oleh:
Muthi Fatihah (110910101005)
Jurusan Hubungan Internasional
UNEJ
UNEJ
Belum hilang dari ingatan kita tentang hal yang selalu diperingati setiap
tanggal 1 Mei lalu, yaitu Hari Buruh Sedunia atau yang biasa disebut May Day.
Tiap tanggal 1 Mei kita dapat menyaksikan puluhan ribu
pekerja turun ke jalan di kota-kota seluruh dunia untuk menandai Hari Buruh
Internasional dan menyerukan perbaikan hak pekerja. Seperti di Asia,
ribuan buruh berkumpul di ibukota Thailand, Bangladesh dan Indonesia untuk
melakukan aksi demonstrasi yang diselenggarakan oleh serikat pekerja. Di Rusia,
presiden yang baru terpilih Vladimir Putin, bergabung dengan puluhan ribu dalam
pawai di Moskow. Presiden Rusia Dmitry Medvedev juga menghadiri rapat umum
sementara para peserta pawai memegang spanduk besar yang mendukung serikat
pekerja dan pabrik mereka. Ribuan pekerja Yunani diperkirakan akan menggelar
protes penghematan anggaran sebagai bagian dari demonstrasi May Day di Athena
Selasa. Di AS, pengunjuk rasa Occupy merencanakan demonstrasi di New York untuk
memblokade sebuah jembatan besar dan menutup sebagian lembaga keuangan Wall
Street.[1]
Aksi May Day ini telah menjadi aksi rutin tiap tahun yang dilakukan oleh
para kaum pekerja untuk menuntut hak-hak mereka. Menurut sejarahnya sendiri,
May Day memang lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk
meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme
industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis pada sistem ekonomi dan politik,
terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan AS. Pengetatan disiplin
dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di
tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja. Tanggal 1
Mei dipilih karena merujuk pada peristiwa Haymarket yang terjadi di AS pada 1
Mei 1886,
yaitu saat sekitar 400.000 buruh di AS mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk
menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini
berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei. Pada tanggal 4 Mei 1886, para demonstran
melakukan pawai besar-besaran, polisi AS lalu menembak para demonstran hingga
ratusan orang tewas, para pemimpin demonstrasi ditangkap dan dihukum mati. Kemudian,
pada bulan Juli 1889 diadakan Kongres Sosialis
Dunia di Paris
untuk menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia
dan mengeluarkan resolusi berisi: Sebuah aksi internasional besar harus
diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada
waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh
menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per
hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis. Resolusi
ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890 inilah tanggal 1 Mei,
yang diistilahkan dengan May Day,
diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun sering mendapat tekanan
keras dari pemerintah.[2]
Peristiwa May Day dan aksi-aksi para pekerja menuntut para pemilik modal
untuk memperhatikan kesejahteraan dan hak-hak buruh ini kemudian mengingatkan
kita dengan teori marxist yang dipopulerkan oleh Karl Marx (1818-1883). Adanya
aksi-aksi buruh di seluruh dunia tersebut dapat membuktikan bahwa sistem
kapitalisme yang mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi masih saja
terjadi hingga saat ini. Pada kenyataannya efek kapitalisme menyebabkan orang
yang kaya akan semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.
Pemikiran Marx berkembang dengan latar belakang adanya perubahan struktur
ekonomi dan politik di eropa pada abad ke 19, yaitu terjadinya perubahan corak
produksi menuju kapitalisme. Marx menganggap bahwa sistem ekonomi pada saat itu
bersifat timpang dan eksploitatif.
Marx juga menitikberatkan teorinya pada perbedaan kelas, yaitu adanya kelas
borjuis (pemilik modal) dan kaum proletar
(pekerja) yang saling bertentangan. Kaum borjuis sebagai pemilik modal merupakan
kelompok yang menguasai alat-alat produksi, sedangkan kaum proletar merupakan
kaum buruh yang hanya memiliki kekuatan untuk bekerja yang kemudian ia jual
pada kaum borjuis. Namun kenyataannya pendapatan yang diterima oleh buruh tidak
sesuai dengan apa yang telah ia kerjakan, sementara kaum borjuis meraup
keuntungan dari penjualan hasil produksi.
Namun posisi buruh lebih lemah daripada pemilik modal
menyebabkan terjadinya eksploitasi
antara pemilik modal terhadap mereka. Situasi ini kemudian melahirkan
solidaritas antar sesama pekerja untuk mengambil alih alat-alat produksi dari
pemilik modal dan mengubah struktur produksi, yaitu dengan melakukan revolusi
sosial.
Marxisme
menganggap ekonomi dan politik merupakan dua hal yang sangat berkaitan, karena
kaum borjuis yang mendominasi bidang ekonomi juga cenderung mendominasi dalam
bidang politik. Hal itu kemudian menyebabkan negara tidak lagi otonom karena
negara digerakkan oleh kepentingan kelas yang berkuasa yaitu kaum borjuis.
Berarti konflik antar negara, termasuk perang seharusnya dilihat dakan konteks
persaingan ekonomi antar negara, dan konflik kelas lebih mendasar daripada
konflik antar negara.
Selain
itu kapitalisme juga bersifat ekspansif yaitu cenderung untuk memperluas pasar
untuk menjual hasil produksinya. Awalnya bentuk ekspansi terjadi dalam bentuk
imperialisme dan kolonialisme, tetapi hingga saat ini imperialisme masih
berlanjut walaupun negara jajahan sudah merdeka, yaitu melalui globalisasi
ekonomi, misalnya berkembangnya perusahaan multinasional (MNC) di negara-negara
berkembang yang mengakibatkan suatu eksploitasi terhadap negara berkembang oleh
negara maju.
Dari penjelasan tentang marxisme tadi dapat didapat
beberapa poin penting sebagai berikut:
1.
perekonomian adalah tempat
eksploitasi dan perbedaan antar kelas, yaitu kelas borjuis (pemilik modal)
dengan proletar (buruh).
2.
kehidupan
politik sebagian besar ditentukan oleh konteks sosial ekonomi. Kelas sosial
yang dominan juga cenderung akan dominan dalam bidang politik, ini artinya kaum
borjuis juga berkuasa dalam politik
3.
pembangunan
kapitalis global yang tidak seimbang mengakibatkan krisis antar negara dan
antar kelas.[3]
Dalam hubungan internasional, marxisme merupakan dasar
terbentuknya negara sosialis-komunis yang melakukan sentralisasi kekuasaan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu dengan membatasi peran individu
(swasta) dan alat serta faktor produksi dikuasai negara dalam rangka mewujudkan
peniadaan kelas sosial.
Dalam konteks globalisasi, kesenjangan antara kaum
borjuis dan proletar terlihat dengan adanya eksploitasi antara negara-negara
maju terhadap negara-negara berkembang, misalnya dalam hal sumber daya alam,
atau menjadikan negara berkembang sebagai pasar bagi negara-negara industri
maju. Misalnya berdirinya Freeport milik AS yang melakukan penambangan dan AS
mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada Indonesia yang merupakan
pemilik SDA, ataupun berdirinya perusahaan minyak asing seperti Shell yang juga
memperoleh minyaknya dari Indonesia. Dalam hal pasar, Indonesia merupakan
sasaran utama dari negara industri untuk menjual hasil produksinya, misalnya
alat-alat elektronik, alat transportasi, bahkan hingga ke makanan, minuman,
buah-buahan, semua merupakan produksi luar negeri, akibatnya produksi dalam
negeri kalah saing dan hanya menguntungkan pengusaha asing saja.
Pada dasarnya,
eksploitasi tersebut dapat dilakukan secara frontal atau tindakan langsung berupa
aksi militer, penjajahan, atau kolonialisme terhadap suatu negara. Sedangkan
eksploitasi secara terselubung dapat berupa kerjasama antarnegara, ataupun
adanya aliran modal asing bagi negara-negara berkembang yang biasanya diikuti
oleh adanya kepentingan asing yang turut mempengaruhi negara-negara berkembang
tersebut.
Dalam sistem internasional, marxisme telah membawa
pengaruh kuat dalam perekonomian dunia, dimana kesetaraan dan kebebasan setiap
elemen masyarakat mutlak dijunjung tinggi. Sebenarnya yang menjadi agenda utama
dari marxisme ialah adanya pemahaman terhadap komunitas sosialis untuk
menghilangkan eksploitasi dan kesenjangan antar kelas. Dalam hal ini, baik kaum
borjuis maupun proletar harus mampu bekerjasama demi tercapainya perdamaian dan
strabilitas keamanan internasional. Dalam upaya menegakkan perdamaian dan
stabilitas keamanan internasional, teori marxisme ini mengedepankan adanya
penghapusan kelas. Jika kelas tersebut dihapuskan, maka tidak akan ada lagi
konflik antar kelas yang terjadi. Karena pembentukan kelas, menurut marxisme,
merupakan faktor utama yang memicu terjadinya konflik.[4]
DAFTAR
BACAAN
Buku
Jackson,
Robert. Sorensen, Georg. 2009. Pengantar
Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Internet
VOA
Indonesia. Dunia Peringati Hari Buruh
Sedunia 2012. Dari www.voaindonesia.com
diakses pada 20 Oktober 2012
Wikipedia
Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. Sejarah
Hari Buruh. Dari http://id.wikipedia.org
diakses pada 20 Oktober 2012
Wikipedia
Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. Marxisme.
Dari http://id.wikipedia.org diakses pada
20 Oktober 2012
Putri, Dinar
Prisca. 2010. Teori
Hubungan Internasional: Marxisme Dan Neo-Marxisme.
Dari http://dinaprisca.blogspot.com
diakses 14 oktober 2012
[1]
Dikutip dari Dunia Peringati Hari Buruh Sedunia 2012.
Diakses dari www.voaindonesia.com
[2]
Wikipedia. Sejarah Hari Buruh. Diakses dari http://id.wikipedia.org
[4]
Dikutip dari Teori Hubungan Internasional: Marxisme Dan
Neo-Marxisme. Dari http://dinaprisca.blogspot.com diakses 14 oktober 2012
Prediksi Togel Mekong 27 September 2020 Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!
BalasHapus