Banyak fenomena yang berkembang dalam
Hubungan Internasional saat ini sehingga tidak hanya bisa dijelaskan oleh teori
yang sudah ada selama ini. Misalnya banyak fenomena Hubungan Internasional yang
muncul selain damai dan perang. Karena itu pemikiran Hubungan Internasional
berkembang dalam tahapan yang ditandai oleh perdebatan khusus antara
kelompok-kelompok penstudi. Perdebatan besar pertama adalah utopian liberalisme
dan realisme. Perdebatan besar kedua adalah pada metode antara pendekatan
tradisional dan behavioralisme dan perdebatan besar ketiga adalah antara neorealisme/neolibrealisme
dan neo-Marxisme dan yang keempat adalah antara tradisi yang mapan dengan
alternatif-alternatif pospositivis. Pada perdebatan keempat tersebut diangkat
isu-isu metodologi maupun isu-isu pokok. [1]
Pospositivis merupakan paham yang luas,
mencakup pandangan-pandangan metodologis yang berbeda yaitu terdiri dari
beberapa teori dan salah satunya adalah teori kritis, teori kritis adalah
sekelompok ilmuwan di Jerman yang dikenal dengan nama Mazhab Frankurt. Teori
kritis dalam Hubungan Internasional cenderung mirip dengan asumsi yang
dikemukakan oleh Marxisme utamanya dalam hal ekonomi politik internasional.
Teoritisi kritis dalam Hubungan Internasional terkemuka adalah Robert Cox dan
Andrew Linklater.[2]
Pada dasarnya teori kritis menolak
postulat dasar positivisme yaitu realitas eksterna yang obyektif, perbedaan
subjek atau objek, dan ilmu sosial bebas nilai. Menurut teori kritis dunia sosial
adalah sebuah konstruksi dan sistem internasional yang terbentuk selama ini
merupakan suatu bentuk konstruksi dan negara-negara kuat yang berkuasa di
dunia.
Bagi teori kritis pengetahuan bukan dan
tidak dapat netral baik secara moral maupun secara politik dan ideologi. Semua
pengetahuan cenderung mencerminkan kepentingan dari para pengamat. Pengetahuan
sadar atau tidak memiliki kecenderungan menuju kepentingan, nilai, kelompok,
golongan, kelas, bangsa, dan lain sebagainya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa
teori Hubungan Internasional cenderung bias. [3]
Menurut Robert Cox sebuah teori selalu
untuk seseorang dan untuk tujuan tertentu (theory
is always for someone and some purposes). Robert Cox lalu membagi
pandangannya menjadi dua hal yaitu perbedaan antara pengetahuan penyelesaian
masalah (problem solving knowledge)
dan pengetahuan emansipatori (emancipatory
knowledge). Yang termasuk ke dalam pengetahuan penyelesaian masalah adalah
teori-teori positivis.[4]
Teori-teori positivis tersebut hanya untuk menjelaskan fenomena yang terjadi
saat ini namun tidak dapat melakukan emansipasi seperti yang diperjuangkan oleh
teori kritis.
Selain itu tidak ada teori yang objektif
karena sebuah teori biasanya berangkat dari sebuah perspektif. Misalnya teori power yang mempunyai asumsi awal
berdasarkan paradigma realis yang menyatakan bahwa dunia internasional adalah
anarki dan setiap negara selalu mengejar kepentingannya melalui konflik. Hal
ini membuat teori tersebut lebih bersifat subjektif.
Teori-teori yang telah ada tidak objektif
juga karena para ilmuwan sosial dianggap sebagai instrumen kekuatan dan politik
semata sehingga teori kritis berupaya untuk mengetahui kepentingan politis dari
teori-teori yang ada tersebut. Nilai dari teori tersebut didasarkan pada
nilai-nilai politis daripada nilai akademis sehingga perdebatan teori yang
terjadi selama ini merupakan perdebatan yang penuh dengan muatan kepentingan
politik.
Fokus utama teori kritis adalah pada
kekuatan dan dominasi dunia secara umum. Jadi di sini teori kritis ingin
mencoba mendobrak dominasi global yang ada selama ini dengan cara memahami
kondisi yang menopang bentuk-bentuk dominasi dalam Hubungan Internasional
tersebut. Tujuan utama teori kritis adalah ingin membebaskan kemanusiaan dan
struktur ekonomi politik dunia yang dikendalikan oleh sebuah kekuatan hegemoni,
seperti Amerika Serikat. Tak hanya itu, teori kritis juga berupaya untuk
menciptakan suatu emansipasi dari struktur sosial global yang dianggap telah menciptakan
kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang dan miskin. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa teori kritis ini memiliki banyak kesamaan dengan
EPI Marxis.
Jadi kontribusi utama dari teori kritis
terhadap Hubungan Internasional adalah untuk memahami dan menganalisa
bentuk-bentuk dominasi struktural dalam dunia internasional yang dianggap
merugikan sebagian pihak. Selain itu teori kritis juga berupaya untuk
mengetahui kepentingan politis tersembunyi dalam teori-teori dan perdebatan yang
terjadi dalam Hubungan Internasional. Dengan demikian tujuan akhir dari teori
kritis ini adalah untuk merobohkan sistem ekonomi politik dunia yang dinilai
hanya menguntungkan kekuatan-kekuatan besar dalam sistem politik internasional
melalui hegemoni yang dibuatnya.
Sebagai contoh untuk menjelaskan
kontribusi teori kritis ini misalnya kritik terhadap paradigma liberalisme.
Asumsi dasar kaum liberalis adalah setiap individu pada dasarnya baik dan mau
bekerja sama. Dengan adanya kerjasama itu kemudian dapat menciptakan
perdamaian. Begitupula yang terjadi dalam politik internasional, bila
negara-negara di dunia mau bekerjasama dan tergabung dalam suatu wadah atau
organisasi internasional maka perdamaian dunia dapat dicapai.
Selain itu menurut liberalisme, perang
dapat dihindari jika negara-negara yang ada di dunia mampu membangun dan
menyejahterakan rakyatnya. Menurut liberalisme, untuk dapat membangun dan
menyejahterakan negara, negara tersebut harus menerapakan sistem free trade atau perdagangan bebas. Hal ini
kemudian diadopsi oleh banyak negara berkembang di dunia.
Awalnya saat era berakhirnya Perang Dunia
negara-negara berkembang tidak banyak berpartisipasi dalam sistem perdagangan
multilateral atau perdagangan internasional. Negara-negara berkembang tersebut
lebih memilih untuk menerapkan kebijakan proteksi dan meningkatkan campur
tangan negara dalam perekonomian. Namun seiring berkembangnya keadaan dan
bergabungnya negara berkembang ke dalam GATT, Negara tersebut akhirnya harus
melakukan penyesuaian struktural sesuai kesepakatan GATT yaitu menerakan
liberalisasi perdagangan. negara-negara berkembang tersebut akhirnya membuka
pasar domestiknya terhadap perdagangan internasional.
Namun hal ini kemudian dianggap merugikan bagi
negara berkembang karena ekspornya cenderung kalah saing dengan produk-produk
yang dijual oleh negara maju. Selain itu negara maju secara sepihak melakukan
proteksi terhadap pasar domestiknya sehingga produk dari negara berkembang
sulit masuk ke pasar negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang tersebut
harus membuka pasar dalam negerinya untuk menerapkan liberalisasi perdagangan
sehinggap produk asing lebih mendominasi pasar dalam negeri. Akibatnya industri
di negara-negara berkembang tersebut terancam.
Negara berkembang
yang merasa dirugikan tersebut lalu berusaha
membuat perubahan dalam sistem perdagangan internasional. Mereka ingin adanya mekanisme
pembagian keuntungan yang adil antara negara maju dengan negara berkembang.
Tahun 1964 dibentuk UCTAD (United Nations Conference On Trade And Development) yang memperjuangkan kepentingan negara berkembang dalam perdagangan
dunia. Setelah itu dibentuk kelompok G77 untuk memperjuangkan reformasi, yaitu mekanisme
pengurangan peran GATT dalam perdagangan internasional dan distribusi pedapatan pada
negara berkembang. Lalu dibentuk New International Economic Order (NIEO) yang ingin negara berkembang mempunyai kontrol
terhadap MNC asing di negaranya, kemudahan akses teknologi, pengurangan utang
luar negeri, dan peran lebih dalam World Bank dan IMF (International Monetary Fund). Namun ternyata NIEO juga gagal karena negara-negara
anggota di dalamnya mempunyai kepentingan yang beragam dan mengalami krisis sehingga
butuh bantuan dana dari IMF dan
World Bank.
Pinjaman dana dari
IMF untuk negara-negara tersebut cenderung digunakan untuk konsumsi dalam negeri daripada untuk peningkatan
ekspor dan untuk pembangunan yang lebih produktif. Sebagai syarat peminjaman dana dari IMF maka negara tersebut harus melakukan penyesuaian struktural
sesuai permintaan IMF, yaitu melakukan peningkatan peran pasar daripada peran negara. Menurut IMF, pembangunan negara
dapat dicapai apabila menerapkan konsep tadi.
Dari yang telah dijelaskan sebelumnya, asumsi
dasar teori kritis adalah sebuah teori atau paradigm yang ada merupakan suatu
bentuk kepentingan politis dari sebuah kekuatan besar. Hal ini terlihat dalam
perspektif liberalisme yang dianggap sebagai sebuah cara untuk melestarikan
kepentingan negara maju saja dan menindas negara kecil.
Adanya forum atau organisasi perdagangan
internasional seperti GATT atau WTO memaksa negara-negara yang tergabung di
dalamnya untuk mengikuti kesepakatan yang ada seperti menerapkan liberalisasi
perdagangan yang dianggap merugikan negara berkembang. Begitu juga dengan
adanya IMF dan World Bank yang membuat negara-negara yang memperoleh bantuannya
harus melakukan penyesuaian structural seperti permintaan IMF dan World Bank.
Akibatnya terjadi dependensia antara negara berkembang pada IMF dan negara
tersebut terpaksa harus tetap menuruti kepentingan IMF apabila ingin tetap
mendapat pinjaman dana. Pada akhirnya negara tersebut sulit maju karena
menggunakan dana pinjaman untuk hal yang kurang produktif dan akan terus
terbebani dengan hutang luar negeri. Selain itu kebijakan negara tersebut akan
cenderung didikte oleh kepentingan IMF yang di dominasi oleh negara-negara
maju.
Aturan
perdagangan internasional selama ini hanya menguntungkan negara maju sehingga
negara berkembang tidak dapat bersaing. Selain itu ketergantungan negara
berkembang pada IMF membuatnya harus melakukan penyesuaian struktural sesuai
kepentingan IMF sehingga menghambat kemajuan negara berkembang. Dengan demikian
sesuai asumsi teori kritis bahwa kemiskinan dan kesenjangan antara negara maju
dengan negara berkembang terjadi karena struktur yang ada sulit diubah dan
struktur yang ada tersebut merupakan bentuk hegemoni dari negara maju saja.
Meski sudah berusaha untuk mengubah struktur yang ada negara berkembang
tersebut rupanya masih saja gagal untuk menciptakan keadilan dan pemerataan
pendapatan. Dengan demikian negara-negara berkembang tersebut akan tetap
kesulitan untuk dapat menjadi negara maju karena terdapat sebuah struktur yang
ada ternyata menghambat kemajuan itu sendiri.
Berdasarkan contoh tersebut dapat disimpulkan
bahwa kontribusi teori kritis dalam studi Hubungan Internasional adalah untuk
memahami bahwa terdapat dominasi struktural yang tidak adil dalam Hubungan
Internasional yang tercermin dalam kesenjangan antara negara maju dengan negara
berkembang akibat dari penerapan liberalisasi perdagangan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa liberalisme merupakan sebuah kepentingan politis atas negara-negara
maju untuk terus dapat menindas negara kecil. Akibat dari struktur yang
dibentuk oleh liberalisme ini negara miskin akan tetap miskin sementara negara
kaya semakin kaya. Oleh karena itu teori kritis berupaya membongkar fenomena
ini dengan harapan dapat menciptakan dunia politik internasional yang lebih
baik dan adil. Untuk mewujudkan harapan tersebut teori kritis berupaya
menentang segala bentuk hegemoni dan merobohkan sistem ekonomi politik dunia
yang tidak adil tersebut melalui studi Hubungan Internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar