(by: Muthi Fatihah, disusun untuk tugas mata kuliah Teori Pembangunan)
1.
Pendahuluan
Pembangunan pada dasarnya selalu
menyentuh berbagai aspek kehidupan karena tidak dapat dilepaskan dari faktor
ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat yang ada. Namun selama ini kita
hanya menganggap program-program pembangunan yang ada atau sedang dilaksanakan
hanya memprioritaskan pada pembangunan ekonomi saja, padahal sebenarnya
kemajuan pada bidang ekonomi juga ditunjang dengan perkembangan bidang-bidang
lain, salah satunya adalah pembangunan bidang politik.
Pembangunan
pada bidang politik adalah berupa transformasi dari suatu sistem kekuasaan ke
sistem kekuasaan lain yang lebih modern. Hal tersebut dapat berupa perubahan
kekuasaan yang bersifat otoriter menjadi demokratis, munculnya sistem
mulitpartai, ataupun pemilihan umum secara langsung. Kesejahteraan sebagai
hasil dari pembangunan tidak selalu karena kemajuan dalam sektor ekonomi namun
juga karena perubahan persepsi tentang peranan pemerintah dan hak kewajiban
masyarakat sebagai warga negara.
Memang
keberhasilan pembangunan ekonomi diharapkan dapat mendorong perkembangan
bidang-bidang lainnya ke tahap yang lebih tinggi. Namun kemajuan dalam bidang
ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan keadaan sosial politik dalam suatu negara.
Untuk menjaga agar proses pembangunan ekonomi suatu negara agar dapat berjalan
dengan lancar dibutuhkan kestabilan politik, sedangkan untuk membentuk
kestabilan politik di dalam suatu negara dibutuhkan juga kestabilan ekonomi
dalam negara itu. Adanya kestabilan pada bidang politik dan ekonomi diharapkan
dapat memberikan kondisi sosial yang baik di dalam suatu negara juga. Karena
itulah aspek-aspek tersebut merupakan suatu kesatuan penting yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, utamanya pembangunan politik yang memegang peranan
penting dalam kemajuan suatu bangsa.
Dalam
sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kehidupan politik di Indonesia tidak
selalu stabil. Sistem politik Indonesia selalu mengalami perkembangan dari masa
ke masa, sejak awal kemerdekaan, pemerintahan orde lama, pemerintahan orde baru
yang kemudian runtuh dan digantikan oleh era reformasi hingga sekarang ini.
Begitupun
dengan kondisi pembangunan di Indonesia yang juga mengalami pasang surut
seiring dengan dinamika politik di Indonesia. Indonesia pernah hampir memasuki
fase tinggal landas (take off) pada era orde baru yang kemudian runtuh
pada tahun 1998 karena isu korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan pada saat itu
Indonesia mengalami krisis moneter. Peristiwa ini menjadi awal kejatuhan bangsa
Indonesia. Akibat krisis tersebut, Indonesia seakan harus memulai perjuangannya
dari awal lagi.
Tulisan
ini dibuat untuk memberikan evaluasi bagaimana perkembangan pembangunan politik
nasional Indonesia selama empat belas tahun berjalannya era reformasi. Selain
itu juga untuk mengetahui bagaimana cara menciptakan suatu kestabilan politik
sehingga dapat menunjang pembangunan pada bidang-bidang lain, juga meningkatkan
daya saing Indonesia sehingga mampu menjadi negara yang kompetitif.
2.
Pembahasan
Pembangunan di Indonesia sudah
berlangsung sejak bangsa ini mulai terbentuk pada era kemerdekaan, Orde Lama,
Orde Baru, hingga era reformasi saat ini. Bisa dibilang kemajuan pembangunan di
Indonesia mulai pesat saat Orde Baru berkuasa. Saat itu pemerintah mencanangkan
Repelita yang sukses mengantarkan Indonesia menjadi salah satu macan asia.
Namun keberadaan Orde Baru tetap tidak bisa kita lepaskan dari praktek korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang menggerogoti negara hingga ke akar. Tahun 1998 Orde
Baru runtuh, dan julukan bagi mantan Presiden Soeharto sebagai ‘Bapak
Pembangunan’ seakan runtuh pula.
Era
reformasi dimulai sejak pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998 dan
digantikan oleh wakilnya, BJ Habibie. Hal ini berawal dari krisis moneter yang mengakibatkan melemahnya ekonomi Indonesia dan memunculkan
ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan saat itu dan muncul
aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa.
Pasca reformasi
itu pun dinamika perpolitikan di Indonesia terus berjalan dengan beberapa kali
berganti kepala pemerintahan, yaitu setelah BJ Habibie, lalu digantikan oleh
Abdurrahman Wahid setelah diadakan pemilu legislatif yang diikuti oleh 48
partai politik. Namun pada 23 Juli 2001 MPR memakzulkan presiden Abdurrahman Wahid dan digantikan oleh
Megawati Soekarnoputri. Pada era Presiden Megawati inilah kemudian
diselenggarakan pemilihan umum secara langsung yang diikuti 24 partai politik.
Pemilihan umum pertama yang dilakukan secara langsung ini kemudian memunculkan
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI dan Jusuf Kalla sebagai Wakil
Presiden RI, dan akhirnya Susilo Bambang Yudhoyono terpilih lagi sebagai
Presiden dalam dua periode masa pemerintahan pada pemilu tahun 2009 dengan
Boediono sebagai Wakil Presiden RI.
Kini
tepat setelah perayaan empat belas tahun berjalannya reformasi di Indonesia,
mulai timbul pertanyaan apakah era reformasi ini telah berjalan dengan baik dan
apakah telah memberikan perubahan bagi rakyat Indonesia? Karena selama empat
belas tahun Reformasi berjalan dinilai masih banyak persoalan yang sama dengan
masa Orde Baru yang terus terjadi.
Memang
banyak hal yang belum terselesaikan selama empat belas tahun ini, namun tetap saja sudah ada beberapa
pencapaian yang berhasil dilakukan oleh pemerintah dari awal reformasi hingga
sekarang ini dengan berbagai kekurangannya. Beberapa pencapaian pembangunan
politik era reformasi[1]
adalah sebagai berikut:
1.
Penghapusan peran militer dalam kekuasaan sipil
a.
Kelembagaan TNI dan Polri dipisahkan (2000)
b.
Kursi di fraksi DPR/MPR untuk TNI Polri dikurangi,
kemudian dihilangkan (2004)
c.
Terbitnya UU No 34 tahun 2004 yang mengatur larangan
prajurit aktif menjadi anggota parpol, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk
dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya
(2004)
2.
Pemberantasan KKN
a.
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk (2002)
b.
Indeks Persepsi Korupsi membaik dari 2,0 pada tahun
2004 menjadi 3,0 pada 2011
c.
Indonesia menjadi negara di peringkat keempat negara
yang paling banyak melakukan suap dalam transaksi bisnis di luar negeri (Survey
Payers Index 2011)
3.
Reformasi dan kebebasan berpolitik
a.
UUD 1945 telah empat kali diubah sejak 1999 hingga
2002
b.
MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara
karena lembaga itu menjadi bikameral yang terdiri atas DPR dan DPD (2002)
c.
Otonomi daerah sejak 2001
d.
Pemilihan presiden secara langsung sejak 2004
e.
Pemilu dengan multipartai sejak 1999
f.
Pemilihan kepala daerah secara langsung sejak 2005
4.
Kebebasan berekspresi
a.
Permenpen No 01/84 yang mengatur hal ihwal tentang
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers dicabut (1998)
b.
Terbit UU No 9/Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (1998)
c. Terbit UU No 40/Tahun 1999 tentang Pers, yang
menjamin kebebasan pers dan perlindungan terhadap pers (1999)
5.
Pengusutan kasus penculikan aktivis tahun 1998
a. Rapat paripurna DPR memutuskan penembakan
Trisakti, Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat (Juli 2001)
b. Badan
Musyawarah DPR menolak pembentukan Pengadilan HAM ad hoc (Maret 2007)
c.
Kejaksaan menyatakan perkara itu telah ditangani di
Pengadilan Militer (April 2008)
Perjalanan
reformasi telah dinilai melenceng dari semangat perubahan yang sebenarnya.
Beberapa tuntuntan reformasi yang masih terhambat di antaranya adalah
pemberantasan KKN dan penegakan HAM.
Runtuhnya
Orde Baru juga tidak lepas dari tuduhan korupsi yang merugikan rakyat, dan
reformasi muncul dengan semangat pemberantasan KKN. Namun kenyataannya selama empat
belas tahun ini masalah KKN tetap terjadi dan sangat disayangkan bahwa yang
melakukan KKN adalah orang-orang yang dulu meneriakkan reformasi. Walau KKN
tetap marak, berdasarkan data angka Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia justru
membaik dari 2,0 pada tahun 2004 menjadi 3,0 pada 2011. Kenaikan tersebut
merupakan kenaikan tertinggi diantara sepuluh negara Asia Tenggara dan di Asia
kenaikan tersebut merupakan kenaikan tertinggi kelima, lebih baik dibandingkan
China.
Hal
ini terjadi karena proses reformasi dinilai telah telah memberikan fondasi
sistem antikorupsi yang semakin baik. Yang menjadi tantangan terberat adalah
orang-orang dalam sistem yang ingin menghancurkan sistem itu. Menurut Wakil
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, ada lima aspek pendukung
antikorupsi yang membaik[2].
Pertama, sistem bernegara lebih demokratis, yang membuat kecenderungan praktik
antikorupsi lebih besar daripada sistem kenegaraan yang otoritarian saat Orde
Baru. Kedua, regulasi antikorupsi membaik, seperti dengan adanya UU Tipikor, UU
KPK, UU Pencucian Uang, dan Peraturan Presiden yang melarang TNI berbisnis.
Ketiga, institusi antikrupsi membaik, dengan adanya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan MK yang giat menjaga UU antikorupsi.
Keempat, kebebasan pers yang berguna untuk mengontrol sistem politik. Kelima,
partisipasi publik meningkat ditandai dengan adanya LSM antikorupsi seperti
Indonesia Corruption Watch.
Jadi
sebenarnya sistem dan regulasi antikorupsi di Indonesia sudah banyak
diperbaiki, terbukti dengan adanya UU Tipikor dan lembaga-lembaga terkait yang
menangani tipikor. Hanya saja bagaimana dengan
orang-orang yang bergerak dalam pemerintahan dan yang bertugas
menegakkan keadilan untuk serius melaksanakan UU yang telah ada. Indonesia saat
ini membutuhkan reformasi di bidang kebudayaan, yaitu untuk menghilangkan
krisis karakter yang selama ini terjadi dan menghilangkan mental korupsi para
elitenya.
Masalah
lainnya yang menanti untuk diselesaikan adalah penegakan hukum dan HAM. Hal
yang menjadi hambatan adalah pengadilan HAM tersebut hanya mengadili pelaku
lapangan dan para aktor intelektual pengambil keputusan belum tersentuh hukum,
seperti aktor intelektual pelanggaran HAM DOM Aceh, kasus Talangsari, Tanjung
Priok, Papua, Timor-Timur, dan kerusuhan Mei 1998 yang belum diadili. Sedangkan
Komnas HAM hanya memiliki wewenang melakukan pengusutan pelanggaran HAM secara
formal dan keputusan akhir temuan Komnas HAM hanya menjadi rujukan/rekomendasi
bagi instansi terkait. Misalnya persoalan HAM yang muncul sejak zaman Orde Baru
hingga awal reformasi tidak jelas
pengusutannya dan cenderung tidak diproses[3]. Kasus pembunuhan Munir juga sampai saat ini masih
menggantung dan pelakunya masih bebas bahkan kabarnya ia menduduki jabatan
dalam instansi negara.
Lain
lagi dengan hak kebebasan. Indonesia telah mencapai suatu era di mana kebebasan
berserikat, mengeluarkan pendapat dan berekspresi telah didapat. Setiap orang
bebas berpolitik, bebas mengeluarkan aspirasinya, dan pers di Indonesia juga
semakin bebas dalam pemberitaannya. Hal ini tentu berbeda pada saat Orde Baru
masih berkuasa yang melakukan beberapa pembatasan.
Kebebasan
ini juga memberikan dampak positif maupun negatif. Kini setiap orang merasa
memiliki kebebasan itu sebebas-bebasnya hingga muncul kesan bahwa kebebesan di
Indonesia ini jauh dari kebebasan yang bertanggung jawab sesuai Undang-Undang
juga norma-norma yang berlaku.
Sangat
disayangkan, pemerintah Indonesia saat ini belum menjamin kebebasan dalam
beragama dan berkeyakinan. Akhir-akhir ini seringkali muncul konflik dan kekerasan
yang menyerang agama, konflik sering terjadi antara agama mayoritas yang
menyerang penganut agama minoritas.
Apakah
dari semua permasalahan di atas, era reformasi telah gagal dalam melakukan
pembangunan politik? Lalu apakah yang harus diperbaiki pada era reformasi ini?
Selama
empat belas tahun ini Indonesia seperti telah kehilangan arah dan tujuannya.
Reformasi yang ada hanya sebagai pergantian kekuasaan, namun tidak banyak memperbaiki
sistem dan mental elite negeri ini tetap saja buruk. Bahkan reformasi ini malah
menjadikan Indonesia sebagai negara yang liberal dan kapitalis, hanya
menguntungkan orang-orang tertentu saja, yang bermodal besar tentunya, sehingga
yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Kondisi
Indonesia saat ini juga seperti telah kehilangan otoritas, pemerintah cenderung
lemah dan tidak tegas, ini terlihat dari banyaknya konflik sosial antar
kelompok masyarakat, kekerasan atas nama agama, penegakan hukum yang lemah, dan
masih banyak kekacauan yang terjadi dan seolah-olah pemerintah selalu absen
saat muncul masalah-masalah itu, ataupun terkadang cenderung lambat dan tidak
tegas dalam menanganinya.
Sepertinya
tata ulang sistem demokrasi sangat dibutuhkan bangsa ini. Pelu evaluasi
menyeluruh agar dapat menata demokrasi agar dapat mencapai tujuan negara yang
diharapkan bersama. Menata ulang di sini dapat berupa mengurangi lembaga negara
yang tumpang tindih dan tidak efektif, dan perbaikan sistem partai politik.
Partai politik yang ada saat ini cenderung tidak mengemban aspirasi rakyat,
hanya demi uang dan kepentingan segelintir orang semata. Partai politik harus
lebih bertanggung jawab serta perlu adanya aturan untuk memantau keuangan
partai yang tidak pernah jauh dari kasus korupsi. Pemberantasam korupsi harus
tetap digalakkan dengan memperkuat lembaga-lembaga yang berwenang menangani
kasus tipikor.
Selain
memperbaiki sistem demokrasi dan regulasi, kita perlu juga melakukan preformasi
budaya. Kenyataannya, Indonesia saat ini mengalami kemerosotan karakter, para
pejabat bermental buruk dan korup, dan masyarakat Indonesia yang masih
mengalami keterbelakangan, seperti menggunakan cara-cara kekerasan yang kini
mulai marak lagi untuk menyelesaikan masalah, mudah terprovokasi, suka merusak
saat melakukan aksi protes, padahal kelakuannya itu tidak memberikan peubahan
berarti terhadap apa yang diperjuangkan, malah merugikan diri sendiri dan
masyarakat yang katanya mereka wakili. Banyak orang-orang di Indonesia yang kurang
memiliki rasa toleransi atau rasa primordialisme mereka yang masih tinggi.
Mereka menganggap kelompoknyalah yang paling benar dan merasa punya otoritas
untuk menghukum yang lain. Selain itu misalnya, kurangnya kepatuhan masayarakat
terhadap hukum tetapi selalu menuntut kehidupan yang lebih baik. Sebagian dari
kita sepetinya belum punya kesadaran untuk berubah menjadi lebih baik.
Untuk
membangun Indonesia menjadi lebih baik diperlukan perbaikan dari bebagai pihak,
dari pemerintah juga rakyatnya. Masing-masing harus memiliki kesadaran untuk
berubah, bukan hanya menuntut pemerintah untuk melakukan perbaikan tetapi
masyarakat juga harus berubah demi membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.
3.
Kesimpulan
Apa yang telah dicapai bangsa
Indonesia pasca Reformasi 1998 memang belum sepenuhnya berhasil, masih banyak
pekerjaan rumah yang menanti untuk diselesaikan. Untuk membangun daya saing
yang pertama harus dilakukan adalah melakukan perbaikan masalah-masalah di
dalam negeri dahulu, seperti masalah korupsi, penegakan hukum, kesenjangan
antara pusat dan daerah, konflik, dan lain sebagainya. Selain itu peningkatan
mutu pendidikan juga sangat penting. Dan yang paling esensial dari semua itu
adalah perlunya figur pemimpin yang dapat mengarahkan Indonesia ke arah yang
lebih baik. Selain itu perlunya reformasi budaya juga sangat penting dalam
rangka membangun Indonesia menjadi lebih baik. Para elite masih banyak yang
bermental buruk, begitupun masyarakatnya. Untuk itu sangat perlu partisipasi
dan kerja keras antara dua belah pihak, yaitu pemerintah dan rakyat agar
tercapai kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan bagi bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1990. Masalah dan Prospek Pembangunan Politik
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
MacAndrews, Colin. Amal, Ichsanul.
(Ed.). 1995. Hubungan Pusat dan Daerah
Dalam Pembangunan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Pangestu, Mari. Setiati, Ira.
(Ed.). 1997. Mencari Paradigma Baru
Pembangunan Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and International
Studies (CSIS)
Kompas, 21 Mei 2012. “Agenda
Reformasi 1998 Dikhianati: Praktik Korupsi, Kolusi Nepotisme Tetap Marak”. Hal
1
Kompas, 22 Mei 2012. “Tata Ulang
Demokrasi Modal Indonesia Jadi Bangsa Besar Tersedia”. Hal. 5
Kompas, 22 Mei 2012. “Kekuatan
Lama Bercokol, Tidak Ada Pemimpin Kredibel yang Mengawal Reformasi”. Hal 1
Kompas, 22 Mei 2012. “Politikus
dan Aparat Korup yang Kita Dapati”. Hal 5
Kompas, 23 Mei 2012. “Agenda
Antikorupsi Terbangun: Transisi Demokratis Terlalu Lama”. Hal 1
Kompas, 23 Mei 2012. “14 Tahun
Reformasi: Kebebasan Tanpa Saling Mendengarkan”. Hal 4
Kompas, 23 Mei 2012. “Pemenuhan
HAM Diujung Tanduk.” Hal 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar