Studi
keamanan tradisional pada awalnya lebih berfokus pada usaha negara dalam memperkuat
pertahanan dan keamanannya agar mampu menghadapi serangan militer atau
mengimbangi kekuatan negara lain sehingga tercipta suatu perasaan aman dalam
negara tersebut. Seiring perkembangan zaman, ancaman keamanan nasional bukan
hanya dari adanya serangan militer tapi juga ancaman yang berasal dari dalam
negara itu sendiri, sehingga saat ini muncul studi keamanan non tradisional
yang membahas ancaman keamanan yang tidak berasal dari serangan militer.
Jika pada awalnya keamanan tradisional lebih
berpusat pada keamanan negara, keamanan non-tradisional saat ini lebih berpusat
pada keamanan individu sehingga disebut sebagai human security. Beberapa unsur yang terdapat dalam bahasan human security adalah keamanan dalam
bidang ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan hidup, personal atau individu,
politik, dan komunitas.
Salah satu unsur dalam human security yang saat ini telah
menjadi isu penting dalam perpolitikan internasional adalah mengenai environment security atau keamanan
lingkungan hidup. Kasus yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah adanya
masalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang banyak dihasilkan oleh negara
yang memiliki industri maju, seperti di Eropa, Amerika Serikat, atau Jepang.
Limbah B3 adalah
jenis limbah yang mengandung bahan berbahaya atau beracun dalam sifat dan
konsentrasinya sehingga baik langsung maupun tidak langsung dapat merusak atau
mencemarkan lingkungan atau membahayakan kesehatan manusia. Limbah yang
termasuk dalam B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya yang tidak
digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas
kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus. Bahan-bahan ini
termasuk limbah B3 memiliki karakteristik seperti mudah meledak, mudah
terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan
bila diuji dengan toksikologi dapat digolongkan pada limbah B3.[1]
Agar limbah B3 tidak mencemari
lingkungan, limbah B3 harus didaur ulang dengan cara tertentu, namun biaya
pengelolaan limbah B3 sangat mahal sehingga beberapa perusahaan di
negara-negara maju enggan untuk mengelola limbah yang dihasilkan. Tarif pengolahan limbah bisa mencapai US$ 5.000-US$ 10.000
per ton. Hal ini berbeda jauh jika
membuangnya ke negara lain karena hanya butuh dana sekitar US$ 50-US$
100 per ton.[2] Akibatnya
perusahaan tersebut memilih untuk membuang limbah B3 di negara miskin dan
berkembang di Asia ataupun Afrika karena lebih murah. Salah satu contoh
negara yang sering menjadi negara tujuan pembuangan limbah secara ilegal adalah
Indonesia.
Kasus terakhir yang pernah terungkap
adalah pada tahun 2012, pihak bea cukai Indonesia menahan 113 kontainer asal
Inggris dan Belanda yang berisi potongan-potongan besi yang telah
terkontaminasi oleh zat kimia yang tergolong dalam B3. Potongan besi tersebut tampak
kotor dan terlumuri sisa-sisa tanah, zat kimia berupa serbuk warna putih, dan
cairan pekat kehitaman seperti aspal.
Berdasarkan dokumen impor, pemilik
kontainer yang berisi limbah B3 itu adalah PT Hwang Hook Steel (HHS) yang bergerak
di bidang impor logam-logam bekas di Indonesia. Perusahaan tersebut sebenarnya
mengimpor limbah metal untuk diolah kembali namun tidak diizinkan untuk
mengimpor limbah metal berbahaya. Limbah besi itu dipasok dari perusahaan W.R
Fibers Inc. yang beralamat di Amerika Serikat. Diduga W.R Fibers Inc. adalah
perusahaan fiktif dan kerap mengirim limbah B3 ke negara-negara berkembang. Aksi
pembuangan limbah ini sebenarnya bukanlah hal baru karena telah berlangsung
sejak lama. Aksi ini telah berkembang menjadi bisnis perdagangan limbah dengan
nilai perdagangan di kawasan Asia diperkirakan
mencapai jutaan dolar Amerika setiap bulan.[3]
Perdagangan
limbah B3 ilegal yang masuk ke Indonesia tersebut merupakan sebuah ancaman bagi
lingkungan hidup. Jika limbah yang mengandung logam berat ini dibakar maka akan
terjadi polusi udara yang berbahaya jika dihirup karena adanya kandungan timbal.
Selain itu tumpukan sampah yang berasal dari limbah B3 yang mengalami
dekomposisi, tercampur dengan air, dan masuk ke tanah dapat menyebabkan
pencemaran air tanah. Bagi manusia, pencemaran akibat limbah B3 ini dapat
merusak sistem saraf, mengganggu sistem peredaran darah, ginjal, perkembangan
otak anak, cacat bawaan, efek racun, alergi, sampai kerusakan DNA.[4]
Adanya
ancaman lingkungan dari perdagangan limbah B3 ini kemudian memunculkan sikap protes
dari kalangan masyarakat dan aktivis lingkungan misalnya Indonesia Toxics-Free Network, Basel Action Network,
Ban Toxics, dan Bali Fokus yang menentang perdagangan limbah dan juga giat
berkampanye tentang dampak negatif dari pencemaran limbah. Adanya
desakan dari masyarakat dan organisasi lingkungan hidup tersebut akhirnya
menuntut peran pemerintah Indonesia untuk berusaha mengatasi masalah ini. Tak
hanya dalam lingkup Indonesia saja, tapi dalam skala internasional isu tentang
perdagangan limbah B3 yang merusak lingkungan negara berkembang dan miskin di
kawasan Asia dan Afrika ini juga semakin berkembang dan mendesak untuk segera
diselesaikan.
Atas
dasar tersebut, kemudian muncul beberapa konvensi dan kesepakatan internasional
dalam rangka mencegah adanya praktek perdagangan limbah B3 ke negara miskin.
Konvensi pertama yang diadakan adalah konvensi Basel yang diadakan di Swiss
pada 22 Maret 1989. Konvensi Basel merupakan sebuah konvensi prakarsa PBB.
Untuk menindaklanjuti kemudian dibentuk COP (The Conference of the Parties) sebagai badan pelaksananya yang
terdiri atas Competent Authorities
dan sekretariat tetap berkedudukan di Jenewa, Swiss.[5] Dalam konvensi
Basel disepakati bahwa kegiatan ekspor impor limbah
B3 secara internasional merupakan kegiatan yang terlarang sehingga diberlakukan
Ban Amandment terhadap aksi tersebut.
Ban Amandment tersebut berisi tentang
Pengaturan Perpindahan Lintas Batas dan Pembuangan Limbah Berbahaya (Basel Convention on The Control of
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal). Kesepakatan
tersebut berlaku sejak 5 Mei 1992.
Indonesia dan juga 170 negara
anggota lainnya telah ikut meratifikasi Amandemen Konvensi Basel melalui
Keppres No.61/1993 Tentang Pengesahan Amendment
To The Basel Convention On The Control Of Transboundary Movements Of Hazardous
Wastes And Their Disposal (Amendemen Atas Konvensi Basel tentang Pengawasan
Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya). Dengan
meratifikasi Ban Amandemen Konvensi Basel maka Indonesia berhak untuk menolak
kiriman barang yang berbahaya dan beracun serta juga tidak bisa mengirim barang
berbahaya dan beracun dari negara anggota maupun non-anggota.[6]
Sebagai lanjutan konvensi tersebut lalu diadakan
Konferensi tentang pengelolaan limbah ke-9 (COP-9) yang diselenggarakan di Nusa
Dua Bali pada tahun 2008. Diharapkan
dengan adanya Konferensi COP-9 ini akan
muncul kesepakatan baru untuk membentuk sebuah badan arbitrase yang membantu
penyelesaian konflik antara dua negara yang bersengketa akibat pelanggaran
perpindahan limbah beracun dan berbahaya (B3). Selain itu konferensi ini juga akan membahas mengenai
pengelolaan limbah produk elektronik seperti telepon selular dan komputer yang
mulai marak.[7]
Selain
itu di Afrika sendiri juga terdapat beberapa deklarasi internasional untuk
menentang perdagangan limbah B3
seperti pada tahun 2006 terdapat Deklarasi Nairobi tentang limbah
elektronik dan Deklarasi Durban pada tahun 2008
mengenai pengolahan limbah elektronik
di Afrika yang menyatakan respon dan memformulasikan
aksi yang berkaitan dengan masalah limbah industri elektronik yang berkembang.
Pada
tahun 2013 di Swiss juga diselenggarakan Tiga Konvensi B3 yakni Konvensi Basel
yang mengatur tentang ekspor dan impor limbah B3, Konvensi Rotterdam yang mengatur
tentang informasi ekspor dan impor bahan kimia berbahaya dan beracun dan
Konvensi Stockholm yang mengatur tentang Persistant
Organic Polutant yang dilarang atau terbatas penggunaannya.[8]
Namun
adanya kerjasama dan konvensi mengenai perdagangan limbah B3 ini masih belum
efektif karena Konvensi Basel belum memuat sanksi bagi pelakunya. Selain
itu juga karena belum disahkannya
amandemen yang memuat larangan total perdagangan semua jenis limbah B3 lintas
batas negara termasuk limbah elektronik. Selama ini negara-negara tertentu
masih dapat mencari celah dari aturan yang telah ditetapkan di Konvensi Basel
sehingga dapat membuat alasan untuk tetap melakukan perdagangan limbah. Masalah
lainnya adalah sebagian besar negara maju ternyata masih menentang pengesahan
aturan ini dengan tidak mau meratifikasi.
Selama
ini hukum yang berlaku untuk menindak pelaku adalah hukum nasional saja.
Indonesia sudah meratifikasi Konvesi Basel dan dapat menjerat pihak-pihak yang terkait impor limbah B3 dengan beberapa pasal antara
lain Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah, dan Pasal 53 ayat 4 jo Pasal 102 huruf h jo Pasal 103 huruf a UU
Kepabeanan. Jika terbukti bersalah, pihak importir bisa terkena hukuman penjara
maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp 15 milyar dan izin perusahaan juga
terancam tidak diperpanjang.[9] Namun Indonesia
tidak bisa memberikan sanksi bagi pihak eksportir. Indonesia hanya bisa
mengirimkan kembali limbah B3 tersebut ke negara pengirim.
Dengan
demikian penegakan hukum untuk mencegah perdagangan limbah akan lebih efektif
jika tidak hanya negara penerima saja yang melakukan pengawasan tapi juga dari
pihak negara maju untuk turut mengawasi dan menindak tegas oknum di negaranya
yang terlibat dalam kasus ini demi menciptakan environment security secara global.
Adanya
kerjasama internasional dalam mencegah perdagangan limbah B3 ilegal ini dapat
dianalisa menggunakan pendekatan konstruktivis. Pendekatan konstruktivis adalah
sebuah pendekatan yang menitikberatkan
asumsinya pada upaya membangun konstruksi sosial. Jadi pada intinya kaum konstruktivis menganggap
tidak ada kenyataan sosial yang objektif dan hubungan internasional sendiri
adalah hasil konstruksi manusia.[10]
Jadi dalam dunia sosial terdapat pengetahuan yang kemudian dijadikan suatu
pemahaman bersama.
Berdasarkan teori tersebut dapat
dianalisa bahwa dalam dunia sosial saat ini telah terdapat suatu pemahaman atau
keyakinan bersama mengenai perlunya melindungi lingkungan hidup. Isu
lingkungan sendiri telah menjadi isu global karena hal ini didorong oleh
meningkatnya kesadaran masyarakat internasional tentang dampak kerusakan
lingkungan dan gencarnya kampanye tentang masalah lingkungan hidup yang dilakukan
oleh aktivis dan organisasi terkait. Bahaya
pencemaran dari limbah B3 juga telah gencar di kampanyekan oleh para aktivis
lingkungan hidup sehingga terciptalah public
opinion sehingga muncul desakan dari masyarakat ataupun organisasi tertentu
pada pemerintah untuk melindungi Indonesia agar tidak menjadi sasaran tempat
pembuangan limbah B3.
Selain itu adanya pemahaman bersama
tentang isu lingkungan hidup ini juga mendorong munculnya
komitmen dari berbagai negara di dunia untuk bersama-sama menanggulanginya. Saat
ini hampir semua negara, termasuk negara miskin dan berkembang yang sering
menjadi korban telah mempunyai pemahaman yang sama tentang bahaya limbah B3
bagi lingkungan dan kesehatan manusia sehingga turut berkomitmen dan bekerja
sama dalam Konvesi Basel. Negara-negara yang terlibat dalam Konvensi Basel
meyakini bahwa adanya perdagangan limbah B3 merupakan ancaman bagi environment security dan diperlukannya
kerjasama internasional untuk mencegah hal tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa isu mengenai bahaya pencemaran limbah B3 bagi lingkungan hidup telah
menjadi suatu pemahaman bersama dalam dunia internasional sehingga mendorong
adanya komitmen negara-negara di dunia untuk bertindak tegas untuk melarang
adanya praktek perdagangan limbah B3 meski hingga saat ini upaya tersebut belum
begitu efektif.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Jackson, Robert. Sorensen, Georg.
2009. Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Asante, D Kofi. Nagry, Imre V.
2002. International Trade in Hazardous
Waste. London: Routledge
Internet
Antara News. 2013. “Konvensi
Basel COP ke-9 Diharapkan Hasilkan Deklarasi Pengelolaan Limbah”. Dari http://www.antaranews.com/print/106599/
(diakses 10 November 2013)
Hadi Sutjahjo,
Surjono. 2012. “Indonesia Negeri Sampah”. Dari http://www.metrotvnews.com/front/kolom/2012/02/06/245/Indonesia-Negeri-Sampah/kolom
(diakses
10 November 2013)
Intisari Online. 2012. “Mencegah bertumpulanya
Sampah Elektronik”. Dari http://intisari-online.com/read/mencegah-bertumpuknya-sampah-elektronik
(diakses 10 November 2013)
Iran Indonesian
Radio. 2012.”Indonesia Negeri Surga
Limbah Beracun Dunia”.
Dari http://indonesian.irib.ir/hidden-2/-/asset_publisher/yzR7/content/indonesia-negeri-surga-limbah-beracun-dunia/pop_up
(Diakses 10 November 2013 jam 19:35)
Ir. Sugita, MM. “Green Tasbara Pergerakan Limbah B3
Lintas Batas Negara”. Dari http://www.tasbara-bnpp.com/index.php/kolumnist/item/529-green-tasbara-pergerakan-limbah-b3-lintas-batas-negara
(diakses 10 November 2013)
Wikipedia.2013.
“Limbah”. Dari http://id.wikipedia.org/wiki/Limbah
(diakses 10 November 2013)
[1] Wikipedia.2013.
“Limbah”. Dari http://id.wikipedia.org/wiki/Limbah
(diakses 10 November 2013)
[2] Iran Indonesian Radio. 2012.”Indonesia Negeri Surga Limbah Beracun Dunia”. Dari http://indonesian.irib.ir/hidden-2/-/asset_publisher/yzR7/content/indonesia-negeri-surga-limbah-beracun-dunia/pop_up
(Diakses 10 November 2013 )
[3] Ibid,.
[4] Intisari Online. 2012. “Mencegah bertumpulanya
Sampah Elektronik”. Dari http://intisari-online.com/read/mencegah-bertumpuknya-sampah-elektronik (diakses 10 November 2013)
[5] Ir. Sugita,
MM. “Green Tasbara Pergerakan Limbah B3 Lintas Batas Negara”. Dari http://www.tasbara-bnpp.com/index.php/kolumnist/item/529-green-tasbara-pergerakan-limbah-b3-lintas-batas-negara
diakses 10 November 2013
[6] Surjono Hadi
Sutjahjo. 2012. “Indonesia Negeri Sampah”. Dari http://www.metrotvnews.com/front/kolom/2012/02/06/245/Indonesia-Negeri-Sampah/kolom
[7] Antara News.
2013. “Konvensi Basel COP ke-9 Diharapkan Hasilkan
Deklarasi Pengelolaan Limbah”. Dari http://www.antaranews.com/print/106599/
[8] Ibid.
[9] Iran
Indonesian Radio. 2012.”Indonesia Negeri Surga Limbah
Beracun Dunia”. Dari http://indonesian.irib.ir/hidden-2/-/asset_publisher/yzR7/content/indonesia-negeri-surga-limbah-beracun-dunia/pop_up
(Diakses 10 November 2013 )
[10]
Robert Jackson dan Georg
Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan
Internasional.. Halaman 307-308
Tidak ada komentar:
Posting Komentar