KEMITRASEJAJARAN WANITA-PRIA
by: Muthi Fatihah
Sebenarnya kedudukan antara wanita dan
pria adalah sejajar, namun dari kondisi sosial dan kenyataan yang kita lihat
sehari-hari, kesejajaran antara wanita dan pria tidak selalu dapat terwujud.
Secara kultural, posisi wanita telah dianggap lebih rendah daripada pria, hal
tersebut telah berlaku sekian lama dan merupakan suatu pandangan yang sulit
dihapus dari pemikiran masyarakat. Inilah yang disebut sebagai gender stratification, atau penempatan
wanita secara tidak sejajar dengan pria.
Menurut
sosiologi, pengertian gender adalah perbedaan antara wanita dan pria secara
psikologis dan kultural yang telah dikonstruksikan secara sosial oleh
masyarakat. Perbedaan itu tampak pada pola perilaku antara pria dan wanita,
juga pada status dan peran yang melekat pada pria dan wanita.
Hal
inilah yang kemudian memunculkan suatu sistem stratifikasi antara wanita dengan
pria. Pandangan ini telah tersosialisasikan secara turun temurun sehingga telah
melembaga dalam masyarakat dan sulit untuk diubah. Perwujudan gender stratification ini kemudian
memunculkan kesenjangan dalam bidang ekonomi dan politik diantara wanita dengan
pria.
Dalam
kaitannya tentang peran wanita-pria dalam kegiatan ekonomi, terdapat tiga
ketegori periode perkembangan yang dikenal, yaitu:
- The family based economy
The family based economy
merupakan periode perkembangan pertama yang masih menjadikan rumah tangga
sebagai basis kegiatan ekonomi, itu artinya kegiatan produksi masih dilakukan
di rumah. Sehingga semua anggota keluarga, termasuk anak-anak dianggap sebagai
tenaga kerja dalam proses produksi, dan wanita sebagai ibu rumah tangga
mempunyai peran penting sebagai pengambil keputusan dalam urusan rumah tangga.
Sebenarnya pada periode ini wanita
tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, namun ada juga yang bekerja dalam bidang
pertanian, ataupun kegiatan perdagangan sederhana seperti menjaga toko, menjadi
pengrajin, membukan warung makan. Walau seperti itu wanita tetap memiliki
ketergantungan pada pria, karena kelangsungan kegiatan ekonomi wanita masih ditentukan
oleh kelangsungan kegiatan ekonomi pria, begitupun sebaliknya, sehingga dalam
hal ini kedudukan wanita-pria masih belum sejajar.
- The family wage economy
Periode kedua adalah the family wage economy yang ditandai
dengan adanya pergerseran dari kegiatan pertanian ke perdagangan dan adanya
pengaruh kapitalisme juga industrialisasi. Di periode ini kegiatan produksi
sudah tidak lagi pada rumah tangga tapi juga di luar rumah, seperti menjadi
buruh pabrik.
Pergeseran ini menimbulkan sesuatu
yang disebut the development of dual rules (peran ganda) bagi seorang wanita.
Di satu sisi seorang wanita tidak hanya menjadi ibu rumah tangga tapi juga
bekerja dan memperoleh upah, sehingga ada anggapan bahwa pekerjaan di luar
rumah lebih dihargai karena dapat menghasilkan uang, sedangkan menjadi ibu
rumah tangga seakan kurang dihargai karena tidak menghasilkan uang, dan ini
juga menyebabkan wanita tidak sejajar dengan pria. Ibu rumah tangga hanya
dianggap penganggur dan apabila bekerja, penghasilannya hanya dianggap sebagai
tambahan saja.
- The family consumer economy
Pada periode ketiga ini terdapat
kehadiran negara atau campur tangan pemerintah dalam sistem upah dan tenaga
kerja. Adanya perkembangan teknologi dan produktivitas membuat rumah tangga
hanya melakukan konsumsi dan reporduksi. Institusi publik telah banyak
menggantikan aktivitas yang sebelumnya dikerjakan di rumah sehingga wanita
hanya dianggap sebagai consumer atau
penerima saja.
Perubahan
ekonomi dan teknologi yang ditandai dengan adanya pergeseran dari ekonomi
domestik ke arah consumer economy
ternyata mengakibatkan perubahan citra kedudukan wanita (womanhood). Di masyarakat terdapat anggapan bahwa idealnya seorang
wanita adalah tinggal di rumah dan melakukan berbagai aktivitas rumah tangga, namun
kenyataanya, sebagian wanita harus berperan ganda karena menjadi ibu rumah
tangga sekaligus bekerja di luar rumah.
Dapat
disimpulkan bahwa bekerja bukan hanya kegiatan mengeluarkan tenaga dan waktu
untuk tugas tertentu, tapi juga merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki
nilai-nilai tertentu dan telah menjadi suatu keyakinan dalam masyarakat, dan
salah satunya mengacu tentang hubungan antara wanita dan pria dalam kehidupan
sosial. Kemudian dengan adanya perkembangan teknologi dan industrialisasi
kemudian mulai terjadi pergeseran nilai yang diyakini masyarakat walaupun tidak
terlalu drastis namun memiliki arti yang signifikan.
Berikutnya
adalah hubungan wanita-pria dengan kegiatan politik. Kecenderungan gender stratification sebenarnya juga
tampak pada kegiatan politik. Di Indonesia sudah banyak bermunculan tokoh-tokoh
politik dari kalangan wanita, dan wanita telah banyak menempati posisi atau
jabatan tertentu dalam perpolitikan, seperti menjadi anggota legislatif,
pejabat daerah seperti Bupati, Walikota, Gubernur, bahkan Presiden RI pernah
dijabat oleh seorang wanita. UU yang berlaku di Indonesia pun telah memberikan
kuota 30% bagi keterwakilan wanita di parlemen walaupun belum terpenuhi
seutuhnya.
Walau
demikian dunia perpolitikan memang masih didominasi oleh pria daripada wanita.
Kebanyakan wanita masih berada di pinggiran atau periphery zone sehingga kurang kuat pengaruhnya dalam pengambilan
keputusan. Wanita masih berada di lapisan sub elite dalam struktur kekuasaan,
sedangkan the ruling class atau kelas
yang berkuasa masih didominasi pria.
Faktor-faktor
yang menyebabkan lemahnya wanita dalam kegiatan politik adalah faktor
psikologis, karakteristik personal, dan juga faktor organisasional, terutama
karena nilai-nilai yang dianut masyarakat yang sering menempatkan wanita di
posisi yang tidak sejajar dengan pria. Nilai tersebut diwujudkan dalam budaya
patriarki yang menempatkan pria pada posisi penting. Wujud adanya sistem ini
misalnya adanya anggapan bahwa wanita berada di bawah perwalian pria, seperti istri
di bawah perwalian suami, atau anak perempuan di bawah perwalian ayahnya.
Adanya budaya ini membuat wanita mempunyai akses yang kecil dalam melakukan
aktivitas publik.
Mengubah
budaya patriarki yang telah melembaga di masyarakat memang tidak mudah, karena
hal tersebut telah diyakini sejak lama dan terus disosialisasikan dari generasi
ke generasi.
Dalam
hal politik, banyak pihak yang merasa bahwa proses rekruitmen politik yang
dilakukan oleh para elite masih diwarnai nepotisme, sehingga dengan modal
kemampuan saja dirasa kurang cukup untuk dapat mempunyai posisi politik tanpa
adanya koneksi dengan penguasa. Sebagian orang kemudian tidak terlalu
mempersoalkan minimnya keterwakilan wanita dalam dunia politik karena bagi kaum
pria sendiri untuk mengakses dunia politik juga tidak mudah. Bahkan munculnya
politikus wanita juga dirasa tidak banyak terlalu membawa perubahan bagi
masyarakat, bahkan bagi kaum wanita. Karena
itu yang terpenting kemudian bukan mempermasalahkan jumlah wanita atau pria
yang mendominasi dunia politik, tapi bagaimana memunculkan orang-orang
berkualitas yang dapat mewujudkan kesejahtaraan rakyat.
Dengan
demikian, yang harus diubah bukanlah memperbanyak jumlah keterwakilan politik
wanita, tapi memperbaiki sistem politik yang ada agar para elite yang memimpin
dan mengambil keputusan untuk negara ini adalah orang-orang yang mementingkan
kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya atau kelompok saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar