Sabtu, 06 Juli 2013

COFFE CONVERSATION



                Aku terpaksa memenuhi permintaannya untuk minum kopi  bersama hari ini. Kami  memilih duduk di tepi jendela, dan aku menyibukkan diri dengan melihat pemandangan kota di sore hari sambil menikmati kopi panas ini, sampai akhirnya dia memulai pembicaraan.
                “Kita belum pernah saling sapa sejak pertama kali bertemu di kantor…” ujarnya sambil tersenyum.
                “Maaf,” aku agak terkejut setelah terlarut dalam lamunan tadi.
                “Kukira kau lupa siapa aku,…”
                “Oh, tidak aku… aku hanya bersikap profesional saja,” aku mencari alasan. Alasan yang tidak bagus menurutku dan hanya menyulitkanku saja bicara begitu.
                “Haha, kau memang begitu. Selalu profesional sejak dulu…” katanya lagi, entah memuji atau menyindirku. Aku tersenyum saja.
                “Baru sekarang kita bisa ngobrol, dan kamu sudah akan pergi ke London saja. Berapa lama kamu di sana?”
                “Mmm… mungkin sekitar empat tahun…”
                “Lama sekali ya?”
                “Aku juga ingin cepat lulus kuliah sepertimu jadinya tidak perlu selama itu. London… seperti apa di sana? Apa dingin sekali? Apa macet seperti di sini?”
                “Tentu saja dingin kalau musim dingin…”
                “Menyenangkan di sana?”
                “Di mana-mana aku selalu senang,”
                Aku tersenyum saja mendengar jawabannya. “Termasuk di sini?”
                “Tentu saja! Ini kampung halaman kita, seburuk apapun negara ini, ini rumah kita..”
                Aku diam.
                “Kau sendiri apa kau tidak senang di sini, jadi harus tiba-tiba ke London?”
                “Ini tidak tiba-tiba, aku berusaha mendapat beasiswa di sana sejak lulus kuliah dulu. Baru sekarang aku mendapat beasiswa S2 itu. Memang butuh waktu yang lama dan ini waktu yang tepat,..”
                “Senyummu palsu,…” katanya sambil tersenyum sekaligus menatapku dengan tajam.
                “Apa?”
                “Aku tahu kau pura-pura tersenyum saja padaku. Tidak apa-apa, aku tidak akan memaksamu berpura-pura begini.”
                Aku tidak tersenyum lagi. Aku menatapnya tajam.
                “Kau pergi karena menghindariku kan,”
                “Kenapa kau berpikir begitu?”
                “Itu hanya perasaanku saja,… apa benar begitu? Maafkan aku kalau aku salah,”
                “Tidak, kau memang benar. Beasiswa ini datang di saat yang tepat,”
                Dia menunduk. “Begitu,”
                “Maafkan aku,”
                “Kenapa kau minta maaf? Harusnya aku minta maaf padamu. Aku pasti berbuat salah hingga kau membenciku seperti itu.”
                “Lupakan saja,”
                “Sebenarnya apa salahku? Apa aku punya kesempatan untuk memperbaikinya? Aku tidak akan tenang hidup begini,”
                “Kau bicara apa, kau tidak salah. Kubilang lupakan, ceritakan padaku tentang London,” aku berusaha mengganti topic.
                “Sebenarnya apa salahku?”
                Aku menghela nafas. Aku sudah terjebak dalam pembicaraan yang tidak menyenangkan ini.
                “Kesalahanmu adalah… kau muncul lagi dihadapanku! Kenapa kau tidak ke London, New York, Tokyo, Mesir, Jerman, Belanda, Belgia, Hawai, Austra,…”
                “Apa?”
                “Ya! Kalaupun kau harus kembali ke sini, kenapa kau harus ingat aku? Kenapa harus di kantor yang sama? Kenapa kau jadi bosku? Kenapa juga kita harus bicara di sini! Kau puas?”
                “Aku tetap tidak mengerti alasanmu itu.”
                “….aku juga tidak tahu kenapa,”
                “Apa?”
                “Aku benci sekali tiap melihatmu sejak dulu. Oh, tidak… Dulu aku tidak membencimu. Aku hanya merasa tidak pantas berada di dekatmu, apalagi bicara denganmu. Tiap kali aku di dekatmu aku merasa bodoh, aku merasa buruk sekali dan aku benci itu. Kau tahu, aku memang profesional, aku tidak ingin terlihat buruk di mata semua orang, mereka harus memandangku seperti orang yang paling pintar dan rajin, dan… aku benci saat kau mengetahui kalau aku juga mendapat nilai jelek atau tak sepintar dirimu. Karena itulah aku kemudian membencimu,”
                “Kenapa kau berpikir begitu? Itu perasaanmu saja, merasa bodoh, apa-apaan itu?”
                “Ya, ketika kau pintar sekali, bisa menjawab semua teka-teki tersulit, mendapat nilai bagus, menanyakan hal-hal yang tidak dimengerti orang lain, mengkritisi semua hal, mendapat pujian, aku benar-benar…” nafasku tertahan.
                “Jadi ini semua karena kau merasa iri padaku?”
                “Aku hanya merasa tidak pantas untuk orang sebaik dirimu, itu saja. Mungkin aku memang iri, ya, aku mengakuinya. Aku juga ingin selevel denganmu, tapi… kau tidak akan pernah bisa melihatku meski aku berada di bawah cahaya terang kan,”
                Dia memandangku dengan sedih. Aku memang menyedihkan.
                “Gadis itu… apa kau masih bersamanya?” tanyaku tiba-tiba. Hal itu muncul seketika di kepalaku.
                “Oh… ya,” jawabnya datar. Dia seakan tidak ingin aku menanyakan itu lebih lanjut dan segera menyela sebelum aku menimpali.
                “Kenapa kau merendahkan dirimu sendiri, padahal aku tidak pernah berpikir begitu, maksudku… aku tidak peduli apa orang itu sempurna atau tidak,… aku sendiri juga sangat bodoh, sebenarnya aku tidak punya apa-apa untuk disombongkan,”
                “Aku tidak memahami diriku sendiri. Haha, aku memang tidak memahaminya. Karena aku membencimu aku tidak ingin melihatmu, aku ingin kau enyah dari bumi, aku berharap kau menghilang selamanya. Kenapa kau tidak menghilang saja! Aku kesal saat kau selalu saja ada di sekitarku tanpa diundang!”
                Dia mendengarkan.
                “Tapi… saat kau tidak ada aku malah mencarimu, tidak, aku tidak mencari sebenarnya, aku hanya bertanya-tanya kenapa kamu tidak ada? Apa kamu bolos? Apa kamu ketiduran? Apa kamu sakit? Hahaha, bodoh sekali aku ini! Saat aku melihatmu aku merasa sesak, aku sakit sekali, seperti tidak bisa bernafas, tapi saat kau hilang, aku juga merasa sakit… Apa yang harus aku lakukan? Apa? Kenapa kau menyiksaku seperti ini?”
                “Maafkan aku,…”
                “Sudah kubilang, kau tidak perlu minta maaf. Aku mengerti sekarang kenapa aku merasa sakit seperti ini, aku bukan membencimu, aku hanya membenci diriku sendiri yang bodoh ini,”
                Dia menghela nafas. Aku memandang keluar jendela. Mulai gelap  dan hening.
                “Aku tidak akan menyiksamu lagi, aku yang akan pergi,”
                Aku menatapnya lagi dengan terkejut.
                “Apa?”
                “Aku akan menghilang dari hidupmu, kau tidak akan merasa sakit lagi mulai sekarang,”
                Aku tertawa meremehkannya.
                “Apa kau ingin membunuhku?”
                “Membunuh?”
                “Kau pergi pun itu sama saja sekarang, aku akan merasa kehilangan, dan yang paling parah aku akan merasa bersalah sekali telah mengakui ini semua, ternyata kau benar-benar jahat,”
                “Tidak akan seperti itu,…”
                “Aku sendiri yang akan pergi. Cuma ini satu-satunya cara aku melupakan semuanya. Kalau aku pergi aku tidak akan merasa kehilanganmu, aku akan merasa lega. Aku tidak peduli harus ke mana, aku ingin pergi sejauh-jauhnya.”
                “Baiklah. Aku tidak akan menghalangimu, lakukan apa maumu,”
                “Terimakasih,”
                “Tapi…. Aku tidak yakin semua akan baik-baik saja saat aku pergi. Maksudku… meski kau pergi ke bulan atau ke planet lain untuk melupakan aku, aku tidak yakin kau akan tenang,”
                “Kenapa?” tanyaku setelah meminum kopinya yang kini dingin.
                “Masalahmu bukan karena kau membenciku atau benci dirimu sendiri, tapi karena kau tidak jujur pada dirimu sendiri. Katakan saja yang sebenarnya, aku tidak akan marah, aku tidak akan mengejekmu atau apa, apakah ada yang ingin katakan padaku?”
                Aku menatapnya dengan bingung.Beberapa detik kemudian aku berpikir, mungkin benar yang ia katakan, tapi apa….?
                “Aku tidak tahu.”
                “Tidak tahu?”
                “Ya, aku tidak tahu… bukan, bukan! Aku hanya tidak yakin tentang itu,”
                “Aku akan menunggumu sampai kau yakin.. meski sampai besok aku di sini,…”
                “Jangan memaksaku! Lupakan saja semua dan mulai hidup baru. Aku tidak akan membencimu seperti tadi, mulai sekarang aku akan menyapamu, aku akan baik padamu. Apa perlu aku telepon tiap hari dari London supaya kau percaya kalau aku baik-baik saja? Kita anggap ini hari perkenalan kita, bagaimana?” aku memasang wajah ceriaku yang sejak tadi hilang.
                “Sampai kapan kau mau membohongi dirimu sendiri seperti itu? Kau menyiksa dirimu sendiri!”
                Aku terdiam. Ada apa dengan orang ini? Kenapa begitu susah bagimu lupakan saja semua, aku sudah menyesal bicara panjang lebar sejak tadi. Kalau tahu begini aku pergi saja dan tidak minum kopi denganmu!
                “Gadis itu, siapa namanya? Dia juga pernah ke London kan?” aku memaksakan diri mengubah topik pembicaraan.
                “Gadis itu? Siapa? Kau bicara Apa? Bukan itu yang ingin aku dengar,”
                Aku tidak tahan lagi. Aku pergi saja dari sini. Aku bangkit dari kursiku.
                “Katakan saja kau mencintaiku! Kau tidak perlu membohongi dirimu sendiri lagi! Kau menyiksa dirimu sendiri! Sampai kapan kau akan bertahan seperti itu?”
                Aku terdiam. Aku bahkan tidak sanggup menoleh. “Apa-apaan ini? Dasar brengsek!” Mataku sudah berkaca-kaca. Tiba-tiba aku teringat kata-kata seorang teman, seakan dia sendiri yang sedang bicara padaku saat ini, di sebelahku.
                “Hahaha, cuma orang bodoh yang tidak tahu kalau kau menyukainya! Sangat aneh kalau dia sendiri tidak tahu, hahaha!” Ia meledekku waktu itu.
                “Jadi kau memang tahu?” aku bicara dengan lirih.
                “Tidak, aku tidak tahu! Makanya aku menanyakannya padamu sekarang!”
                “Haha, dasar bodoh,”
                Lalu aku pergi.  
               
               
               

                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share on :