Senin, 04 November 2013

It's Nothing

That time... I was in the dark...

            Day by the day, and I still asking to myself, why am I still alive? How long I should stay here... how long? I see myself,  will not be able to see again, can’t walk, can’t breath... but now I still here against everything, struggle, try to stay alive. Feel the pain isn't that easy, but i can forget it.

            Then I ask to my self again, what I’m living for?
           
            Year by year after that.., I just forget how I really really want it... how much I wanna go away from here, how I kill my own dream, and lost my mind.

            And you remind me about that... I realize something that I’ve forget. And I just say to myself, that ‘thing’, isn’t a bad idea... you remind how much I really want it. I just remember, I don’t wanna do that for now.


            Sometimes try to stay alive is more killing than the death itself...

Sabtu, 05 Oktober 2013

TEORI DALAM REGIONALISME


            Regionalisme dapat diartikan sebagai sebuah pengelompokan negara-negara berdasarkan region atau kawasan. Seiring dengan perkembangannya, pengelompokan tersebut tidak hanya berdasarkan kawasan tapi juga persamaan tertentu misalnya persamaan budaya, sejarah, ataupun kepentingan yang ingin dicapai. Regionalisme bertujuan untuk memudahkan kerjasama antar negara-negara yang berada dalam suatu kawasan untuk mencapai tujuan regional bersama.
            Adanya fenomena globalisasi yang terjadi saat ini seolah mengakibatkan penyatuan wilayah, baik secara geografis, ekonomi, politik, dan budaya. Adanya kebutuhan antar negara dan interaksi yang semakin erat kemudian mendorong terjadinya pengelompokan negara-negara dalam sebuah unit kecil  yang disebut dengan konsep region atau kawasan. Hal ini dimaksudkan untuk semakin mempermudah kerjasama antar negara.
            Adanya regionalisme ini dapat dikatakan sebagai hasil dari globalisasi. Globalisasi tersebut semakin terlihat dari adanya saling ketergantungan antar negara yang terwujud dalam suatu bentuk regionalisme. Maka dari itu, regionalisme dapat dijelaskan menggunakan teori interdependensi struktural yang memandang bahwa adanya perubahan merupakan dampak dari perkembangan teknologi dan meningkatnya kebutuhan ekonomi. Perkembangan teknologi dan meningkatnya kerjasama ekonomi tersebut merupakan beberapa implikasi dari adanya globalisasi itu sendiri.
            Dapat dikatakan adanya globalisasi ini mendorong meningkatnya kebutuhan suatu negara sehingga membutuhkan negara-negara lain untuk saling bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan maupun kepentingan atau national interest, misalnya seperti pemenuhan kebutuhan ekonomi ataupun keamanan. Kerjasama ini kemudian memunculkan berbagai bentuk regionalisme tersebut.
            Regionalisme dapat menjawab kebutuhan untuk mengadakan integrasi kawasan yang meningkat. Selain itu organisasi regional dapat digunakan melawan dampak negatif kapitalisme dari globalisasi yang mengancam perekonomian lokal. Jadi, adanya interdependensi tersebut semakin mendorong terbentuknya suatu integrasi politik.
           

SUMBER: Farrel, Mary. Hettne, Bjorn. 2005.Global Politics of Regionalism Theories and Practice. London: Pluto Press

REGIONALISME



            Adanya fenomena globalisasi yang terjadi saat ini seolah mengakibatkan penyatuan wilayah, baik secara geografis, ekonomi, politik, dan budaya. Adanya kebutuhan antar negara dan interaksi yang semakin erat kemudian mendorong terjadinya pengelompokan negara-negara dalam sebuah unit kecil atau subsistem yang disebut dengan konsep region atau kawasan. Hal ini dimaksudkan untuk semakin mempermudah kerjasama antar negara.
Regionalisme dapat diartikan sebagai pembagian aktor-aktor hubungan internasional berdasarkan region atau kawasan. Regionalisme tersebut bertujuan untuk memudahkan kerjasama antar negara-negara yang berada dalam suatu kawasan untuk mencapai tujuan regional bersama.
Sebenarnya regionalisme dibentuk karena negara memiliki letak geografis yang saling berdekatan, namun bisa juga karena persamaan identitas, seperti budaya atau bahasa. Selain itu dapat bersifat non geografis karena adanya aktivitas politik dan ekonomi antar negara tanpa melihat negara tersebut saling berdekatan atau tidak.  
            Regionalisme mulai berkembang setelah Perang Dunia II, karena negara di dunia mulai banyak terlibat dalam kegiatan kerjasama internasional. Akibatnya, negara-negara tersebut membentuk blok-blok tertentu atau organisasi internasional berdasarkan wilayah yang bertujuan untuk semakin mempermudah kerjasama dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ekonomi, politik, militer, sosial budaya, dan lain sebagainya. Sebagai contoh misalnya ASEAN (Association of South East Asia Nation).
  Selain fenomena globalisasi tersebut, liberalisme juga semakin meluas dan membuat perdagangan bebas semakin berkembang pesat. Akibatnya organisasi-organisasi regional tersebut kemudian lebih bergeser ke motif ekonomi sebagai tujuan utamanya, sehingga muncul pula blok-blok perdagangan bebas berdasarkan wilayah untuk mempermudah jalannya perdagangan bebas antar negara anggota. Dalam blok perdagangan tersebut kemudian terdapat kesepakatan antar aktor dalam membuat aturan perdagangan bebas yang dilakukan. Misalnya CAFTA (China-ASEAN Free Trade Area) yang merupakan kerjasama perdagangan bebas antara China dengan negara anggota ASEAN.
Secara umum, regionalisme terjadi kerena dua faktor, yaitu faktor domestik dan faktor dari luar atau internasional. Faktor domestik adalah adanya interest group dalam negara yang mempengaruhi kebijakan luar negeri ataupun karena adanya kebijakan dari pemerintah negara itu sendiri. Sedangkan faktor luarnya adalah adanya national interest dari negara itu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari kerjasama regional, kebutuhan akan keamanan bersama, ataupun untuk mendapatkan pengaruh di dunia internasional karena bergabung dengan beberapa negara.

Berdasarkan tujuannya, bentuk regionalisme terbagi menjadi dua, yaitu[1]:
1.      Form of Regional Security Integration ,yaitu bentuk regionalisme yang berkaitan dengan keamanan.
a.       Cooperative Security, dibentuk untuk menciptakan keamanan bersama dengan rasa saling percaya
b.      Collective Security, dibentuk untuk menciptakan kekuatan bersama untuk mengantisipasi musuh yang belum diprediksi, misalnya teroris.
c.       Aliansi, suatu bentuk kekuatan bersama yang memiliki musuh yang sudah pasti. Misalnya antara NATO dengan Pakta Warsawa

2.      Form of Regional Economy Integration ,yaitu bentuk regionalisme dengan tujuan ekonomi
a.       Free Trade Area, adalah kawasan perdagangan bebas dengan adanya pengurangan pembebasan tarif sesuai kesepakatan
b.      Custom Union, adalah penyamaan kebijakan luar negeri
c.       Common Market, adalah Custom Union yang ditambah dengan pemberlakukan pasar bebas
d.      Economic Union, adalah Common Market ditambah dengan penyamaan kebijakan ekonomi negara
e.       Monetary Union, adalah Economic Union dan penyamaan mata uang, contohnya Uni Eropa yang menggunakan euro.


SUMBER:

D. Coleman, William. R.D Underhill Geofey (ed.). 2002. Regionalism And Global Economic Integration: Europe, America, And Asia. New York : Routledge  



Rabu, 10 Juli 2013

KONTRIBUSI TEORI KRITIS DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

Banyak fenomena yang berkembang dalam Hubungan Internasional saat ini sehingga tidak hanya bisa dijelaskan oleh teori yang sudah ada selama ini. Misalnya banyak fenomena Hubungan Internasional yang muncul selain damai dan perang. Karena itu pemikiran Hubungan Internasional berkembang dalam tahapan yang ditandai oleh perdebatan khusus antara kelompok-kelompok penstudi. Perdebatan besar pertama adalah utopian liberalisme dan realisme. Perdebatan besar kedua adalah pada metode antara pendekatan tradisional dan behavioralisme dan perdebatan besar ketiga adalah antara neorealisme/neolibrealisme dan neo-Marxisme dan yang keempat adalah antara tradisi yang mapan dengan alternatif-alternatif pospositivis. Pada perdebatan keempat tersebut diangkat isu-isu metodologi maupun isu-isu pokok. [1]
      Pospositivis merupakan paham yang luas, mencakup pandangan-pandangan metodologis yang berbeda yaitu terdiri dari beberapa teori dan salah satunya adalah teori kritis, teori kritis adalah sekelompok ilmuwan di Jerman yang dikenal dengan nama Mazhab Frankurt. Teori kritis dalam Hubungan Internasional cenderung mirip dengan asumsi yang dikemukakan oleh Marxisme utamanya dalam hal ekonomi politik internasional. Teoritisi kritis dalam Hubungan Internasional terkemuka adalah Robert Cox dan Andrew Linklater.[2]
      Pada dasarnya teori kritis menolak postulat dasar positivisme yaitu realitas eksterna yang obyektif, perbedaan subjek atau objek, dan ilmu sosial bebas nilai. Menurut teori kritis dunia sosial adalah sebuah konstruksi dan sistem internasional yang terbentuk selama ini merupakan suatu bentuk konstruksi dan negara-negara kuat yang berkuasa di dunia.
      Bagi teori kritis pengetahuan bukan dan tidak dapat netral baik secara moral maupun secara politik dan ideologi. Semua pengetahuan cenderung mencerminkan kepentingan dari para pengamat. Pengetahuan sadar atau tidak memiliki kecenderungan menuju kepentingan, nilai, kelompok, golongan, kelas, bangsa, dan lain sebagainya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa teori Hubungan Internasional cenderung bias. [3]
      Menurut Robert Cox sebuah teori selalu untuk seseorang dan untuk tujuan tertentu (theory is always for someone and some purposes). Robert Cox lalu membagi pandangannya menjadi dua hal yaitu perbedaan antara pengetahuan penyelesaian masalah (problem solving knowledge) dan pengetahuan emansipatori (emancipatory knowledge). Yang termasuk ke dalam pengetahuan penyelesaian masalah adalah teori-teori positivis.[4] Teori-teori positivis tersebut hanya untuk menjelaskan fenomena yang terjadi saat ini namun tidak dapat melakukan emansipasi seperti yang diperjuangkan oleh teori kritis.
Selain itu tidak ada teori yang objektif karena sebuah teori biasanya berangkat dari sebuah perspektif. Misalnya teori power yang mempunyai asumsi awal berdasarkan paradigma realis yang menyatakan bahwa dunia internasional adalah anarki dan setiap negara selalu mengejar kepentingannya melalui konflik. Hal ini membuat teori tersebut lebih bersifat subjektif.
Teori-teori yang telah ada tidak objektif juga karena para ilmuwan sosial dianggap sebagai instrumen kekuatan dan politik semata sehingga teori kritis berupaya untuk mengetahui kepentingan politis dari teori-teori yang ada tersebut. Nilai dari teori tersebut didasarkan pada nilai-nilai politis daripada nilai akademis sehingga perdebatan teori yang terjadi selama ini merupakan perdebatan yang penuh dengan muatan kepentingan politik.
Fokus utama teori kritis adalah pada kekuatan dan dominasi dunia secara umum. Jadi di sini teori kritis ingin mencoba mendobrak dominasi global yang ada selama ini dengan cara memahami kondisi yang menopang bentuk-bentuk dominasi dalam Hubungan Internasional tersebut. Tujuan utama teori kritis adalah ingin membebaskan kemanusiaan dan struktur ekonomi politik dunia yang dikendalikan oleh sebuah kekuatan hegemoni, seperti Amerika Serikat. Tak hanya itu, teori kritis juga berupaya untuk menciptakan suatu emansipasi dari struktur sosial global yang dianggap telah menciptakan kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang dan miskin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori kritis ini memiliki banyak kesamaan dengan EPI Marxis.
Jadi kontribusi utama dari teori kritis terhadap Hubungan Internasional adalah untuk memahami dan menganalisa bentuk-bentuk dominasi struktural dalam dunia internasional yang dianggap merugikan sebagian pihak. Selain itu teori kritis juga berupaya untuk mengetahui kepentingan politis tersembunyi dalam teori-teori dan perdebatan yang terjadi dalam Hubungan Internasional. Dengan demikian tujuan akhir dari teori kritis ini adalah untuk merobohkan sistem ekonomi politik dunia yang dinilai hanya menguntungkan kekuatan-kekuatan besar dalam sistem politik internasional melalui hegemoni yang dibuatnya.
Sebagai contoh untuk menjelaskan kontribusi teori kritis ini misalnya kritik terhadap paradigma liberalisme. Asumsi dasar kaum liberalis adalah setiap individu pada dasarnya baik dan mau bekerja sama. Dengan adanya kerjasama itu kemudian dapat menciptakan perdamaian. Begitupula yang terjadi dalam politik internasional, bila negara-negara di dunia mau bekerjasama dan tergabung dalam suatu wadah atau organisasi internasional maka perdamaian dunia dapat dicapai.
Selain itu menurut liberalisme, perang dapat dihindari jika negara-negara yang ada di dunia mampu membangun dan menyejahterakan rakyatnya. Menurut liberalisme, untuk dapat membangun dan menyejahterakan negara, negara tersebut harus menerapakan sistem free trade atau perdagangan bebas. Hal ini kemudian diadopsi oleh banyak negara berkembang di dunia.
Awalnya saat era berakhirnya Perang Dunia negara-negara berkembang tidak banyak berpartisipasi dalam sistem perdagangan multilateral atau perdagangan internasional. Negara-negara berkembang tersebut lebih memilih untuk menerapkan kebijakan proteksi dan meningkatkan campur tangan negara dalam perekonomian. Namun seiring berkembangnya keadaan dan bergabungnya negara berkembang ke dalam GATT, Negara tersebut akhirnya harus melakukan penyesuaian struktural sesuai kesepakatan GATT yaitu menerakan liberalisasi perdagangan. negara-negara berkembang tersebut akhirnya membuka pasar domestiknya terhadap perdagangan internasional.
Namun hal ini kemudian dianggap merugikan bagi negara berkembang karena ekspornya cenderung kalah saing dengan produk-produk yang dijual oleh negara maju. Selain itu negara maju secara sepihak melakukan proteksi terhadap pasar domestiknya sehingga produk dari negara berkembang sulit masuk ke pasar negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang tersebut harus membuka pasar dalam negerinya untuk menerapkan liberalisasi perdagangan sehinggap produk asing lebih mendominasi pasar dalam negeri. Akibatnya industri di negara-negara berkembang tersebut terancam.
Negara berkembang yang merasa dirugikan tersebut lalu berusaha membuat perubahan dalam sistem perdagangan internasional. Mereka ingin adanya mekanisme pembagian keuntungan yang adil antara negara maju dengan negara berkembang. Tahun 1964 dibentuk UCTAD (United Nations Conference On Trade And Development) yang memperjuangkan kepentingan negara berkembang dalam  perdagangan dunia. Setelah itu dibentuk kelompok G77 untuk memperjuangkan reformasi, yaitu mekanisme pengurangan peran GATT dalam perdagangan internasional dan distribusi pedapatan pada negara berkembang. Lalu dibentuk New International Economic Order (NIEO) yang ingin negara berkembang mempunyai kontrol terhadap MNC asing di negaranya, kemudahan akses teknologi, pengurangan utang luar negeri, dan peran lebih dalam World Bank dan IMF (International Monetary Fund). Namun ternyata NIEO juga gagal karena negara-negara anggota di dalamnya mempunyai kepentingan yang beragam dan mengalami krisis sehingga butuh bantuan dana dari IMF dan World Bank. 
Pinjaman dana dari IMF untuk negara-negara tersebut cenderung digunakan untuk konsumsi dalam negeri daripada untuk peningkatan ekspor dan untuk pembangunan yang lebih produktif. Sebagai syarat peminjaman dana dari IMF maka negara tersebut harus melakukan penyesuaian struktural sesuai permintaan IMF, yaitu melakukan peningkatan peran pasar daripada peran negara. Menurut IMF, pembangunan negara dapat dicapai apabila menerapkan konsep tadi.
Dari yang telah dijelaskan sebelumnya, asumsi dasar teori kritis adalah sebuah teori atau paradigm yang ada merupakan suatu bentuk kepentingan politis dari sebuah kekuatan besar. Hal ini terlihat dalam perspektif liberalisme yang dianggap sebagai sebuah cara untuk melestarikan kepentingan negara maju saja dan menindas negara kecil.
Adanya forum atau organisasi perdagangan internasional seperti GATT atau WTO memaksa negara-negara yang tergabung di dalamnya untuk mengikuti kesepakatan yang ada seperti menerapkan liberalisasi perdagangan yang dianggap merugikan negara berkembang. Begitu juga dengan adanya IMF dan World Bank yang membuat negara-negara yang memperoleh bantuannya harus melakukan penyesuaian structural seperti permintaan IMF dan World Bank. Akibatnya terjadi dependensia antara negara berkembang pada IMF dan negara tersebut terpaksa harus tetap menuruti kepentingan IMF apabila ingin tetap mendapat pinjaman dana. Pada akhirnya negara tersebut sulit maju karena menggunakan dana pinjaman untuk hal yang kurang produktif dan akan terus terbebani dengan hutang luar negeri. Selain itu kebijakan negara tersebut akan cenderung didikte oleh kepentingan IMF yang di dominasi oleh negara-negara maju.
 Aturan perdagangan internasional selama ini hanya menguntungkan negara maju sehingga negara berkembang tidak dapat bersaing. Selain itu ketergantungan negara berkembang pada IMF membuatnya harus melakukan penyesuaian struktural sesuai kepentingan IMF sehingga menghambat kemajuan negara berkembang. Dengan demikian sesuai asumsi teori kritis bahwa kemiskinan dan kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang terjadi karena struktur yang ada sulit diubah dan struktur yang ada tersebut merupakan bentuk hegemoni dari negara maju saja. Meski sudah berusaha untuk mengubah struktur yang ada negara berkembang tersebut rupanya masih saja gagal untuk menciptakan keadilan dan pemerataan pendapatan. Dengan demikian negara-negara berkembang tersebut akan tetap kesulitan untuk dapat menjadi negara maju karena terdapat sebuah struktur yang ada ternyata menghambat kemajuan itu sendiri.
Berdasarkan contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa kontribusi teori kritis dalam studi Hubungan Internasional adalah untuk memahami bahwa terdapat dominasi struktural yang tidak adil dalam Hubungan Internasional yang tercermin dalam kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang akibat dari penerapan liberalisasi perdagangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa liberalisme merupakan sebuah kepentingan politis atas negara-negara maju untuk terus dapat menindas negara kecil. Akibat dari struktur yang dibentuk oleh liberalisme ini negara miskin akan tetap miskin sementara negara kaya semakin kaya. Oleh karena itu teori kritis berupaya membongkar fenomena ini dengan harapan dapat menciptakan dunia politik internasional yang lebih baik dan adil. Untuk mewujudkan harapan tersebut teori kritis berupaya menentang segala bentuk hegemoni dan merobohkan sistem ekonomi politik dunia yang tidak adil tersebut melalui studi Hubungan Internasional.



[1] Robert Jackson dan George Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional . hal 84
[2] Ibid. hal 299
[3] Ibid,. hal 300
[4] Ibid,.hal 300

Sabtu, 06 Juli 2013

COFFE CONVERSATION



                Aku terpaksa memenuhi permintaannya untuk minum kopi  bersama hari ini. Kami  memilih duduk di tepi jendela, dan aku menyibukkan diri dengan melihat pemandangan kota di sore hari sambil menikmati kopi panas ini, sampai akhirnya dia memulai pembicaraan.
                “Kita belum pernah saling sapa sejak pertama kali bertemu di kantor…” ujarnya sambil tersenyum.
                “Maaf,” aku agak terkejut setelah terlarut dalam lamunan tadi.
                “Kukira kau lupa siapa aku,…”
                “Oh, tidak aku… aku hanya bersikap profesional saja,” aku mencari alasan. Alasan yang tidak bagus menurutku dan hanya menyulitkanku saja bicara begitu.
                “Haha, kau memang begitu. Selalu profesional sejak dulu…” katanya lagi, entah memuji atau menyindirku. Aku tersenyum saja.
                “Baru sekarang kita bisa ngobrol, dan kamu sudah akan pergi ke London saja. Berapa lama kamu di sana?”
                “Mmm… mungkin sekitar empat tahun…”
                “Lama sekali ya?”
                “Aku juga ingin cepat lulus kuliah sepertimu jadinya tidak perlu selama itu. London… seperti apa di sana? Apa dingin sekali? Apa macet seperti di sini?”
                “Tentu saja dingin kalau musim dingin…”
                “Menyenangkan di sana?”
                “Di mana-mana aku selalu senang,”
                Aku tersenyum saja mendengar jawabannya. “Termasuk di sini?”
                “Tentu saja! Ini kampung halaman kita, seburuk apapun negara ini, ini rumah kita..”
                Aku diam.
                “Kau sendiri apa kau tidak senang di sini, jadi harus tiba-tiba ke London?”
                “Ini tidak tiba-tiba, aku berusaha mendapat beasiswa di sana sejak lulus kuliah dulu. Baru sekarang aku mendapat beasiswa S2 itu. Memang butuh waktu yang lama dan ini waktu yang tepat,..”
                “Senyummu palsu,…” katanya sambil tersenyum sekaligus menatapku dengan tajam.
                “Apa?”
                “Aku tahu kau pura-pura tersenyum saja padaku. Tidak apa-apa, aku tidak akan memaksamu berpura-pura begini.”
                Aku tidak tersenyum lagi. Aku menatapnya tajam.
                “Kau pergi karena menghindariku kan,”
                “Kenapa kau berpikir begitu?”
                “Itu hanya perasaanku saja,… apa benar begitu? Maafkan aku kalau aku salah,”
                “Tidak, kau memang benar. Beasiswa ini datang di saat yang tepat,”
                Dia menunduk. “Begitu,”
                “Maafkan aku,”
                “Kenapa kau minta maaf? Harusnya aku minta maaf padamu. Aku pasti berbuat salah hingga kau membenciku seperti itu.”
                “Lupakan saja,”
                “Sebenarnya apa salahku? Apa aku punya kesempatan untuk memperbaikinya? Aku tidak akan tenang hidup begini,”
                “Kau bicara apa, kau tidak salah. Kubilang lupakan, ceritakan padaku tentang London,” aku berusaha mengganti topic.
                “Sebenarnya apa salahku?”
                Aku menghela nafas. Aku sudah terjebak dalam pembicaraan yang tidak menyenangkan ini.
                “Kesalahanmu adalah… kau muncul lagi dihadapanku! Kenapa kau tidak ke London, New York, Tokyo, Mesir, Jerman, Belanda, Belgia, Hawai, Austra,…”
                “Apa?”
                “Ya! Kalaupun kau harus kembali ke sini, kenapa kau harus ingat aku? Kenapa harus di kantor yang sama? Kenapa kau jadi bosku? Kenapa juga kita harus bicara di sini! Kau puas?”
                “Aku tetap tidak mengerti alasanmu itu.”
                “….aku juga tidak tahu kenapa,”
                “Apa?”
                “Aku benci sekali tiap melihatmu sejak dulu. Oh, tidak… Dulu aku tidak membencimu. Aku hanya merasa tidak pantas berada di dekatmu, apalagi bicara denganmu. Tiap kali aku di dekatmu aku merasa bodoh, aku merasa buruk sekali dan aku benci itu. Kau tahu, aku memang profesional, aku tidak ingin terlihat buruk di mata semua orang, mereka harus memandangku seperti orang yang paling pintar dan rajin, dan… aku benci saat kau mengetahui kalau aku juga mendapat nilai jelek atau tak sepintar dirimu. Karena itulah aku kemudian membencimu,”
                “Kenapa kau berpikir begitu? Itu perasaanmu saja, merasa bodoh, apa-apaan itu?”
                “Ya, ketika kau pintar sekali, bisa menjawab semua teka-teki tersulit, mendapat nilai bagus, menanyakan hal-hal yang tidak dimengerti orang lain, mengkritisi semua hal, mendapat pujian, aku benar-benar…” nafasku tertahan.
                “Jadi ini semua karena kau merasa iri padaku?”
                “Aku hanya merasa tidak pantas untuk orang sebaik dirimu, itu saja. Mungkin aku memang iri, ya, aku mengakuinya. Aku juga ingin selevel denganmu, tapi… kau tidak akan pernah bisa melihatku meski aku berada di bawah cahaya terang kan,”
                Dia memandangku dengan sedih. Aku memang menyedihkan.
                “Gadis itu… apa kau masih bersamanya?” tanyaku tiba-tiba. Hal itu muncul seketika di kepalaku.
                “Oh… ya,” jawabnya datar. Dia seakan tidak ingin aku menanyakan itu lebih lanjut dan segera menyela sebelum aku menimpali.
                “Kenapa kau merendahkan dirimu sendiri, padahal aku tidak pernah berpikir begitu, maksudku… aku tidak peduli apa orang itu sempurna atau tidak,… aku sendiri juga sangat bodoh, sebenarnya aku tidak punya apa-apa untuk disombongkan,”
                “Aku tidak memahami diriku sendiri. Haha, aku memang tidak memahaminya. Karena aku membencimu aku tidak ingin melihatmu, aku ingin kau enyah dari bumi, aku berharap kau menghilang selamanya. Kenapa kau tidak menghilang saja! Aku kesal saat kau selalu saja ada di sekitarku tanpa diundang!”
                Dia mendengarkan.
                “Tapi… saat kau tidak ada aku malah mencarimu, tidak, aku tidak mencari sebenarnya, aku hanya bertanya-tanya kenapa kamu tidak ada? Apa kamu bolos? Apa kamu ketiduran? Apa kamu sakit? Hahaha, bodoh sekali aku ini! Saat aku melihatmu aku merasa sesak, aku sakit sekali, seperti tidak bisa bernafas, tapi saat kau hilang, aku juga merasa sakit… Apa yang harus aku lakukan? Apa? Kenapa kau menyiksaku seperti ini?”
                “Maafkan aku,…”
                “Sudah kubilang, kau tidak perlu minta maaf. Aku mengerti sekarang kenapa aku merasa sakit seperti ini, aku bukan membencimu, aku hanya membenci diriku sendiri yang bodoh ini,”
                Dia menghela nafas. Aku memandang keluar jendela. Mulai gelap  dan hening.
                “Aku tidak akan menyiksamu lagi, aku yang akan pergi,”
                Aku menatapnya lagi dengan terkejut.
                “Apa?”
                “Aku akan menghilang dari hidupmu, kau tidak akan merasa sakit lagi mulai sekarang,”
                Aku tertawa meremehkannya.
                “Apa kau ingin membunuhku?”
                “Membunuh?”
                “Kau pergi pun itu sama saja sekarang, aku akan merasa kehilangan, dan yang paling parah aku akan merasa bersalah sekali telah mengakui ini semua, ternyata kau benar-benar jahat,”
                “Tidak akan seperti itu,…”
                “Aku sendiri yang akan pergi. Cuma ini satu-satunya cara aku melupakan semuanya. Kalau aku pergi aku tidak akan merasa kehilanganmu, aku akan merasa lega. Aku tidak peduli harus ke mana, aku ingin pergi sejauh-jauhnya.”
                “Baiklah. Aku tidak akan menghalangimu, lakukan apa maumu,”
                “Terimakasih,”
                “Tapi…. Aku tidak yakin semua akan baik-baik saja saat aku pergi. Maksudku… meski kau pergi ke bulan atau ke planet lain untuk melupakan aku, aku tidak yakin kau akan tenang,”
                “Kenapa?” tanyaku setelah meminum kopinya yang kini dingin.
                “Masalahmu bukan karena kau membenciku atau benci dirimu sendiri, tapi karena kau tidak jujur pada dirimu sendiri. Katakan saja yang sebenarnya, aku tidak akan marah, aku tidak akan mengejekmu atau apa, apakah ada yang ingin katakan padaku?”
                Aku menatapnya dengan bingung.Beberapa detik kemudian aku berpikir, mungkin benar yang ia katakan, tapi apa….?
                “Aku tidak tahu.”
                “Tidak tahu?”
                “Ya, aku tidak tahu… bukan, bukan! Aku hanya tidak yakin tentang itu,”
                “Aku akan menunggumu sampai kau yakin.. meski sampai besok aku di sini,…”
                “Jangan memaksaku! Lupakan saja semua dan mulai hidup baru. Aku tidak akan membencimu seperti tadi, mulai sekarang aku akan menyapamu, aku akan baik padamu. Apa perlu aku telepon tiap hari dari London supaya kau percaya kalau aku baik-baik saja? Kita anggap ini hari perkenalan kita, bagaimana?” aku memasang wajah ceriaku yang sejak tadi hilang.
                “Sampai kapan kau mau membohongi dirimu sendiri seperti itu? Kau menyiksa dirimu sendiri!”
                Aku terdiam. Ada apa dengan orang ini? Kenapa begitu susah bagimu lupakan saja semua, aku sudah menyesal bicara panjang lebar sejak tadi. Kalau tahu begini aku pergi saja dan tidak minum kopi denganmu!
                “Gadis itu, siapa namanya? Dia juga pernah ke London kan?” aku memaksakan diri mengubah topik pembicaraan.
                “Gadis itu? Siapa? Kau bicara Apa? Bukan itu yang ingin aku dengar,”
                Aku tidak tahan lagi. Aku pergi saja dari sini. Aku bangkit dari kursiku.
                “Katakan saja kau mencintaiku! Kau tidak perlu membohongi dirimu sendiri lagi! Kau menyiksa dirimu sendiri! Sampai kapan kau akan bertahan seperti itu?”
                Aku terdiam. Aku bahkan tidak sanggup menoleh. “Apa-apaan ini? Dasar brengsek!” Mataku sudah berkaca-kaca. Tiba-tiba aku teringat kata-kata seorang teman, seakan dia sendiri yang sedang bicara padaku saat ini, di sebelahku.
                “Hahaha, cuma orang bodoh yang tidak tahu kalau kau menyukainya! Sangat aneh kalau dia sendiri tidak tahu, hahaha!” Ia meledekku waktu itu.
                “Jadi kau memang tahu?” aku bicara dengan lirih.
                “Tidak, aku tidak tahu! Makanya aku menanyakannya padamu sekarang!”
                “Haha, dasar bodoh,”
                Lalu aku pergi.  
               
               
               

                

Senin, 01 Juli 2013

SISTEM PEREKONOMIAN INTERNASIONAL


1.      Sistem Ekonomi Dalam Perekonomian Internasional
Menurut Ohlin, suatu negara memiliki faktor produksi yang berbeda dengan negara lainnya, oleh karena itu suatu negara cenderung memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan komoditi dari faktor produksi yang mereka miliki. Suatu negara kemudian tiap negara mengekspor komoditi yang mampu dihasilkan lebih banyak dan mengimpor komoditi yang langka di negaranya.
2.      The Law of Reciprocal Curve
The Law of Reciprocal Curve yang dikemukakan oleh Marshall dan Edgeworth adalah sebuah hukum harga relatif yang ditentukan dari naik turunnya permintaan suatu negara terhadap barang produksi negara lain dan begitu juga sebaliknya.
3.      Production possibility curve
Production possibility curve atau kurva transformasi adalah kurva yang menggambarkan titik alternatif dari kombinasi dua komoditi yang dihasilkan oleh suatu negara menggunakan faktor produksi secara penuh.
4.      Opportunity cost
Opportunity cost atau teori biaya alternatif adalah biaya yang keluar karena pemilihan salah satu dari dua komoditi  sehingga dapat menghasilkan satu unit tambahan untuk komoditi lainnya.
5.      Term of trade
6.      Offer curve
Terdapat tiga faktor dinamis dalam ekspor impor yaitu:
a.       selera
Faktor selera konsumen yang beragam dapat menjadi faktor utama dalam permintaan suatu barang dan jasa, begitupula dalam hal ekspor dan impor. Selera konsumen dapat menentukan banyaknya komoditi yang diimpor dan diekspor oleh suatu negara. Adanya faktor selera ini dapat mendorong suatu negara untuk mengimpor komoditi dari luar negeri walau tidak diimbangi oleh daya beli masyarakat.
b.      teknologi
Faktor perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi dapat memunculkan inovasi baru dalam produksi sehingga dapat memproduksi secara cepat dan skala besar namun menggunakan biaya produksi yang lebih rendah. Adanya penggunaan teknologi ini dapat memberikan tiga dampak sebagai berikut:
·        Netral, yaitu terjadinya keseimbangan antara produksi barang ekspor dan impor setelah adanya teknologi
·        Ekspor bias, yaitu terjadinya peningkatan produksi barang ekspor daripada impor setelah adanya teknologi karena biaya lebih murah
·        Impor bias, yaitu terjadinya peningkatan antara produksi barang impor daripada ekspor setelah adanya teknologi
c.       faktor endowment

Faktor endowment adalah kemungkinan bertambah atau berkurangnya sumber daya alam suatu negara untuk faktor produksi.  

Sabtu, 29 Juni 2013

PERJUANGAN ETNIS CHECHNYA INGUSHETIA DALAM MENDIRIKAN NEGARA MERDEKA

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pada masa kejayaannya, Uni Soviet merupakan negara besar yang banyak berpengaruh di dunia. Kemenangan Uni Soviet dan Amerika Serikat pada Perang Dunia II menjadikan kedua negara tersebut sebagai negara superpower dan saling bersaing terutama pada era Perang Dingin. Namun berakhirnya Perang Dingin kemudian menjadi era kemunduran bagi Uni Soviet.  Uni Soviet akhirnya bubar karena banyak negara-negara bagiannya melepaskan diri dan menyisakan Rusia. Setelah jatuhnya Uni Soviet, Rusia kemudian menjadi negara yang berdiri pada Desember 1991.[1] 
Sebelumnya Uni Soviet memang dikenal sebagai negara yang multietnis. Namun pada era kejatuhannya, sekitar 100 etnis diberi daerah hak otonomi khusus dan ada pula wiayah lainnya yang diperbolehkan mendirikan negara merdeka.[2] Salah satu kelompok etnis di Uni Soviet yang menyatakan ingin berpisah dan mendirikan negara sendiri adalah etnis Chechnya-Ingushetia.
Saat  hancurnya Uni Soviet pada 1991, Chechnya menyatakan bahwa mereka tidak lagi bergabung dengan Uni Soviet. Mereka menyatakan telah mempunyai pemerintahan yang sah, membentuk parlemen baru, dan memproklamasikan kemerdekaan sebagai Republik Chechnya Ichkeria. Namun hingga tahun 2004 kemerdekaan mereka tidak diakui negara apapun termasuk oleh Rusia sendiri. Akibatnya kemudian terjadilah konflik bersenjata antara etnis Chechnya dengan Rusia.[3]
Rusia tidak rela melepaskan Chechnya karena letak wilayahnya yang strategis sebagai wilayah pertahanan bagi Rusia, yaitu di Pegunungan Kaukasus dan wilayah Cechnya merupakan daerah jalur pipa minyak yang juga kaya akan sumber daya alam.[4] Meski memiliki kekayaan sumber daya alam, selama bergabung dengan Uni Soviet etnis Chechnya tidak mendapatkan kemakmuran sehingga mereka ingin memisahkan diri dari Rusia yang merupakan penerus Uni Soviet. Namun adanya kepentingan Rusia di wilayah Chechnya ini mengakibatkan perjuangan etnis Chechnya-Ingushetia untuk merdeka terus mengalami hambatan,

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana perjuangan etnis Chechnya-Ingushetia dalam mendirikan negara merdeka?

1.3  Kerangka Teori
Kerangka teori adalah suatu kumpulan konsep dan teori yang penulis gunakan sebagai dasar dalam menjawab rumusan masalah. Untuk menganalisa bagaimana perjuangan etnis Chechnya-Ingushetia dalam mendirikan negara merdeka penulis menggunakan beberapa konsep dan pendekatan sebagai berikut:
a.       Pengertian etnis
Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Dari pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat di dalamnya.[5]

b.      Teori  etnisitas
Terdapat tiga teori etnisitas yaitu:
·                     Primordialisme
Menurut Joseph Rudolf, primordialisme merupakan fenomena etnis dalam ketegori-kategori sosio-biologis. Kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh hal-hal seperti wilayah, agama, budaya, bahasa, dan organisasi sosial yang memang disadari secara objektif sebagai suatu pemberian dan tidak bisa diubah lagi. Jadi dapat dikatakan bahwa hal-hal berkaitan dengan etnisitas seperti ciri fisik, agama, budaya, bahasa, organisasi sosial, merupakan kodrat.
·                     Konstruktivis
Menurut Frederik Barth, etnis adalah hasil proses sosial yang kompleks yaitu dari hal-hal simbolik yang dilakukan secara terus-menerus dan dibangun oleh manfaat mitologi, suatu hitungan sejarah dari bahasa, dan pengalaman masa lampau. Dalam hal ini etnis merupakan konsep yang berkembang dari waktu ke waktu dan ruang yang terkait pula dengan struktur ekonomi, politik, dan agama yang muncul dengan konfigurasi spesifik yang diberi label etnis.
·                     Instrumentalis atau strukturalis
Menurut instrumentalis, etnis adalah proses manipulasi atau mobilisasi politik dan kelompok sosial yang ada sudah tersusun sebagai etnis. Instrumentalis melihat identitas etnis sebagai alat politik, yang digunakan baik oleh perorangan maupun kelompok dalam rangka mencapai kepentingan mereka. Strukturalis lebih menaruh perhatian pada proses manipulasi dan mobilisasi politik ketika kelompok sosial yang ada tersusun atas dasar atribut-atribut etnisitas seperti kebangsaan, agama, ras, dan bahasa.

c.       Segmentasi etnis merupakan tipe atau jenis dari gerakan etnopolitik. Segmentasi terbagi menjadi beberapa jenis sebagai berikut:
·                     Ethnocultural segmentation
Segmentasi etnokultural ini berkaitan dengan etnisitas atau budaya sudah ada
·                     Ethno class segmentation
Segmentasi kelas etno berkaitan gerakan etnopolitik yang ditandai dengan adanya kelas atau stratifikasi. Jadi etnopolitik di sini bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi pada kelas etnis tertentu.
·                     Ethno territorial segmentation
Segmentasi etnoteritorial berkaitan dengan adanya perasaan memiliki teritorial atau wilayah tertentu sehingga gerakan etnopolitik di sini berjuang untuk mempertahankan atau mendapatkan kembali wilayah mereka

·                     Ethno class territorial segmentation
Segmentasi kelas etnoteritorial berkaitan dengan gerakan etnopolitik yang berjuang untuk memperjuangkan kelas etnisnya dalam suatu wilayah tertentu

d.      Jenis perjuangan etnis dapat dibedakan berdasarkan cakupan wilayahnya. Jenis perjuangan etnis berdasarkan cakupan wilayah adalah:
·                     Etnoregional
Kelompok etnoregional ini berjuang dalam suatu wilayah tertentu. Biasanya mereka memperjuangkan kepentingan bagi wilayahnya, misalnya menuntut hak-hak khusus bagi daerahnya atau otonomi daerah dari pemerintah pusat
·                     Etnonasional
Kelompok etnonasional merupakan gerakan etnis yang bertujuan untuk membentuk negara sendiri atau memisahkan diri melalui gerakan separatis

e.       Bentuk gerakan etnopolitik berdasarkan cara beroperasinya terbagi menjadi dua macam yaitu:
·                     Non violence atau tanpa kekerasan. Gerakan etnopolitik tanpa kekerasan biasanya dilakukan dengan cara damai seperti demonstrasi, menggunakan media massa, negosiasi
·                     Violence atau kekerasan. Gerakan etnopolitik dengan cara kekerasan misalnya melalui konflik bersenjata atau perang

f.       Etnisitas dalam politik
Terdapat dua pandangan tentang etnisitas dalam politik sebagai berikut:
·                     Interest group
Menurut pandangan ini, gerakan etnis merupakan kelompok yang memiliki kepentingan yang ingin dicapai, dan untuk memperjuangkan kepentingan tersebut kelompok etnis tersebut menggunakan jalur politik yang berdampak pada akses kekuasaan bagi kelompok tersebut



·                     Political group
Menurut pandangan ini, suatu kelompok etnis sudah mempunyai kekuasaan politik dalam suatu negara sehingga kelompok tersebut hanya perlu mempertahankan  apa yang sudah dimiliki

g.      Respon pemerintah dan kelompok etnis dalam etnopolitik
Secara umum respon pemerintah terhadap etnopolitik adalah sebagai berikut:
·                     Akomodatif
Pada pemerintah yang akomodatif, pemerintah memberikan respon positif pada gerakan etnopolitik, misalnya dengan memberikan otonomi dan kebebasan bagi etnis di wilayah tertentu. Pada kasus etnoclass pemerintah bisa menjadi mediator bagi etnis-etnis yang berkonflik
·                     Non akomodatif
Pemerintah yang non akomodatif berarti pemerintah tidak memberikan respon positif terhadap gerakan etnopolitik, misalnya pemerintah menolak memberikan hak otonomi bagi suatu etnis atau melakukan tindakan kekerasan pada suatu etnis

Sedangkan respon dari kelompok etnis tergantung dari tipe etnopolitik mereka yaitu:
·                     Etnoteritorial
Pada tipe gerakan etnoteritorial ini lebih berhubungan dengan cara kelompok ini beroperasi, sehingga tanggapan atau respon dari gerakan ini lebih pada perubahan metode gerakan
·                     Etnoclass
Pada tipa gerakan etnoclass peran pemerintah lebih pada mediator sehingga tanggapan dari etnis yang berkonflik adalah berusaha mencari kesepakatan atau titik temu diantara mereka
  


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Etnis Chechnya-Ingushetia
      Chechnya-Ingushetia adalah etnis yang mayoritas beragama Islam dan tinggal di daerah Kaukasus Utara yang termasuk wilayah Rusia. Chechenia dan Ingushetia adalah wilayah administratif Rusia yang terpisah sampai 1934, lalu bergabung dengan pemerintah Soviet  dalam wilayah Otonomi Republik Chechnya-Ingush. Pada 1989 populasi gabungan antara Chechnya-Ingush diperkirakan sebesar 1.194.317 jiwa, terdiri dari 237.438 dari Ingushetia dan 956.879 dari Chechnya. Angka ini termasuk masyarakat Chechnya-Ingushetia yang ada di Yordania, Turki, dan Suriah dalam pertengahan abad kesembilan belas yang melarikan diri saat perang dengan Rusia di Kaukasus.[6]
       Bahasa  yang digunakan etnis Chechnya dan Ingushetia berbeda satu sama lain meski di daerah mereka kedua bahasa tersebut tetap digunakan. Invasi di Kaukasus menyebabkan adanya dominasi Rusia dan perginya orang-orang Chechnya dan Ingushetia selatan ke Turki, Yordania, dan Suriah. Selama delapan belas dan kesembilan belas abad, Chechnya dan Ingushetia dikonversi dari agama animisme tradisional mereka menjadi Islam, yang dianggap langkah yang dimotivasi kemungkinan politik. Hal ini diyakini bahwa ada kelompok membuat konversi untuk menyesuaikan diri untuk mempertahankan Kaukasus dari Rusia. Saat ini Islam adalah agama mayoritas penduduk dan telah menjadi kunci elemen dalam identitas etnis mereka.[7]

2.2 Sejarah Perjuangan Etnis Chechnya-Ingushetia
      Selama bergabung dengan Uni Soviet, etnis Chechnya banyak mengalami penindasan dan ketidakadilan. Oleh karena itu perjuangan etnis Chechnya sebenarnya sudah dimulai sejak masih berada dalam naungah Uni Soviet hingga menjadi Rusia seperti sekarang ini. Perjuangan etnis Chechnya ini terbagi dalam enam periode yaitu:[8]
a.       Periode Pertama
           Periode ini terjadi pada sekitar abad 16 dan17.  Pada saat itu Moskow bermaksud untuk meluaskan pengaruhnya di bidang politik dan ekonomi. Penduduk dan pemimpin Chechnya rupanya tertarik dengan pendekatan Moskow tersebut dan mulai mengakui dengan sukarela kekuasaan Moskow atas wilayah mereka.
b.      Periode Kedua
            Masa ini terjadi pada abad 18, yaitu adanya ekspansi militer pertama Rusia ke wilayah utara pegunungan Kaukasus. Pada masa itu bangsa Chechnya mulai membangkitkan perlawanan bersenjata untuk memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan mereka. Gerakan anti kolonial dari Chechnya biasanya dilakukan oleh orang dari golongan bawah yang merasakan adanya ketidakadilan dalam pemerintahan.
c.       Periode Ketiga
Hubungan antara bangsa Rusia dan Chechnya semakin buruk pada abad 19. Saat itu pasukan perlawanan Chechnya dinilai berhasil menyatukan sebagian besar bangsa Chechnya dalam kesatuan. Kelompok perlawanan Chechnya ini sempat berunding dengan pihak Rusia untuk membahas perdamaian namun gagal. Tahun 1828 pun terjadi perang Kaukasia. Perlawanan kelompok Chechnya ini mulai dipengaruhi  oleh semangat jihad.
Pada tahun 1859, Chechnya mengalami kekalahan sehingga rakyat Chechnya berada di bawah kekuasaan administrasi militer Moskow meski mendapatkan hak otonomi dalam permasalahan regional. Ketika Perang Dunia I pecah, Rusia menggunakan bangsa Chechnya sebagai tentara sehingga mendapat keuntungan karena jumlah penduduk Chehcnya semakin berkurang dan mengurangi daya juang mereka. Hal ini lalu membuat bangsa Chechnya mulai bergolak lagi, dan ditanggapi secara keras oleh Rusia dengan menghilangkan, mengasingkan, dan mengusir para pemimpin perlawanan.
Kegagalan perlawanan Chechnya ini juga karena adanya pengaruh dari konflik internal antar pemimpin Chechnya yang menginginkan kekuasaan dan pengaruh pada rakyat Chechnya sendiri. Perlawanan kaun separatis Chechnya biasanya berasal dari  golongan Islam garis keras berusaha memisahkan diri dari Rusia selalu mendapat perlawanan dari pihak Chechnya sendiri yang pro-Rusia, yang biasanya berasal dari golongan sekuler maupun kaum agamis yang tradisionals.

d.      Periode Keempat
Periode keempat dimulai pada akhir abad ke-19. Saat itu secara konstitusional Chechnya merupakan bagian dari Rusia dan tetap mengalami perlakuan yang tidak adil. Pemerintah Rusia kemudian mulai berpikir bahwa kekerasan tidak akan berhasil mengatasi masalah separatisme sehingga yang diperlukan adalah sosialisasi kebudayaan Rusia di Chechnya dengan mendirikan sekolah Rusia yang secara tidak langsung membuat orang-orang Chechnya untuk lebih memfokuskan diri pada perekonomian daripada perang. Masa ini juga dikenal sebagai masa damai yang karena kondisi pemerintahan yang mulai melonggarkan peraturan pendudukan etnis yang menandakan gerakan liberalisasi sistem sosial. Para pemuka Chechnya pun mencoba berkompromi dengan membiarkan pembangunan berjalan terus dan mengikutsertakan pejuangnya untuk membantu Rusia dalam perang, walau  perlakuan diskriminatif terhadap etnis mereka terus terjadi.
e.       Periode Kelima
Pada periode ini  rakyat Chechnya terbagi menjadi tiga kubu yaitu:
a.       Kubu Nasionalis yang ingin Chechnya bergabung dalam Uni Soviet (Komunis).
b.      Kubu Nasionalis Demokrat yang ingin bergabungnya orang-orang gunung dan tetangga Barat mereka bersama bangsa Chechnya untuk membentuk negara.
c.       Kubu Nasionalis radikal yang merupakan kelompok Islam dan ingin Chechnya bergabung dengan Turki.
      Bentuk perjuangan rakyat Chechnya mulai beragam seperti dengan usaha membentuk sebuah negara teokratik merdeka juga pembentukan sebuah negara yang lebih sekuler (Republik Mountaineers pada tahun 1918). Walau kedua ide itu gagal, namun pihak Chechnya lain akhirnya memutuskan umtuk mengabdikan diri pada Uni Soviet yang menjanjikan kebebasan, persamaan, tanah, dan kekuasaan bagi mereka namun pada kenyataannya, janji Uni Soviet tidak pernah terwujud.
      Etnis Chechnya-Ingushetia akhirnya angkat senjata lagi pada masa rezim Joseph Stalin. Kekacauan dan kerusuhan semakin berubah menjadi perang gerilya. Pada masa Stalin terjadi praktik genosida dan pengusiran kepada beberapa petinggi Chechnya.      
Setelah masa Stalin, muncul pemikiran untuk membangkitkan lagi Republik Mandiri Sosialis Soviet Chechnya-Ingush, sebagai salah satu negara satelit Uni Soviet. Pejuang-pejuang lama yang dulu dibuang kembali lagi namun  Republik Mandiri Sosialis Soviet Chechnya-Ingushetia tidak pernah diwujudkan juga.
      Pada tahun 1960-an, muncul keberanian dari sebagian warga Chechnya untuk mengirim surat kepada Central Committee Partai Komunis di Moskow yang mengkritik sikap pemerintah daerah mereka terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbudaya mereka. Tapi pemerintah Uni Soviet tidak memberi respon positif. Pemerintah Uni Soviet malah melancarkan aksi etnosida untuk mematikan unsur dasar kehidupan suku bangsa Chechnya-Ingushetia, serta menimbulkan trauma bagi mereka.
      Chechnya-Ingushetia yang merasa diperlakukan tidak baik oleh Uni Soviet kemudian membentuk gerakan pemberontakan yang semakin memuncak pada masa disintegrasi Uni Soviet tahun 1991 dan etnonasonalisme Chechnya-Ingushetia baru pun muncul.
f.       Periode Keenam
Pada masa perestroika Gorbachev, Uni Soviet yang hancur memancing perang kemerdekaan baru bagi bangsa Chechnya-Ingushetia. Dipimpin oleh Jenderal Dzhokhar Dudayev, ibukota Grozny direbut pada tahun 1991. Proklamasi mereka diumumkan, namun tetap tidak diakui presiden Rusia terpilih, Boris Yeltsin. Dudayev yang meninggal akibat serangan roket tahun 1995, digantikan oleh Aslan Mashkadov yang terpilih pada 1997. Pada awal tahun 1999, ia menjadikan Syariah Islam sebagai hukum negara, yang memicu perpecahan di dalam gerakan perlawanan Chechnya sendiri.
Bentuk pergerakan Chechnya rupanya dilakukan dengan aksi kekerasan seperti bom bunuh diri di kota-kota besar Rusia sehingga banyak pihak yang menganggap mereka sebagai gerakan terorisme. Pada masa Vladimir Putin berkuasa, Rusia menerapkan tindakan keras terhadap etnis Chechnya-Ingushetia, seperti dengan memerintahkan perang dan pembumi hangusan daerah pertikaian, sehingga banyak rakyat sipil yang terbunuh dan mengungsi.
Kemudian pada Maret tahun 2003 telah disetujui untuk mengadakan referendum untuk menentukan nasib Chechnya sebagai negara bagian yang merdeka dan akan bergabung ke dalam Federasi Rusia. Referendum tersebut akhirnya menyetujui dibuatnya konstitusi baru bagi rakyat Chechnya.
Bulan Oktober pada tahun 2003 Ahmad Kadirov terpilih menjadi presiden Chechnya namun ia juga terbunuh. Terbunuhnya Presiden Chechnya ini kembali membawa suasana buruk antara Chechnya-Ingushetia dengan Rusia, ditandai merebaknya aksi teror di Rusia.
Pemerintah Rusia pun melakukan tindakan tegas terhadap teroris Chechnya-Ingushetia dan hal ini justru mengakibatkan banyak korban sipil yang membuat Rusia menerima banyak kritikan.

2.3 Analisa
Keberadaan etnis Chechnya-Ingushetia ini dapat dianalisa dengan menggunakan salah teori etnisitas, yaitu pandangan insrumentalis. Menurut kaum instrumentalis, etnis adalah proses manipulasi atau mobilisasi politik dan kelompok sosial yang ada sudah tersusun sebagai etnis. Instrumentalis melihat identitas etnis sebagai alat politik, yang digunakan baik oleh perorangan maupun kelompok dalam rangka mencapai kepentingan mereka. Strukturalis lebih menaruh perhatian pada proses manipulasi dan mobilisasi politik ketika kelompok sosial yang ada tersusun atas dasar atribut-atribut etnisitas seperti kebangsaan, agama, ras, dan bahasa.
Etnis Chechnya-Ingushetia merupakan etnis yang terbentuk dari proses sosial yang panjang. Hal ini dapat dilihat dari sejarah mereka. Pada awalnya etnis Chechnya-Ingushetia merupakan etnis yang tinggal di Kaukasus Utara dan mereka menganut animisme. Namun adanya invasi Rusia di Kaukasus menyebabkan etnis Chechnya dan Ingushetia melarikan diri ke negara timur tengah seperti ke Turki, Yordania, dan Suriah. Hal ini membuat etnis Chechnya-Ingushetia yang sebelumnya menganut animisme mulai berpindah ke agama Islam. Hingga saat ini Islam adalah agama mayoritas etnis Chechnya-Ingushetia dan telah menjadi identitas etnis mereka. Perubahan identitas etnis Chechnya-Ingushetia menjadi etnis muslim ini merupakan suatu bentuk kepentingan politik dari kelompok tertentu untuk mempertahankan wilayah Kaukasus dari Rusia. 
Hal ini terbukti dari pemimpin kelompok perlawanan Chechnya-Ingushetia yang ingin mendirikan negara berbasis syariah Islam dan mendasarkan gerakan perlawanannya dengan semangat jihad. Dengan adanya identitas etnis Chechnya-Ingushetia sebagai etnis muslim, para pemimpin dari etnis Chechnya-Ingushetia yang beragama Islam mulai memobilisasi rakyatnya yang juga didominasi oleh orang-orang Islam untuk mendukung perjuangan mereka dalam mendirikan negara merdeka yang berlandaskan syariah Islam sebagai dasar negara. Sedangkan para pemimpin etnis Chechnya-Ingushetia yang sekuler ataupun yang menganut agama tradisional lebih cenderung ingin tetap bergabung dalam Federasi Rusia. Pihak sekuler ini pun berupaya untuk memobilisasi rakyat Chechnya-Ingushetia sesuai kepentingannya.
Berdasarkan konsep segmentasi etnis atau tipe gerakan etnopolitik, perjuangan etnis Chechnya-Ingushetia ini tergolong ke dalam ethno territorial segmentation, yaitu segmentasi etnis yang berkaitan dengan perasaan memiliki daerah tertentu. Etnis Chechnya-Ingushetia yang merupakan etnis yang bertempat tinggal di daerah Kaukasus Utara merasa bahwa daerah tersebut merupakan wilayah miliknya, sementara Rusia yang memiliki kepentingan dan bisa mendapat keuntungan tertentu dari wilayah Kaukasus Utara tidak ingin kehilangan wilayah tersebut. Etnis Chechnya-Ingushetia selama bergabung dengan Uni Soviet selalu mendapat perlakuan tidak adil dan justru tidak mendapat keuntungan dari kekayaan alam di wilayah miliknya sendiri sehingga pada era kehancuran Uni Soviet, etnis Chechnya-Ingushetia menggunakan kesempatan tersebut untuk melepaskan diri dan tidak ingin bergabung dengan Federasi Rusia.
Berikutnya jenis perjuangan etnis Chechnya-Ingushetia berdasarkan cakupan wilayahnya  dapat digolongkan dalam etnonasionalisme karena tujuan dari perjuangan etnis Chechnya-Ingushetia sendiri yang ingin memisahkan diri dari Federasi Rusia.
Berdasarkan bentuk gerakan etnis, Chechnya-Ingushetia melakukan aksinya dengan dua macam cara, yaitu dengan kekerasan dan cara non-kekerasan. Pada awal pergerakan etnis Chechnya-Ingushetia berperang dengan Rusia untuk memperjuangkan kemerdekaannya hingga beberapa periode. Namun pada periode ketiga etnis Chechnya-Ingushetia mau melakukan perundingan secara damai dengan Rusia namun tidak mendapat kesepakatan dan kembali melanjutkan perang. Pada periode keempat, etnis Chechnya-Ingushetia melakukan aksi damai karena mau berkompromi dengan Rusia yang saat itu gencar menjalankan program pembangunan di wilayah Chechnya-Ingushetia. Masa damai ini masih terjadi hingga periode kelima walau etnis Chechnya-Ingushetia tetap memperjuangkan keinginannya. Pada masa ini etnis Chechnya-Ingushetia terbagi menjadi beberapa kubu kepentingan dan berjuang untuk mendirikan republik sekuler namun tetap gagal.
Pada akhirnya etnis Chechnya-Ingushetia kembali menggunakan cara kekerasan dalam memperjuangkan kepentingannya sejak masa Stalin karena pemerintah Rusia pada masa it uterus melakukan aksi kekerasan terhadap etnis Chechnya-Ingushetia meski kemudian diadakan referendum namun ternyata tetap tidak memberi hasil yang baik. Sejak itu etnis Chechnya-Ingushetia memilih tetap menggunakan cara kekerasan hingga label teroris melekat pada etnis ini.
Kemudian berdasarkan konsep etnisitas dalam politik, etnis Chechnya-Ingushetia  merupakan interest group atau kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan merupakan kelompok yang memiliki kepentingan yang ingin dicapai melalui jalur politik yang berdampak pada akses kekuasaan. Etnis Chechnya-Ingushetia memiliki kepentingannya untuk dapat mendirikan negara merdeka, dan dalam memperjuangkan keinginannya tersebut etnis Chechnya-Ingushetia juga melakukan diplomasi politik dengan Rusia. Tujuan utamanya tentu untuk mendapatkan akses kekuasaan karena selama ini etnis Chechnya-Ingushetia selalu diperlakukan tidak adil dan ingin mempunyai otoritas untuk membentuk pemerintahannya sendiri.

2.4 Respon Pemerintah Rusia Terhadap Perjuangan Etnis Chechnya-Ingushetia
Respon Rusia pada etnis Chechnya-Ingushetia cenderung sangat keras karena pemerintah Rusia pada awalnya berusaha mempertahankan wilayah Kaukasus Utara dengan cara perang atau kekerasan. Namun pada periode keempat Rusia mulai berpikir untuk mengubah strateginya menjadi lebih akomodatif, yaitu dengan menjalankan program pembangunan bagi etnis Chechnya-Ingushetia. Etnis Chechnya-Ingushetia sempat menerima program tersebut dan menghentikan perang selama beberapa waktu, namun pada masa Josef Stalin, Uni Soviet menjalankan pemerintahannya dengan keras sehingga terus menekan etnis Chechnya-Ingushetia dengan cara pengusiran, pembuangan, bahkan melakukan pembersihan etnis.
Pada masa Presiden Boris Yeltsin, ia membawa isu separatisme Chechnya-Ingushetia dalam kampanyenya pada 1990 dengan janji akan segera diselesaikan. Penyelesaian yang dilakukan Yeltsin adalah dengan menciptakan peraturan hokum baru. Peraturan hukum baru ini dicanangkan oleh Yeltsin dan Ruslan Khasbulatov pada 31 Maret 1992 yaitu Perjanjian Federasi yang disetujui oleh 86 dari 88 subyek federal. Mayoritas subyek federal yang menyetujui perjanjian ini merelakan otonomi luas atau kemerdekaan, dengan digantikan otonomi daerah dan hak-hak perpajakan khusus. [9]
Dua subyek federal yang tidak menanda-tangani perjanjian ini adalah Chechnya dan Tatarstan. Pada tahun 1994, Yeltsin dan presiden Tatarstan, Mintimer Şäymiev menandatangani perjanjian khusus yang memberikan Tatarstan otonomi luas. Tinggal Chechnya yang belum meyetujui sebuah perjanjian. Negosiasi antara Presiden Yeltsin dan Chechnya juga tidak berhasil sehingga tetap terjadi konflik bersenjata.[10]
Pada tahun 2003 pemerintah Rusia mengadakan referendum untuk menentukan nasib Chechnya-Ingushetia, namun cara ini tetap gagal dalam mewujudkan perdamaian antara Rusia dengan Chechnya-Ingushetia. Akhirnya pada masa Vladimir Putin, Rusia juga terus menekan etnis Chechnya-Ingushetia dengan cara kekerasan dan menganggap mereka sebagai teroris yang harus diberantas.
2.5 Respon Kelompok Etnis Chechnya-Ingushetia
Etnis Chechnya-Ingushetia sejak masa awal pergerakannya selalu menggunakan cara kekerasan untuk melawan pemerintah Uni Soviet yang terkenal sangat otoriter termasuk saat melawan Rusia seperti sekarang ini. Namun etnis Chechnya-Ingushetia juga bersedia memberi respon positif dengan berpartisipasi dalam dialog perdamaian dari Uni Soviet maupun Rusia. Namun sayangnya dialog perdamaian dan referendum yang diadakan tidak membawa perubahan positif bagi etnonasionalis Chechnya-Ingushetia sehingga mereka kembali menggunakan cara kekerasan untuk memperjuangkan kemerdekaannya.  Rusia yang selalu menekan Chechnya-Ingushetia dengan cara kekerasan membuat etnis ini memilih berjuang dengan cara radikal.


BAB 3. KESIMPULAN


Adanya etnis Chechnya-Ingushetia tidak terlepas bentukan dari sejarah panjang dan proses sosial yang mereka alami. Adanya perang dengan Rusia membuat etnis Chechnya-Ingushetia melarikan diri ke Timur Tengah dan mengalami islamisasi, sehingga Islam kemudian menjadi identitas etnis mereka. Para elite dari etnis Chechnya-Ingushetia lalu menggunakan identitas etnis ataupun atribut etnisitas tersebut untuk melakukan mobilisasi politik. Selain itu adanya ketidakadilan dan tindakan represif dari Rusia membuat etnis ini memberontak dan mendirikan gerakan etnonasionalis. Bentuk perjuangan etnis Chechnya-Ingushetia sebagian besar melalui cara kekerasan, namun mereka juga bersedia melakukan cara non-kekerasan namun tetap gagal mewujudkan kemerdekaannya. Perjuangan etnis Chechnya-Ingushetia tetap berlangsung hingga kini dan masih mengalami hambatan karena Rusia yang memiliki banyak kepentingan di wilayah Kaukasus Utara tetap tidak ingin melepas wilayah ini.   




DAFTAR PUSTAKA

Buku
Levinson, David. 1994.  Ethnic Relations A Cross Cultural Encyclopedia. California: ABC-CLIO, Inc

Internet

Iskandar. 2011. Etnis dan Suku Bangsa. Dari http://iskandarberkastasudra.blogspot.com/2011/11/etnis-suku-bangsa.html (diakses 6 April 2013 jam 21:56)

Wikipedia. 2013. Chechnya. Dari http://id.wikipedia.org/wiki/Chechnya (diakses 31 Mei 2013 jam 8:28)

--------------.2013. Sejarah Chechnya. Dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sejarah_Chechnya&oldid=6700399 (Diakses 31 Mei 2013 jam 8:23)

--------------. 2013. Perang Chechnya I. http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Chechnya_I (Diakses 31 Mei 2013 jam 8:36)










[1] Wikipedia. 2013. Perang Chechnya I. dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Chechnya_I
[2] Ibid,.
[6] Levinson, David. 1994. Ethnic Relations: Encylopedia Accross Culture. California: ABC-CLIO, Inc. Hal 43-45
[7] Ibid,.
[10] Ibid,.