Salah satu permasalahan lingkungan yang paling dekat dengan kehidupan
kita sehari-hari adalah masalah pengelolaan sampah. Permasalahan sampah kini
telah berkembang menjadi salah satu masalah publik serius dan sangat penting
untuk segera diselesaikan.
Di Indonesia, produksi
sampah yang besar baik dari penduduk maupun sampah dari industri tidak
diimbangi dengan pengelolaan sampah yang baik. Sampah-sampah
yang dihasilkan tersebut kebanyakan tidak dikelola dengan baik sehingga akibatnya sering kita temui tumpukan sampah
yang menggunung di pinggir jalan, mengotori selokan atau saluran air, dan lebih
banyak lagi yang mencemari sungai, juga menimbulkan penyakit.
Sampah-sampah itulah
yang menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir di kota-kota besar karena
menghambat saluran air yang ada sehingga air hujan yang seharusnya bisa
ditampung meluap hingga menggenangi jalan raya, hampir di setiap hujan deras.
Faktor-faktor yang
menyebabkan buruknya pengelolaan sampah di Indonesia antara lain karena
kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Masyarakat
sudah sangat terbiasa membuang sampah-sampahnya ke sungai tanpa peduli bahwa
itu akan menimbulkan polusi. Ketidakdisiplinan masyarakat dalam membuang sampah
juga seing terjadi di mana saja, seperti di tempat umum atau di jalan raya,
seolah-olah masyarakat tidak peduli bahwa perilakunya membuat lingkungan
menjadi tidak sedap dipandang. Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara lain
yang masyarakatnya punya kesadaran tinggi tentang menjaga lingkungannya,
sehingga tempat-tempat umum di sana selalu terlihat rapi dan bersih.
Faktor lainnya adalah
kurangnya fasilitas kebersihan yang seharusnya tersedia, misalnya di
tempat-tempat umum ataupun di pinggir jalan. Hal ini kemudian menjadi alasan
bagi masyarakat untuk membuang sampah sesuka hatinya karena tidak menemukan
tempat sampah.
Kemudian kurangnya peran pemerintah dalam menangani
masalah ini juga menjadi salah satu faktor. Sebenarnya pemerintah sudah
mempunya aturan tentang pengelolaan sampah, seperti UU No. 18 Tahun 2008
tentang pengelolaan sampah dan Permendagri No 33 Tahun 2010 tentang pengelolaan
persampahan. Namun realita yang terjadi aturan-aturan ini tidak banyak merubah
keadaan. Pencemaran sungai dan laut akibat sampah, sampah yang berserakan di
tempat-tempat umum, dan lain sebagainya sepertinya tidak berkurang.
Kemampuan Pemerintah dalam menangani sampah masih sangat
terbatas. Secara Nasional, dari tahun 2000 sampai 2005,
tingkat pelayanan baru mencapai 40 % dari volume sampah yang dihasilkan. Hal
ini disebabkan karena jumlah penduduk yang tinggi menyebabkan semakin tingginya volume sampah
yang harus dikelola setiap hari sehingga bertambah sulit karena semakin besar
beban yang harus ditangani.
Sebenarnya masalah
sampah adalah masalah semua negara yang ada di dunia, termasuk negara-negara
maju. Namun negara-negara maju tersebut telah menemukan terobosan yang tepat
dalam mengelola sampah dan masyarakatnya sudah mempunya kesadaran yang tinggi.
Namun keberhasilan
negara maju dalam mengelola sampahnya tidak terjadi begitu saja. Sampai
dengan abad ke-17 penduduk Belanda ternyata juga melempar sampah di mana saja
sesuka hati. Di abad berikutnya saat sampah mulai menimbulkan penyakit, pemerintah
Belanda lalu menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah. Di abad ke-19, sampah
masih tetap dikumpulkan di tempat tertentu dengan petugas pemerintah daerah
yang datang mengambilnya dari rumah-rumah penduduk. Di abad ke-20 sampah yang
terkumpul tidak lagi dibiarkan tertimbun sampai membusuk, tapi dibakar. Kondisi
pengelolaan sampah di Belanda saat itu kira-kira sama seperti di Indonesia saat
ini.[1]
Begitu
juga dengan yang terjadi di Jepang. Sekitar 20 tahun
lalu, orang Jepang belum melakukan pemilahan sampah. Di tahun 1960 dan 1970-an,
kepedulian orang Jepang pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah masih
rendah. Saat-saat itu, Jepang baru bangkit menjadi negara industri, sehingga
masalah lingkungan hidup tidak terlalu mereka pedulikan. Akibat tumbuhnya
industri tersebut terjadi banyak kasus polusi, pencemaran lingkungan, dan
keracunan. Baru pada pertengahan 1970-an mulai bangkit gerakan masyarakat
peduli lingkungan atau “chonaikai” di
berbagai kota di Jepang. Masyarakat menggalang kesadaran warga tentang cara
membuang sampah, dan memilah-milah sampah, sehingga memudahkan dalam
pengolahannya dengan menyosialisasikan tema 3R atau Reduce, Reuse, and Recycle. Meski gerakan peduli
lingkungan di masyarakat berkembang pesat, pemerintah Jepang belum memiliki
Undang-undang yang mengatur pengolahan sampah karena saat itu urusan lingkungan
belum menjadi prioritas. Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah melihat
perkembangan yang positif dan dukungan besar dari seluruh masyarakat Jepang,
Undang-undang mengenai pengolahan sampah diloloskan Parlemen Jepang Bulan Juni
2000.[2]
Dalam
membuang sampah, masyarakat Jepang selalu memilah sampahnya terlebih dahulu.
Pemerintah Kota di sana telah menyiapkan dua buah kantong plastik besar dengan
warna berbeda, hijau dan merah. Pada beberapa kategori lainnya, yaitu botol PET,
botol beling, kaleng, baterai, barang pecah belah, sampah besar dan elektronik
yang masing-masing memiliki cara pengelolaan dan jadwal pembuangan berbeda.
Selain
pengelolaan sampah di rumah, tempat umum seperti supermarket juga menyediakan kotak-kotak sampah untuk
tujuan recycle. Kotak-kotak tersebut
disusun berderet berderet di dekat pintu masuk, kotak untuk botol beling,
kaleng, botol PET masing-masing disendirikan. Bahkan di beberapa supermarket
tersedia untuk kemasan susu dan jus yang terbuat dari kertas. Proses daur ulang
itu pun sebagian besar dikelola perusahaan produk yang bersangkutan, dan
perusahaan lain atau semacam yayasan untuk menghasilkan produk baru. Hebatnya
lagi, informasi tentang siapa yang akan mengelola proses recycle juga tertulis dalam setiap kotak sampah.
Sementara
itu pengelolaan sampah juga ada di stasiun kereta bawah tanah, atau shinkansen, pada saat para penumpang
turun dari kereta ada petugas yang berdiri di depan pintu keluar dengan membawa
kantong plastik sampah besar siap untuk menampung kotak bento dan botol kopi
penumpang.[3]
Rahasia sukses Jepang dalam mengelola sampahnya ada tiga faktor, yaitu tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, adanya rasa malu apabila membuang sampah seenaknya, dan yang ketiga adalah adanya edukasi sejak dini bagi anak-anak untuk memilah sampah sebelum dibuang. Awalnya masyarakat Jepang merasa cara ini sangat merepotkan, namun setelah merasakan manfaatnya lambat laun kebiasaan mereka mulai berubah.
Rahasia sukses Jepang dalam mengelola sampahnya ada tiga faktor, yaitu tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, adanya rasa malu apabila membuang sampah seenaknya, dan yang ketiga adalah adanya edukasi sejak dini bagi anak-anak untuk memilah sampah sebelum dibuang. Awalnya masyarakat Jepang merasa cara ini sangat merepotkan, namun setelah merasakan manfaatnya lambat laun kebiasaan mereka mulai berubah.
Dalam
kaitannya dengan sosiologi, adanya gerakan masyarakat peduli lingkungan di
Jepang yang disebut chonaikai
merupakan suatu modal sosial. Modal sosial adalah suatu
ikatan sosial antar manusia di dalam sebuah masyarakat yang sangat penting
untuk membentuk kohesivitas sosial dalam mencapai tujuan masyarakat. Dengan
kata lain modal sosial adalah suatu kekuatan untuk mencapai tujuan hidup
bersama yang tidak mungkin dicapai secara personal.
Dalam definisi lain, modal sosial merupakan bagian dari
organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat
meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi dengan tindakan-tindakan
yang terkoordinasi, atau suatu kemampuan masyarakat untuk bekerja sama demi
mencapai tujuan bersama dalam berbagai komunitas. Chonaikai di Jepang ini
ternyata mampu menciptakan kesadaran masyarakat, bahkan juga mampu menggerakkan
masyarakat untuk ikut aktif mengatasi masalah sampah hingga akhirnya pemerintah
Jepang mengesahkan UU tentang pengelolaan sampah.
Dengan pengalaman seperti itu seharusnya bisa dijadikan
pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Jepang awalnya juga memiliki pengelolaan
sampah yang buruk, namun dengan adanya kesadaran yang tinggi masyarakatnya mulai
berubah dan juga adanya dukungan dari pemerintah, bahkan Jepang butuh puluhan
tahun agar dapat menyelesaikan masalah sampah dengan baik, tentu Indonesia
dalam waktu sepuluh tahun juga bisa meniru Jepang. Selain itu di Indonesia juga
telah banyak organisasi sosial yang peduli masalah lingkungan dan secara aktif
terus menerus mengedukasi masyarakat agar peduli terhadap masalah lingkungan,
baik melalui media massa maupun dengan mengadakan acara-acara bertema
lingkungan. Tentunya ini merupakan modal sosial yang kuat di Indonesia.
Penyebab masalah persampahan di Indonesia selain
dikarenakan belum dijalankannya prinsip 3R, juga karena kurangnya kedisiplinan
warga dalam membuang sampah. Orang-orang Indonesia suka sekali membuang sampah
sembarangan, meskipun di dekat mereka terdapat tempat sampah sekalipun. Bahkan
sungai yang merupakan salah satu sumber daya alam yang harus dilestarikan kini
dijadikan tempat sampah, sehingga tidak heran kalau air sungai di Indonesia
hampir semuanya sudah terpolusi.
Negara-negara maju seperti Belanda dan Jepang awalnya
juga mengalami masa-masa seperti di Indonesia. Di Indonesia sendiri kampanye
lingkungan hidup juga sangat gencar, apalagi kampanye tentang 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Kesadaran
masyarakat sedikit demi sedikit juga sudah mulai terbangun walau belum terlalu
banyak yang melakukan. Ini artinya masih ada harapan bagi Indonesia untuk dapat
membangun kesadaran warganya dalam mengelola sampah secara mandiri juga adanya
UU dari pemerintah untuk mengatur masalah persampahan, bahkan bila perlu juga
adanya sanksi bagi tiap orang yang membuang sampah sembarangan.
Saya berharap sepuluh tahun mendatang Indonesia juga
dapat meniru sistem pengelolaan sampah seperti yang dilakukan Jepang dan
memiliki teknologi recylce yang bagus.
Selain itu diharapkan juga munculnya kesadaran dan kedisiplinan masyarakat
dalam mengelola sampah-sampah itu. Karena dengan sistem dan teknologi yang
canggih tidak akan berguna apabila tidak ada kesadaran dari masyarakat.
Dalam mengatasi masalah
persampahan, tentu bisa ada hal-hal sederhana yang bisa dilakukan oleh kita
sendiri dan dapat dimulai saat ini juga. Hal-hal sederhana itu adalah dengan melakukan
pengolahan sampah secara sederhana, yaitu dengan melakukan prinsip 4R (replace, reduce, reuse, dan recyle).
R pertama adalah replace, yaitu mengganti. Gantilah
barang-barang yang kita punya dengan barang yang ramah lingkungan, misalnya
menggunakan kantong plastik yang dapat didaur ulang. R kedua
adalah reduce, yaitu mengurangi
sampah. Mengurangi sampah dapat dilakukan dengan cara membawa tas belanja
sendiri untuk mengurangi sampah kantong plastik pembungkus barang belanja, membeli
kemasan isi ulang untuk shampoo dan sabun daripada membeli botol baru setiap
kali habis.
R
berikutnya adalah reuse, atau
menggunakan barang yang masih bisa digunakan. Contohnya adalah dengan memanfaatkan
botol-botol bekas untuk wadah, memanfaatkan kantong plastik bekas kemasan
belanja untuk pembungkus, dan memanfaatkan pakaian atau kain-kain bekas untuk
kerajinan tangan, perangkat pembersih (lap), maupun berbagai keperluan lainnya
Dan
R yang terakhir adalah recycle atau
mendaur ulang sampah, contohnya adalah mengumpulkan kertas, majalah, dan koran
bekas untuk di daur ulang, mengumpulkan sisa-sisa kaleng atau botol gelas untuk
di daur ulang atau
menggunakan berbagai produk kertas maupun barang lainnya hasil daur ulang.
menggunakan berbagai produk kertas maupun barang lainnya hasil daur ulang.
Selain itu yang terpenting adalah tidak membakar
sampah sembarangan karena dapat menyebabkan polusi udara dan bisa saja ada kandungan
kimia dalam sampah yang berbahaya jika dibakar.
DAFTAR PUSTAKA
Internet
Anonim.
Pengolahan Sampah di Negara-Negara Maju,
diakses pada 16 Oktober 2012 dari www.abatasa.com
Herdiawan,
Junianto. 2012 Rahasia Sukses Pengolahan
Sampah Di Jepang Part 2, diakses pada 16 Oktober 2012 dari www.juniantoherdiawan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar