Aku
terpaksa memenuhi permintaannya untuk minum kopi bersama hari ini. Kami memilih duduk di tepi jendela, dan aku
menyibukkan diri dengan melihat pemandangan kota di sore hari sambil menikmati
kopi panas ini, sampai akhirnya dia memulai pembicaraan.
“Kita
belum pernah saling sapa sejak pertama kali bertemu di kantor…” ujarnya sambil
tersenyum.
“Maaf,”
aku agak terkejut setelah terlarut dalam lamunan tadi.
“Kukira
kau lupa siapa aku,…”
“Oh,
tidak aku… aku hanya bersikap profesional saja,” aku mencari alasan. Alasan
yang tidak bagus menurutku dan hanya menyulitkanku saja bicara begitu.
“Haha,
kau memang begitu. Selalu profesional sejak dulu…” katanya lagi, entah memuji
atau menyindirku. Aku tersenyum saja.
“Baru
sekarang kita bisa ngobrol, dan kamu sudah akan pergi ke London saja. Berapa
lama kamu di sana?”
“Mmm…
mungkin sekitar empat tahun…”
“Lama
sekali ya?”
“Aku
juga ingin cepat lulus kuliah sepertimu jadinya tidak perlu selama itu. London…
seperti apa di sana? Apa dingin sekali? Apa macet seperti di sini?”
“Tentu
saja dingin kalau musim dingin…”
“Menyenangkan
di sana?”
“Di
mana-mana aku selalu senang,”
Aku
tersenyum saja mendengar jawabannya. “Termasuk di sini?”
“Tentu
saja! Ini kampung halaman kita, seburuk apapun negara ini, ini rumah kita..”
Aku
diam.
“Kau
sendiri apa kau tidak senang di sini, jadi harus tiba-tiba ke London?”
“Ini
tidak tiba-tiba, aku berusaha mendapat beasiswa di sana sejak lulus kuliah
dulu. Baru sekarang aku mendapat beasiswa S2 itu. Memang butuh waktu yang lama
dan ini waktu yang tepat,..”
“Senyummu
palsu,…” katanya sambil tersenyum sekaligus menatapku dengan tajam.
“Apa?”
“Aku
tahu kau pura-pura tersenyum saja padaku. Tidak apa-apa, aku tidak akan
memaksamu berpura-pura begini.”
Aku
tidak tersenyum lagi. Aku menatapnya tajam.
“Kau
pergi karena menghindariku kan,”
“Kenapa
kau berpikir begitu?”
“Itu
hanya perasaanku saja,… apa benar begitu? Maafkan aku kalau aku salah,”
“Tidak,
kau memang benar. Beasiswa ini datang di saat yang tepat,”
Dia
menunduk. “Begitu,”
“Maafkan
aku,”
“Kenapa
kau minta maaf? Harusnya aku minta maaf padamu. Aku pasti berbuat salah hingga
kau membenciku seperti itu.”
“Lupakan
saja,”
“Sebenarnya
apa salahku? Apa aku punya kesempatan untuk memperbaikinya? Aku tidak akan
tenang hidup begini,”
“Kau
bicara apa, kau tidak salah. Kubilang lupakan, ceritakan padaku tentang
London,” aku berusaha mengganti topic.
“Sebenarnya
apa salahku?”
Aku
menghela nafas. Aku sudah terjebak dalam pembicaraan yang tidak menyenangkan ini.
“Kesalahanmu
adalah… kau muncul lagi dihadapanku! Kenapa kau tidak ke London, New York,
Tokyo, Mesir, Jerman, Belanda, Belgia, Hawai, Austra,…”
“Apa?”
“Ya!
Kalaupun kau harus kembali ke sini, kenapa kau harus ingat aku? Kenapa harus di
kantor yang sama? Kenapa kau jadi bosku? Kenapa juga kita harus bicara di sini!
Kau puas?”
“Aku
tetap tidak mengerti alasanmu itu.”
“….aku
juga tidak tahu kenapa,”
“Apa?”
“Aku
benci sekali tiap melihatmu sejak dulu. Oh, tidak… Dulu aku tidak membencimu.
Aku hanya merasa tidak pantas berada di dekatmu, apalagi bicara denganmu. Tiap
kali aku di dekatmu aku merasa bodoh, aku merasa buruk sekali dan aku benci
itu. Kau tahu, aku memang profesional, aku tidak ingin terlihat buruk di mata
semua orang, mereka harus memandangku seperti orang yang paling pintar dan
rajin, dan… aku benci saat kau mengetahui kalau aku juga mendapat nilai jelek
atau tak sepintar dirimu. Karena itulah aku kemudian membencimu,”
“Kenapa
kau berpikir begitu? Itu perasaanmu saja, merasa bodoh, apa-apaan itu?”
“Ya,
ketika kau pintar sekali, bisa menjawab semua teka-teki tersulit, mendapat
nilai bagus, menanyakan hal-hal yang tidak dimengerti orang lain, mengkritisi
semua hal, mendapat pujian, aku benar-benar…” nafasku tertahan.
“Jadi
ini semua karena kau merasa iri padaku?”
“Aku
hanya merasa tidak pantas untuk orang sebaik dirimu, itu saja. Mungkin aku
memang iri, ya, aku mengakuinya. Aku juga ingin selevel denganmu, tapi… kau tidak akan pernah bisa melihatku meski
aku berada di bawah cahaya terang kan,”
Dia
memandangku dengan sedih. Aku memang menyedihkan.
“Gadis
itu… apa kau masih bersamanya?” tanyaku tiba-tiba. Hal itu muncul seketika di
kepalaku.
“Oh…
ya,” jawabnya datar. Dia seakan tidak ingin aku menanyakan itu lebih lanjut dan
segera menyela sebelum aku menimpali.
“Kenapa
kau merendahkan dirimu sendiri, padahal aku tidak pernah berpikir begitu,
maksudku… aku tidak peduli apa orang itu sempurna atau tidak,… aku sendiri juga
sangat bodoh, sebenarnya aku tidak punya apa-apa untuk disombongkan,”
“Aku
tidak memahami diriku sendiri. Haha, aku memang tidak memahaminya. Karena aku
membencimu aku tidak ingin melihatmu, aku ingin kau enyah dari bumi, aku
berharap kau menghilang selamanya. Kenapa kau tidak menghilang saja! Aku kesal
saat kau selalu saja ada di sekitarku tanpa diundang!”
Dia
mendengarkan.
“Tapi…
saat kau tidak ada aku malah mencarimu, tidak, aku tidak mencari sebenarnya,
aku hanya bertanya-tanya kenapa kamu tidak ada? Apa kamu bolos? Apa kamu
ketiduran? Apa kamu sakit? Hahaha, bodoh sekali aku ini! Saat aku melihatmu aku
merasa sesak, aku sakit sekali, seperti tidak bisa bernafas, tapi saat kau
hilang, aku juga merasa sakit… Apa yang harus aku lakukan? Apa? Kenapa kau
menyiksaku seperti ini?”
“Maafkan
aku,…”
“Sudah
kubilang, kau tidak perlu minta maaf. Aku mengerti sekarang kenapa aku merasa
sakit seperti ini, aku bukan membencimu, aku hanya membenci diriku sendiri yang
bodoh ini,”
Dia
menghela nafas. Aku memandang keluar jendela. Mulai gelap dan hening.
“Aku
tidak akan menyiksamu lagi, aku yang akan pergi,”
Aku
menatapnya lagi dengan terkejut.
“Apa?”
“Aku
akan menghilang dari hidupmu, kau tidak akan merasa sakit lagi mulai sekarang,”
Aku
tertawa meremehkannya.
“Apa
kau ingin membunuhku?”
“Membunuh?”
“Kau
pergi pun itu sama saja sekarang, aku akan merasa kehilangan, dan yang paling
parah aku akan merasa bersalah sekali telah mengakui ini semua, ternyata kau
benar-benar jahat,”
“Tidak
akan seperti itu,…”
“Aku
sendiri yang akan pergi. Cuma ini satu-satunya cara aku melupakan semuanya.
Kalau aku pergi aku tidak akan merasa kehilanganmu, aku akan merasa lega. Aku
tidak peduli harus ke mana, aku ingin pergi sejauh-jauhnya.”
“Baiklah.
Aku tidak akan menghalangimu, lakukan apa maumu,”
“Terimakasih,”
“Tapi….
Aku tidak yakin semua akan baik-baik saja saat aku pergi. Maksudku… meski kau
pergi ke bulan atau ke planet lain untuk melupakan aku, aku tidak yakin kau
akan tenang,”
“Kenapa?”
tanyaku setelah meminum kopinya yang kini dingin.
“Masalahmu
bukan karena kau membenciku atau benci dirimu sendiri, tapi karena kau tidak
jujur pada dirimu sendiri. Katakan saja yang sebenarnya, aku tidak akan marah,
aku tidak akan mengejekmu atau apa, apakah ada yang ingin katakan padaku?”
Aku
menatapnya dengan bingung.Beberapa detik kemudian aku berpikir, mungkin benar
yang ia katakan, tapi apa….?
“Aku
tidak tahu.”
“Tidak
tahu?”
“Ya, aku
tidak tahu… bukan, bukan! Aku hanya tidak yakin tentang itu,”
“Aku
akan menunggumu sampai kau yakin.. meski sampai besok aku di sini,…”
“Jangan
memaksaku! Lupakan saja semua dan mulai hidup baru. Aku tidak akan membencimu
seperti tadi, mulai sekarang aku akan menyapamu, aku akan baik padamu. Apa
perlu aku telepon tiap hari dari London supaya kau percaya kalau aku baik-baik
saja? Kita anggap ini hari perkenalan kita, bagaimana?” aku memasang wajah
ceriaku yang sejak tadi hilang.
“Sampai
kapan kau mau membohongi dirimu sendiri seperti itu? Kau menyiksa dirimu
sendiri!”
Aku
terdiam. Ada apa dengan orang ini? Kenapa begitu susah bagimu lupakan saja
semua, aku sudah menyesal bicara panjang lebar sejak tadi. Kalau tahu begini
aku pergi saja dan tidak minum kopi denganmu!
“Gadis
itu, siapa namanya? Dia juga pernah ke London kan?” aku memaksakan diri
mengubah topik pembicaraan.
“Gadis
itu? Siapa? Kau bicara Apa? Bukan itu yang ingin aku dengar,”
Aku
tidak tahan lagi. Aku pergi saja dari sini. Aku bangkit dari kursiku.
“Katakan saja kau mencintaiku! Kau tidak
perlu membohongi dirimu sendiri lagi! Kau menyiksa dirimu sendiri! Sampai kapan
kau akan bertahan seperti itu?”
Aku
terdiam. Aku bahkan tidak sanggup menoleh. “Apa-apaan ini? Dasar brengsek!”
Mataku sudah berkaca-kaca. Tiba-tiba aku teringat kata-kata seorang teman,
seakan dia sendiri yang sedang bicara padaku saat ini, di sebelahku.
“Hahaha,
cuma orang bodoh yang tidak tahu kalau kau menyukainya! Sangat aneh kalau dia
sendiri tidak tahu, hahaha!” Ia meledekku waktu itu.
“Jadi
kau memang tahu?” aku bicara dengan lirih.
“Tidak,
aku tidak tahu! Makanya aku menanyakannya padamu sekarang!”
“Haha,
dasar bodoh,”
Lalu
aku pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar