik bagi pemeluknya. Oleh karena aturan-aturan hukum bisa dibatalkan apabila keadaan menghendaki. Namun pembatalan hukum ini hanya dilakukan pada masa Rasul. Sesudah Rasul wafat dan ketentuan hukum Islam sudah lengkap tidak ada lagi pembatalan hukum.
4.               Dasar Persamaan dan Keadilan
           Ini artinya, bagi syariah Islam semua orang dipandang sama dengan tidak ada kelebihan di antara mereka satu sama lain. Semua berkedudukan sama di mata Allah SWT. 

PENGARUH NILAI TERHADAP PEMBANGUNAN


David McClelland, seorang pakar psikologi mengemukakan sebuah teori tentang kebutuhan (theory of need). Menurutnya terdapat tiga kebutuhan manusia yaitu  kebutuhan untuk berprestasi (achievement), kebutuhan untuk berkuasa (power) dan kebutuhan untuk afiliasi (afiliation). Ia lalu menyatakan hanya para pengusaha atau para wiraswastawan yang memiliki peran penting dalam pencapaian kemajuan negara, utamanya negara dunia ketiga, karena para pengusaha biasanya memiliki keinginan kuat untuk mengejar prestasi melalui penampilan kerja yang baik dan perbaikan kualitas kerja dan bukan memikirkan keuntungan semata. Itu artinya, negara yang memiliki derajat kebutuhan berprestasi yang tinggi juga memiliki derajat pembangunan ekonomi yang tinggi pula.
            Mccelland mengemukakan istilah n-ach yang artinya need achievement dalam teorinya. Yang dimaksud dengan need achievement atau kebutuhan untuk berprestasi sendiri adalah keinginan individu secara signifikan untuk berprestasi, menguasai beberapa keahlian, dan memiliki standar yang tinggi dalam bekerja.
            Salah satu yang menentukan tingkat keinginan berprestasi suatu masyarakat atau bangsa adalah nilai-nilai sosial yang dianut oleh bangsa itu. Di setiap bangsa selalu memiliki nilai-nilai sosial yang dianut. Nilai-nilai itu dapat memotivasi seseorang atau masyarakat untuk berbuat dan mengambil resiko sehingga mendorong masyarakat atau bangsa itu untuk mendapatkan ‘achievement’ yang tinggi.
            Nilai sosial merupakan adalah suatu konsep abstrak tentang apa yang dianggap baik, buruk, indah, benar, salah, dan lain sebagainya. Nilai-nilai itu juga merupakan tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku masyarakat yang dapat bersumber dari agama, budaya, sosial, dan politik.  Nilai sosial dapat menjadi sumber dinamika masyarakat. Jika nilai-nilai sosial itu lenyap maka seluruh kekuatan akan hilang dan perkembangan masyarakat itu juga akan terhenti.
            Nilai-nilai sosial budaya yang dianut oleh bangsa Indonesia sendiri sudah terkandung dalam Pancasila yang menjadi ideologi negara. Di dalam Pancasila terdapat banyak nilai-nilai yang mempunyai nilai historis dan berasal dari kehidupan dan tradisi bangsa Indonesia sendiri.
            Khusus dalam bidang pembangunan, Pancasila dianggap sebagai paradigma pembangunan di Indonesia. Yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai dasar Pancasila secara normatif menjadi dasar, acuan, dan tolak ukur segenap aspek pembangunan sosial di Indonesia sesuai tujuan negara yang tercatum dalam konstitusi.
            Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila antara lain adalah nilai ketuhanan (nilai religius) yang tercantum pada sila pertama, nilai kemanusiaan pada sila kedua, nilai persatuan pada sila ketiga, nilai kerakyatan pada sila keempat, dan nilai keadilan pada sila kelima.
            Pada sila keempat Pancasila terkandung nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya bersumber dari nilai-nilai budaya Indonesia. Seperti tentang kedaulatan rakyat, kebesamaan, kekeluargaan, kegotong-royongan, dan musyawarah untuk mufakat, yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Itu artinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang lebih mengutamakan kepentingan umum atau kelompok daripada kepentingan pribadi, atau secara lebih luas, lebih mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan individu semata.        
            Pada sila kelima, terdapat nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terkadung di dalamnya antara lain keselarasan, keseimbangan, keserasian, yang menyangkut hak dan kewajiban warga negara tanpa ada perbedaan dalam hal etnis, suku, agama, jenis kelamin, tingkat ekonomi, dan lain sebagainya. Selain itu pada sila kelima juga terkandung semangat kedermawanan terhadap sesama, sikap hidup hemat, sederhana, tidak foya-foya, dan kerja keras dalam mencapai kesuksesan. Itu artinya, seorang individu tidak hanya dituntut untuk bekerja keras dalam mencapai kesuksesannya, tapi juga berusaha untuk saling membantu antar sesama, sehingga tak hanya ia sendiri yang menikmati kesuksesan itu tapi juga berdampak bagi orang lain, dan masyarakat pada umumnya. Diharapkan nantinya dapat diwujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial, memberi jaminan untuk mencapai taraf hidup yang layak dan terhomat dan menempatkan nilai-nilai demokrasi dalam bidang sosial dan ekonomi.
            Apabila nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila itu dihayati dan dilaksanakan dengan baik diharapkan negara Indonesia akan menjadi negara yang merdeka, bersatu, berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila menuju Indonesia yang maju, sejahtera, adil, dan makmur.   

NILAI-NILAI RELIGIUS, PENDIDIKAN, DAN UNIVERSAL DALAM PEMBANGUNAN


Dalam suatu kelompok masyarakat, pastinya akan selalu terdapat nilai-nilai sosial yang dijadikan acuan atau pedoman dalam bertingkah laku oleh masyarakat yang menganutnya. Nilai-nilai sosial yang ada tersebut dapat bersumber dari adat istiadat dan budaya masyararakat, ajaran agama, bahkan politik.
             Nilai-nilai sosial itu tidak hanya mempengaruhi penilaian orang terhadap baik-buruknya sesuatu, benar atau salah, bagus atau tidaknya suatu hal atau perbuatan, namun juga dapat mempengaruhi seseorang atau kelompok masyarakat dalam meningkatkan kesuksesannya (achievement).
            Nilai-nilai sosial yang dapat mempengaruhi kesuksesan individu atau kelompok dalam meraih kesuksesannya juga dapat menjadi acuan dalam melakukan kegiatan pembangunan antara lain adalah nilai religius (nilai agama), nilai pendidikan, dan nilai universal.
            Nilai religius atau nilai agama merupakan nilai-nilai yang berasal dari ajaran agama yang diwahyukan oleh Tuhan. Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia juga telah menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merupakan bangsa yang religius, yaitu melaksanakan segala kegiatannya berdasarkan nilai-nilai ketuhanan.
            Di dalam agama Islam misalnya, menurut Nurcholish Madjid[1], ada beberapa nilai-nilai keagamaan dasar yang harus ditanamkan sejak dini, yaitu:
a.             iman, yaitu  sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan
b.            Islam, yaitu sikap pasrah dan taat terhadap aturan Allah
c.       Ihsan, yaitu kesadaran yang sedalam - dalamnya bahwa Allah senantiasa hadir bersama kita dimana saja berada sehingga kita senantiasa merasa terawasi
d.            Taqwa, yaitu sikap yang sadar bahwa Allah selalu mengawasi kita sehingga kita hanya berbuat sesuatu yang diridlai Allah dan senantiasa menjaga diri dari perbuatan yang tidak diridlai –Nya
e.             Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan semata – mata demi memperoleh ridla Allah
f.             Tawakkal, yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan bahwa dia akan menolong dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik
g.             Syukur, yaitu sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya
h.            Shabar, yaitu sikap tabah menghadapi segala kepahitan hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, fisiologis maupun psikologis
         Dari nilai-nilai keagamaan yang telah dijelaskan di atas dapat diketahui bahwa agama dapat mempengaruhi keadaan sosial, emosional, dan spiritual seseorang. Dalam hal sosial, terdapat sifat taqwa kepada Allah yaitu sikap menyadari bahwa Allah selalu melihat apa yang manusia lakukan sehingga muncul kesadaran sebagai seorang manusia haruslah selalu berbuat baik, tidak hanya pada diri sendiri juga kepada orang lain. Dalam hal emosional, seseorang yang memegang teguh ajaran agamanya akan senantiasa menjadi orang yang sabar dalam menghadapi segala cobaan hidupnya, tidak mudah terpancing emosi dan berusaha menyelesaikan masalah dengan tenang. Berikutnya, dalam hal spiritual, seseorang yang religius akan senantiasa muncul sifat-sifat seperti selalu ingat pada Allah, selalu bersyukur, bertawakal, ikhlas, sabar, jujur, dan lain sebagainya.
         Berikutnya, salah satu nilai yang menunjang terlaksananya kegiatan pembangunan adalah pendidikan. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting karena pendidikan dapat membentuk karakter suatu bangsa menjadi lebih beradab, juga tentunya dapat meningkatkan sumber daya manusia yang ada hingga menjadi lebih berpengetahuan dan terampil dalam menyelesaikan masalah, dan akan mendorong terjadinya suatu kemajuan.
         Terdapat dua jenis pendidikan, yaitu pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang ditempuh dengan mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah dan terdiri dari berbagai jenjang, mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi. Sedangkan pendidikan informal merupakan pendidikan yang tidak ditempuh melalui sekolah, namun bisa berasal dari belajar secara otodidak, mengikuti kursus, pelatihan, ataupun seminar. Pendidikan informal ini sangat berguna dalam meningkatkan softskill seseorang. 
         Berikutnya adalah nilai universal. Nilai universal merupakan nilai yang menganggap bahwa terdapat kesetaraan di antara semua manusia. Semua manusiapada dasarnya adalah sama, tanpa perlu memandang perbedaan-perbedaan, seperti agama, ras, suku, bangsa, ideologi, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, gender, dan lain sebagainya. Karena itulah nilai universal menginginkan adanya kesetaraan dalam pembangunan, yaitu terwujudnya suatu pemerataan hasil yang diperoleh dari suatu program pembangunan itu, sehingga nantinya tidak terjadi suatu kesenjangan sosial antara kaya dan miskin, ataupun kesenjangan yang terjadi antara pusat dan daerah. 


[1] Mazguru. 2009. Internalisasi Nilai-Nilai Keagamaan untuk Membentuk Kepribadian Muslim. http://mazguru.wordpress.com diakses tanggal 30 April 2012 jam 13:21