Rabu, 14 November 2012

MARXISME

oleh: 
Muthi Fatihah (110910101005)
Jurusan Hubungan Internasional
UNEJ

Belum hilang dari ingatan kita tentang hal yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Mei lalu, yaitu Hari Buruh Sedunia atau yang biasa disebut May Day. Tiap tanggal 1 Mei kita dapat menyaksikan puluhan ribu pekerja turun ke jalan di kota-kota seluruh dunia untuk menandai Hari Buruh Internasional dan menyerukan perbaikan hak pekerja. Seperti di Asia, ribuan buruh berkumpul di ibukota Thailand, Bangladesh dan Indonesia untuk melakukan aksi demonstrasi yang diselenggarakan oleh serikat pekerja. Di Rusia, presiden yang baru terpilih Vladimir Putin, bergabung dengan puluhan ribu dalam pawai di Moskow. Presiden Rusia Dmitry Medvedev juga menghadiri rapat umum sementara para peserta pawai memegang spanduk besar yang mendukung serikat pekerja dan pabrik mereka. Ribuan pekerja Yunani diperkirakan akan menggelar protes penghematan anggaran sebagai bagian dari demonstrasi May Day di Athena Selasa. Di AS, pengunjuk rasa Occupy merencanakan demonstrasi di New York untuk memblokade sebuah jembatan besar dan menutup sebagian lembaga keuangan Wall Street.[1]
Aksi May Day ini telah menjadi aksi rutin tiap tahun yang dilakukan oleh para kaum pekerja untuk menuntut hak-hak mereka. Menurut sejarahnya sendiri, May Day memang lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis pada sistem ekonomi dan politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan AS. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja. Tanggal 1 Mei dipilih karena merujuk pada peristiwa Haymarket yang terjadi di AS pada 1 Mei 1886, yaitu saat sekitar 400.000 buruh di AS  mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei. Pada tanggal 4 Mei 1886, para demonstran melakukan pawai besar-besaran, polisi AS lalu menembak para demonstran hingga ratusan orang tewas, para pemimpin demonstrasi ditangkap dan dihukum mati. Kemudian, pada bulan Juli 1889  diadakan Kongres Sosialis Dunia di Paris untuk menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi berisi: Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis. Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890 inilah tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan May Day, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun sering mendapat tekanan keras dari pemerintah.[2]
Peristiwa May Day dan aksi-aksi para pekerja menuntut para pemilik modal untuk memperhatikan kesejahteraan dan hak-hak buruh ini kemudian mengingatkan kita dengan teori marxist yang dipopulerkan oleh Karl Marx (1818-1883). Adanya aksi-aksi buruh di seluruh dunia tersebut dapat membuktikan bahwa sistem kapitalisme yang mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi masih saja terjadi hingga saat ini. Pada kenyataannya efek kapitalisme menyebabkan orang yang kaya akan semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.
Pemikiran Marx berkembang dengan latar belakang adanya perubahan struktur ekonomi dan politik di eropa pada abad ke 19, yaitu terjadinya perubahan corak produksi menuju kapitalisme. Marx menganggap bahwa sistem ekonomi pada saat itu bersifat timpang dan eksploitatif.
Marx juga menitikberatkan teorinya pada perbedaan kelas, yaitu adanya kelas borjuis (pemilik modal) dan kaum proletar (pekerja) yang saling bertentangan. Kaum borjuis sebagai pemilik modal merupakan kelompok yang menguasai alat-alat produksi, sedangkan kaum proletar merupakan kaum buruh yang hanya memiliki kekuatan untuk bekerja yang kemudian ia jual pada kaum borjuis. Namun kenyataannya pendapatan yang diterima oleh buruh tidak sesuai dengan apa yang telah ia kerjakan, sementara kaum borjuis meraup keuntungan dari penjualan hasil produksi.
Namun posisi buruh lebih lemah daripada pemilik modal menyebabkan terjadinya  eksploitasi antara pemilik modal terhadap mereka. Situasi ini kemudian melahirkan solidaritas antar sesama pekerja untuk mengambil alih alat-alat produksi dari pemilik modal dan mengubah struktur produksi, yaitu dengan melakukan revolusi sosial.
Marxisme menganggap ekonomi dan politik merupakan dua hal yang sangat berkaitan, karena kaum borjuis yang mendominasi bidang ekonomi juga cenderung mendominasi dalam bidang politik. Hal itu kemudian menyebabkan negara tidak lagi otonom karena negara digerakkan oleh kepentingan kelas yang berkuasa yaitu kaum borjuis. Berarti konflik antar negara, termasuk perang seharusnya dilihat dakan konteks persaingan ekonomi antar negara, dan konflik kelas lebih mendasar daripada konflik antar negara.
Selain itu kapitalisme juga bersifat ekspansif yaitu cenderung untuk memperluas pasar untuk menjual hasil produksinya. Awalnya bentuk ekspansi terjadi dalam bentuk imperialisme dan kolonialisme, tetapi hingga saat ini imperialisme masih berlanjut walaupun negara jajahan sudah merdeka, yaitu melalui globalisasi ekonomi, misalnya berkembangnya perusahaan multinasional (MNC) di negara-negara berkembang yang mengakibatkan suatu eksploitasi terhadap negara berkembang oleh negara maju.
Dari penjelasan tentang marxisme tadi dapat didapat beberapa poin penting sebagai berikut:
1.      perekonomian adalah tempat eksploitasi dan perbedaan antar kelas, yaitu kelas borjuis (pemilik modal) dengan proletar (buruh).
2.      kehidupan politik sebagian besar ditentukan oleh konteks sosial ekonomi. Kelas sosial yang dominan juga cenderung akan dominan dalam bidang politik, ini artinya kaum borjuis juga berkuasa dalam politik
3.      pembangunan kapitalis global yang tidak seimbang mengakibatkan krisis antar negara dan antar kelas.[3]
Dalam hubungan internasional, marxisme merupakan dasar terbentuknya negara sosialis-komunis yang melakukan sentralisasi kekuasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu dengan membatasi peran individu (swasta) dan alat serta faktor produksi dikuasai negara dalam rangka mewujudkan peniadaan kelas sosial.
Dalam konteks globalisasi, kesenjangan antara kaum borjuis dan proletar terlihat dengan adanya eksploitasi antara negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang, misalnya dalam hal sumber daya alam, atau menjadikan negara berkembang sebagai pasar bagi negara-negara industri maju. Misalnya berdirinya Freeport milik AS yang melakukan penambangan dan AS mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada Indonesia yang merupakan pemilik SDA, ataupun berdirinya perusahaan minyak asing seperti Shell yang juga memperoleh minyaknya dari Indonesia. Dalam hal pasar, Indonesia merupakan sasaran utama dari negara industri untuk menjual hasil produksinya, misalnya alat-alat elektronik, alat transportasi, bahkan hingga ke makanan, minuman, buah-buahan, semua merupakan produksi luar negeri, akibatnya produksi dalam negeri kalah saing dan hanya menguntungkan pengusaha asing saja.
 Pada dasarnya, eksploitasi tersebut dapat dilakukan secara frontal atau tindakan langsung berupa aksi militer, penjajahan, atau kolonialisme terhadap suatu negara. Sedangkan eksploitasi secara terselubung dapat berupa kerjasama antarnegara, ataupun adanya aliran modal asing bagi negara-negara berkembang yang biasanya diikuti oleh adanya kepentingan asing yang turut mempengaruhi negara-negara berkembang tersebut.
Dalam sistem internasional, marxisme telah membawa pengaruh kuat dalam perekonomian dunia, dimana kesetaraan dan kebebasan setiap elemen masyarakat mutlak dijunjung tinggi. Sebenarnya yang menjadi agenda utama dari marxisme ialah adanya pemahaman terhadap komunitas sosialis untuk menghilangkan eksploitasi dan kesenjangan antar kelas. Dalam hal ini, baik kaum borjuis maupun proletar harus mampu bekerjasama demi tercapainya perdamaian dan strabilitas keamanan internasional. Dalam upaya menegakkan perdamaian dan stabilitas keamanan internasional, teori marxisme ini mengedepankan adanya penghapusan kelas. Jika kelas tersebut dihapuskan, maka tidak akan ada lagi konflik antar kelas yang terjadi. Karena pembentukan kelas, menurut marxisme, merupakan faktor utama yang memicu terjadinya konflik.[4]



DAFTAR BACAAN
Buku
Jackson, Robert. Sorensen, Georg. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Internet
VOA Indonesia. Dunia Peringati Hari Buruh Sedunia 2012. Dari www.voaindonesia.com diakses pada 20 Oktober 2012

Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. Sejarah Hari Buruh. Dari http://id.wikipedia.org diakses pada 20 Oktober 2012

Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. Marxisme. Dari http://id.wikipedia.org diakses pada 20 Oktober 2012

Putri, Dinar Prisca. 2010. Teori Hubungan Internasional: Marxisme Dan Neo-Marxisme. Dari http://dinaprisca.blogspot.com  diakses 14 oktober 2012



[1] Dikutip dari Dunia Peringati Hari Buruh Sedunia 2012. Diakses dari www.voaindonesia.com
[2] Wikipedia. Sejarah Hari Buruh. Diakses dari http://id.wikipedia.org
[3] Jackson,Robert.Sorensen,Georg. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. hal 243
[4] Dikutip dari Teori Hubungan Internasional: Marxisme Dan Neo-Marxisme. Dari http://dinaprisca.blogspot.com diakses 14 oktober 2012

1 komentar:

Share on :