oleh : Muthi Fatihah (110910101005)
BAB 1. PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara maritim yang mempunyai lautan yang sangat luas, yaitu kurang
lebih seluas 5,6 juta km2 dan garis pantai sepanjang 81.000
km.[1]
Dengan laut seluas itu maka potensi sumber daya alam yang berasal dari laut,
terutama perikanan cukup besar, baik dari segi jumlahnya, maupun dari keragaman
jenis ikan yang dapat dimanfaatkan.
Namun keberadaan sumber daya
perikanan yang melimpah ini justru mengundang para nelayan asing untuk masuk ke
Indonesia dan melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing)
utamanya di perairan perbatasan Indonesia. Sebenarnya illegal fishing ini sudah
lama terjadi dan terus merugikan nelayan Indonesia.
Sepanjang tahun 2012 kapal patroli
Kementrian Kelautan dan Perikanan menangkap 30 kapal asing yang menjarah ikan
di Indonesia, utamanya di kawasan Laut China Selatan, Natuna, dan Kalimantan
Barat. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan (PSDKP) Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), tingkat pencurian
ikan oleh nelayan asing di sekitar Laut China Selatan masih tinggi. Selain
melanggar batas wilayah laut, nelayan tersebut juga melakukan metode
penangkapan yang ilegal menurut peraturan KKP, yaitu dengan menyelam dan
menangkap ikan di karang, dan cara ini dapat merusak terumbu karang.[2]
Perbuatan nelayan asing ini tentu
melanggar hukum laut internasional dan tentu saja merugikan Indonesia sebagai
pemilik sumber daya alam. Tanpa disadari, praktek illegal fishing
telah merusak sumber daya alam kita, karena selain kekayaan laut dikuras, juga
berdampak terhadap kerusakan lingkungan kelautan kita. Masalah inilah yang
menurut penulis menjadi menarik untuk dianalisa lebih lanjut.
2.
Rumusan
Masalah
Dari
permasalahan yang telah dijelaskan pada latar belakang, maka didapat rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
apa
kaitan kasus illegal fishing terhadap sistem politik Indonesia?
2.
bagaimana
kapabilitas sistem politik Indonesia dalam menyelesaikan kasus illegal fishing
tersebut?
3.
Kerangka
Teori
Kerangka teori
merupakan suatu kumpulan konsep ataupun dasar teori yang digunakan dalam rangka
menjawab rumusan masalah atau pun menganalisa fenomena yang terjadi. Untuk
menganalisa kasus illegal fishing ini terhadap sistem politik Indonesia
dan bagaimana kapabilitas pemerintah RI untuk menangani kasus itu, hal pertama
yang perlu diketahui adalah pengertian dari sistem politik itu sendiri.
Sistem politik awalnya hanya untuk membandingkan
sistem politik suatu negara dengan
negara lainnya, namun sekarang sistem
politik digunakan untuk menganalisa suatu proses politik dalam negara.
Sistem sendiri diadopsi dari ilmu biologi, yaitu seperti organisme, yang di
dalamnya terdapat organ, sel, jaringan, yang masing-masing mempunyai fungsi
tersendiri dan saling bekerja sama dalam suatu kesatuan. Politik merupakan
berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan negara, yaitu kesejahteraan, yaitu
dengan membuat kebijakan atau seperangkat aturan. Pembuat kebijakan itu sendiri
memerlukan kekuasaan dan otoritas, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak
lain secara sukarela.
Menurut Huntington, sistem politik terdiri dari beberapa komponen,
yaitu:
a. Kultur,
yaitu nilai, sikap, orientasi, mitos, kepercayaaan, yang relevan terhadap
politik yang berpengaruh dalam masyarakat
b. Struktur,
yaitu organisasi formal dalam masyarakat di mana digunakan untuk menjalankan
keputusan-keputusan yang berwenang, misalnya DPR.
c. Kelompok,
yaitu bentuk sosial ekonomi baik formal maupun informal yang berpartisipasi dalam
politik serta mengajukan input pada struktur
d. Kepemimpinan,
yaitu individu dalam lembaga atau kelompok politik yang menjalankan pengaruh
lebih dalam menentukan alokasi nilai
e. Kebijakan,
yaitu pola kegiatan pemerintah yang secara sadar terbentuk untuk mempengaruhi
distribusi dalam masyarakat.
Adapun ciri dari sistem politik itu sendiri adalah :
a. identifikasi,
artinya bisa dibedakan dengan sistem lainnya. Untuk mengidentifikasinya perlu
dilihat tindakan politik yang mempengaruhi pembuatan keputusan
b. deferensiasi,
artinya ada pembagian kerja antara anggota sistem politik
c. integrasi,
artinya ada upaya dari sistem politik
untuk mengatur kekuatan dalam sistem
politik.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi sistem politik adalah
input dan output dalam pembuatan kebijakan. Input merupakan tuntutan dan
dukungan, sedangkan output merupakan hasil atau kebijakan yang dihasilkan
setelah adanya proses dalam sistem
politik.
Selain hal tadi, terdapat lingkungan lain di luar
sistem politik, yaitu:
a. sistem ekologi, yaitu semua kondisi fisik atau non
humanis yang meliputi sistem . Contohnya adalah letak geografis, luas wilayah,
kekayaan alam, flora fauna, dll.
b. sistem kepribadian, yaitu karakter suatu bangsa,
sehingga perlu penyesuaian antara karakter dengan kebijakan
c. sistem sosial, yaitu suatu sistem yang terdiri dari:
·
sistem kebudayaan, yaitu kebudayaan politik dalam
suatu negara
·
sistem ekonomi, yaitu pengelolaan ekonomi untuk
kesejahteraan
·
sistem demografi, yaitu keadaan penduduk di dalam
suatu negara
Kemampuan sistem politik terdapat beberapa macam, yaitu:
a. kapabilitas
ekstraktif, yaitu kemampuan sistem
politik dalam mengelola sumber-sumber yang ada baik SDA maupun SDM dari
lingkungan domestik maupun internasional.
b. kapabilitas
regulatif, yaitu kemampuan sistem politik
dalam mengendalikan dan mengatur masyarakat dengan menerapkan peraturan
c. kapabilitas
distributif, yaitu kemampuan sistem
politik dalam mengalokasikan sumber-sumber yang ada
d. kapabilitas
simbolis, yaitu kemampuan sistem politik
dalam mengefektifkan simbol negara pada masyarakat
e. kapabilitas
responsif, yaitu kemampuan sistem
politik dalam menanggapi tuntutan
f. kapabilitas
domestik dan internasional, yaitu kemampuan sistem politik dalam negeri dalam mempengaruhi
sistem politik internasional
Untuk menganalisa apakah kaitan antara
kasus illegal fishing dengan sistem
politik dan begitupun sebaliknya, penulis menggunakan konsep sistem
ekologi. Jadi hal yang dianalisa di sini adalah pengaruh antara kasus illegal
fishing dengan sistem politik
Indonesia, begitu juga sebaliknya sistem
politik Indonesia apakah dapat mempengaruhi sistem ekologi tersebut.
Sedangkan untuk menganalisa kapabilitas
sistem politik, penulis menggunakan konsep kapabilitas ekstraktif dan
kapabilitas regulatif. Konsep kapabilitas ektraktif digunakan untuk melihat
kemampuan sistem politik Indonesia dalam
mengelola sumber daya perikanan, sedangkan kapabilitas regulatif digunakan
untuk menganalisa aturan-aturan apa saja yang dibuat pemerintah dalam rangka
menindak illegal fishing tersebut.
BAB 2. PEMBAHASAN
Indonesia
sebagai sebuah negara maritim dengan potensi kelautan yang sangat besar dan
letaknya yang sangat strategis, yaitu di antara dua benua (Asia dan Australia)
dan di antara dua samudera (samudera Hindia dan Samudera Pasifik) membuat
kapal-kapal asing banyak memasuki
kawasan perairan Indonesia.
Potensi sumber daya perikanan laut
yang dimiliki Indonesia ini merupakan
bagian dari sistem ekologi, yaitu semua kondisi fisik non humanis yang dimiliki
negara. Sistem ekologi ini juga sangat berpengaruh terhadap sistem politik yang ada di Indonesia, utamanya dalam
kasus ini adalah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam
mengelola sumber daya perikanan laut.
Adanya illegal fishing ini
sebenarnya sudah lama terjadi dan rupanya benar-benar telah memukul masyarakat
yang selama ini menggantungkan hidupnya pada perekonomian di laut. Mantan
Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Fadel Muhammad menyatakan bahwa IUU Fishing (Illegal,
Unregulated and Unreported Fishing) ini adalah tindakan kriminal lintas
negara yang terorganisir dan secara jelas telah menyebabkan kerusakan serius
bagi Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Pasifik lainnya. Karena,
selain merugikan ekonomi, sosial, dan ekologi, praktik ini merupakan tindakan
yang melemahkan kedaulatan wilayah suatu bangsa.[3]
Pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri terus berusaha keras dalam
memerangi IUU Fishing itu. Pada bulan Oktober 2010 lalu Indonesia bersama 21
negara yang tergabung dalam Asia-Pasific Economic Development (APEC)
telah bersepakat untuk lebih gencar dalam memerangi dan mengatasi illegal
fishing. Kesepakatan itu tercantum dalam Deklarasi Paracas yang merupakan
hasil dari Pertemuan Menteri Kelautan APEC di Paracas, Peru, 11-12
Oktober 2010.[4]
Untuk meminimalkan illegal
fishing pemerintah membuat Undang-Undang yang mengatur tentang perikanan. Selama
ini pemerintah telah mengandalkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang
Perikanan. Selain adanya UU, patroli
atau penjagaan kawasan perbatasan juga ditingkatkan, utamanya pada pengamanan
di sekitar Laut China Selatan. Saat ini ada empat kapal yang berpatroli rutin
di kawasan yang berbatasan dengan Malaysia, Thailand, dan Vietnam itu dengan
120 hari operasi tiap kapal.[5]
Tidak jarang dalam patroli yang dilakukan KKP menangkap kapal-kapal nelayan
asing dan memberikan sanksi tegas terhadap nelayan-nelayan asing itu.
Dari peraturan-peraturan tentang
perikanan tadi, dapat dilihat bahwa kapabilitas regulatif yang dimiliki oleh
pemerintah saat ini ternyata dinilai kurang memperhatikan nasib nelayan dan
kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut. Sebab, pada
Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 ternyata memberi celah yang
memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi
sumber daya perikanan Indonesia. Khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Seperti yang tercantum pada pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha
perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh warga
negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2), kecuali
terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang
atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal
tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan
internasional atau ketentuan hukum intenasional.[6]
Praktek illegal fishing ini
justru dimanfaatkan oleh para pejabat terkait untuk meraih keuntungan. Pada
kenyataannya, selama ini pemerintah hanya menindak kapal berukuran kecil milik
nelayan asing, sedangkan kapal-kapal diatas 100 Gross Tonage (GT) yang tidak hanya
melakukan praktek illegal fishing tapi juga melakukan praktek illegal
license (penyalahgunaan izin). Izin tersebut didapati dengan cara-cara
yang tidak sesuai mekanisme atau tidak sesuai aturan yang berlaku. Praktek illegal license saat ini
marak terjadi dan hanya menguntungkan segelintir orang. Pemerintah seringkali
membesar-besarkan jika ada penangkapan pelaku illegal fishing yang pada
kenyataannya merupakan kapal-kapal milik nelayan asing kecil yang melakukan
pelanggaran di perbatasan laut. Tetapi tanpa disadari, oknum-oknum tertentu di
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sebenarnya melakukan
praktek illegal license yang menyebabkan negara dirugikan triliunan
rupiah. Bukan hanya itu, permasalahan yang ditemukan saat ini adalah ada
indikasi pengusaha yang suka mencuri ikan di perairan Indonesia dibekingi oleh
oknum aparat penegak hukum, dan hal inilah yang menjadi salah satu kendala
utama pemerintah memberantas illegal fishing dan illegal license.
[7]
Dengan kurangnya kapabilitas
regulatif pemerintah tersebut terhadap menindak para pelaku illegal fishing,
dapat diketahui pula bahwa kapabilitas
ektraktif pemerintah dalam mengelola sumber daya perikanan laut juga lemah. UU
tentang perikanan yang ada ternyata memberi celah bagi pihak asing yang melaut
di Indonesia, sedangkan kondisi nelayan-nelayan di Indonesia yang kebanyakan
masih tradisional pasti dirugikan, utamanya dalam hal permodalan, sedangkan
perhatian pemerintah kepada nelayan masih sangat minim. Akibatnya pemanfaatan
sumber daya perikanan laut di Indonesia tidak begitu maju, sebaliknya
nelayan-nelayan dari perusahaan asing yang secara modal dan teknologi sangat
memadai mendapat keuntungan dari laut Indonesia yang kaya ini.
BAB 3. KESIMPULAN
Praktek
illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan asing di perairan Indonesia
sangatlah merugikan negara kita sebagai pemilik sumber daya alam kelautan dan
perikanan. Masalah ini kemudian menjadi input bagi sistem politik, yaitu pemerintah, untuk membuat
kebijakan dan menindak tegas para pelaku. Kebijakan berupa aturan
perundangan-undangan dan tindakan tegas pemerintah dalam menjatuhkan sanksi
bagi nelayan asing ini merupakan output, atau hasil dari sistem politik.
Namun apabila dilihat dari
kapabilitasnya, secara regulatif, penegakan hukum yang dilakukan oleh
pemerintah ini dinilai masih lemah. UU tentang perikanan ternyata memberi
kesempatan bagi pihak asing untuk masuk ke perairan Indonesia dan melakukan
aktivitasnya walaupun izin. Pemberian izin ini kemudian digunakan oleh
oknum-oknum tertentu untuk mengambil keuntungan dengan memberi izin tanpa
prosedur yang legal dan ini merugikan negara. Selama ini pemerintah hanya
menindak nelayan asing kecil, tapi tidak dengan kapal-kapal besar yang
melakukan pelanggaran yang sama.
Tidak kurang kapabilitas regulatif
ternyata berpengaruh terhadap kapabilitas ekstraktif Indonesia. Kemampuan
nelayan Indonesia yang terkendala oleh permodalan dan kurangnya teknologi
membuat nelayan Indonesia kalah saing dengan nelayan asing. Hal ini sebenarnya
juga akibat dari kurangnya perhatian pemerintah dalam mengatasi masalah
permodalan nelayan sehingga kapabilitas ekstraktif kelautan Indonesia lemah,
sementara nelayan asing dengan modal dan teknologi yang mendukung dapat
mengambil keuntungan dari laut Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Kantaprawira,
Rusadi. 1999. Sistem Politik
Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Koran
Kompas,
8 Oktober 2012. 30 Kapal Penjarah Ikan Ditangkap, Nelayan Asing Kian Nekat
Memasuki Indonesia. Hal 15
Internet
Badan Riset Kelautan Dan Perikanan,
Departemen Kelautan Dan Perikanan. Profil Kelautan Indonesia. (www.dkpri.go.id),
diakses 12 Oktober 2012
Indonesia Maritime Institute. Illegal Fishing, Teroris Bagi Nelayan.
(www.indomaritimeinstitute.org),
diakses 12 Oktober 2012
Indonesia
Maritime Institute. Mafia Perikanan :Illegal License Maling Ikan Trilyunan Rupiah. (www.indomaritimeinstitute.org),
diakses 12 Oktober 2012
[1] menurut data
dari Badan Riset
Kelautan Dan Perikanan Departemen Kelautan Dan Perikanan. (www.dkpri.com)
[2]
Kompas, 8 oktober 2012. 30 Kapal Penjarah Ikan Ditangkap, Nelayan Asing Kian
Nekat Memasuki Indonesia. hal 15
[4] Ibid,.
[5] Kompas, 8 oktober
2012. 30 Kapal Penjarah Ikan Ditangkap, Nelayan Asing Kian Nekat Memasuki
Indonesia. hal 15
[6] Illegal Fishing, Teroris Bagi
Nelayan. (www.indomaritimeinstitute.org)
Prediksi Togel Mekong 27 September 2020 Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!
BalasHapus