Rabu, 12 Desember 2012


KEMITRASEJAJARAN WANITA-PRIA
by: Muthi Fatihah 

Sebenarnya kedudukan antara wanita dan pria adalah sejajar, namun dari kondisi sosial dan kenyataan yang kita lihat sehari-hari, kesejajaran antara wanita dan pria tidak selalu dapat terwujud. Secara kultural, posisi wanita telah dianggap lebih rendah daripada pria, hal tersebut telah berlaku sekian lama dan merupakan suatu pandangan yang sulit dihapus dari pemikiran masyarakat. Inilah yang disebut sebagai gender stratification, atau penempatan wanita secara tidak sejajar dengan pria.
            Menurut sosiologi, pengertian gender adalah perbedaan antara wanita dan pria secara psikologis dan kultural yang telah dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat. Perbedaan itu tampak pada pola perilaku antara pria dan wanita, juga pada status dan peran yang melekat pada pria dan wanita.
            Hal inilah yang kemudian memunculkan suatu sistem stratifikasi antara wanita dengan pria. Pandangan ini telah tersosialisasikan secara turun temurun sehingga telah melembaga dalam masyarakat dan sulit untuk diubah. Perwujudan gender stratification ini kemudian memunculkan kesenjangan dalam bidang ekonomi dan politik diantara wanita dengan pria.
            Dalam kaitannya tentang peran wanita-pria dalam kegiatan ekonomi, terdapat tiga ketegori periode perkembangan yang dikenal, yaitu:
  1. The family based economy
            The family based economy merupakan periode perkembangan pertama yang masih menjadikan rumah tangga sebagai basis kegiatan ekonomi, itu artinya kegiatan produksi masih dilakukan di rumah. Sehingga semua anggota keluarga, termasuk anak-anak dianggap sebagai tenaga kerja dalam proses produksi, dan wanita sebagai ibu rumah tangga mempunyai peran penting sebagai pengambil keputusan dalam urusan rumah tangga.
            Sebenarnya pada periode ini wanita tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, namun ada juga yang bekerja dalam bidang pertanian, ataupun kegiatan perdagangan sederhana seperti menjaga toko, menjadi pengrajin, membukan warung makan. Walau seperti itu wanita tetap memiliki ketergantungan pada pria, karena kelangsungan kegiatan ekonomi wanita masih ditentukan oleh kelangsungan kegiatan ekonomi pria, begitupun sebaliknya, sehingga dalam hal ini kedudukan wanita-pria masih belum sejajar. 

  1. The family wage economy
            Periode kedua adalah the family wage economy yang ditandai dengan adanya pergerseran dari kegiatan pertanian ke perdagangan dan adanya pengaruh kapitalisme juga industrialisasi. Di periode ini kegiatan produksi sudah tidak lagi pada rumah tangga tapi juga di luar rumah, seperti menjadi buruh pabrik.
            Pergeseran ini menimbulkan sesuatu yang disebut the development of dual rules (peran ganda) bagi seorang wanita. Di satu sisi seorang wanita tidak hanya menjadi ibu rumah tangga tapi juga bekerja dan memperoleh upah, sehingga ada anggapan bahwa pekerjaan di luar rumah lebih dihargai karena dapat menghasilkan uang, sedangkan menjadi ibu rumah tangga seakan kurang dihargai karena tidak menghasilkan uang, dan ini juga menyebabkan wanita tidak sejajar dengan pria. Ibu rumah tangga hanya dianggap penganggur dan apabila bekerja, penghasilannya hanya dianggap sebagai tambahan saja.
  1. The family consumer economy
            Pada periode ketiga ini terdapat kehadiran negara atau campur tangan pemerintah dalam sistem upah dan tenaga kerja. Adanya perkembangan teknologi dan produktivitas membuat rumah tangga hanya melakukan konsumsi dan reporduksi. Institusi publik telah banyak menggantikan aktivitas yang sebelumnya dikerjakan di rumah sehingga wanita hanya dianggap sebagai consumer atau penerima saja.
            Perubahan ekonomi dan teknologi yang ditandai dengan adanya pergeseran dari ekonomi domestik ke arah consumer economy ternyata mengakibatkan perubahan citra kedudukan wanita (womanhood). Di masyarakat terdapat anggapan bahwa idealnya seorang wanita adalah tinggal di rumah dan melakukan berbagai aktivitas rumah tangga, namun kenyataanya, sebagian wanita harus berperan ganda karena menjadi ibu rumah tangga sekaligus bekerja di luar rumah. 
            Dapat disimpulkan bahwa bekerja bukan hanya kegiatan mengeluarkan tenaga dan waktu untuk tugas tertentu, tapi juga merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki nilai-nilai tertentu dan telah menjadi suatu keyakinan dalam masyarakat, dan salah satunya mengacu tentang hubungan antara wanita dan pria dalam kehidupan sosial. Kemudian dengan adanya perkembangan teknologi dan industrialisasi kemudian mulai terjadi pergeseran nilai yang diyakini masyarakat walaupun tidak terlalu drastis namun memiliki arti yang signifikan.
            Berikutnya adalah hubungan wanita-pria dengan kegiatan politik. Kecenderungan gender stratification sebenarnya juga tampak pada kegiatan politik. Di Indonesia sudah banyak bermunculan tokoh-tokoh politik dari kalangan wanita, dan wanita telah banyak menempati posisi atau jabatan tertentu dalam perpolitikan, seperti menjadi anggota legislatif, pejabat daerah seperti Bupati, Walikota, Gubernur, bahkan Presiden RI pernah dijabat oleh seorang wanita. UU yang berlaku di Indonesia pun telah memberikan kuota 30% bagi keterwakilan wanita di parlemen walaupun belum terpenuhi seutuhnya.  
            Walau demikian dunia perpolitikan memang masih didominasi oleh pria daripada wanita. Kebanyakan wanita masih berada di pinggiran atau periphery zone sehingga kurang kuat pengaruhnya dalam pengambilan keputusan. Wanita masih berada di lapisan sub elite dalam struktur kekuasaan, sedangkan the ruling class atau kelas yang berkuasa masih didominasi pria.
            Faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya wanita dalam kegiatan politik adalah faktor psikologis, karakteristik personal, dan juga faktor organisasional, terutama karena nilai-nilai yang dianut masyarakat yang sering menempatkan wanita di posisi yang tidak sejajar dengan pria. Nilai tersebut diwujudkan dalam budaya patriarki yang menempatkan pria pada posisi penting. Wujud adanya sistem ini misalnya adanya anggapan bahwa wanita berada di bawah perwalian pria, seperti istri di bawah perwalian suami, atau anak perempuan di bawah perwalian ayahnya. Adanya budaya ini membuat wanita mempunyai akses yang kecil dalam melakukan aktivitas publik.
            Mengubah budaya patriarki yang telah melembaga di masyarakat memang tidak mudah, karena hal tersebut telah diyakini sejak lama dan terus disosialisasikan dari generasi ke generasi.  
            Dalam hal politik, banyak pihak yang merasa bahwa proses rekruitmen politik yang dilakukan oleh para elite masih diwarnai nepotisme, sehingga dengan modal kemampuan saja dirasa kurang cukup untuk dapat mempunyai posisi politik tanpa adanya koneksi dengan penguasa. Sebagian orang kemudian tidak terlalu mempersoalkan minimnya keterwakilan wanita dalam dunia politik karena bagi kaum pria sendiri untuk mengakses dunia politik juga tidak mudah. Bahkan munculnya politikus wanita juga dirasa tidak banyak terlalu membawa perubahan bagi masyarakat, bahkan bagi kaum wanita.  Karena itu yang terpenting kemudian bukan mempermasalahkan jumlah wanita atau pria yang mendominasi dunia politik, tapi bagaimana memunculkan orang-orang berkualitas yang dapat mewujudkan kesejahtaraan rakyat.
            Dengan demikian, yang harus diubah bukanlah memperbanyak jumlah keterwakilan politik wanita, tapi memperbaiki sistem politik yang ada agar para elite yang memimpin dan mengambil keputusan untuk negara ini adalah orang-orang yang mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya atau kelompok saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share on :