Rabu, 10 Juli 2013

KONTRIBUSI TEORI KRITIS DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

Banyak fenomena yang berkembang dalam Hubungan Internasional saat ini sehingga tidak hanya bisa dijelaskan oleh teori yang sudah ada selama ini. Misalnya banyak fenomena Hubungan Internasional yang muncul selain damai dan perang. Karena itu pemikiran Hubungan Internasional berkembang dalam tahapan yang ditandai oleh perdebatan khusus antara kelompok-kelompok penstudi. Perdebatan besar pertama adalah utopian liberalisme dan realisme. Perdebatan besar kedua adalah pada metode antara pendekatan tradisional dan behavioralisme dan perdebatan besar ketiga adalah antara neorealisme/neolibrealisme dan neo-Marxisme dan yang keempat adalah antara tradisi yang mapan dengan alternatif-alternatif pospositivis. Pada perdebatan keempat tersebut diangkat isu-isu metodologi maupun isu-isu pokok. [1]
      Pospositivis merupakan paham yang luas, mencakup pandangan-pandangan metodologis yang berbeda yaitu terdiri dari beberapa teori dan salah satunya adalah teori kritis, teori kritis adalah sekelompok ilmuwan di Jerman yang dikenal dengan nama Mazhab Frankurt. Teori kritis dalam Hubungan Internasional cenderung mirip dengan asumsi yang dikemukakan oleh Marxisme utamanya dalam hal ekonomi politik internasional. Teoritisi kritis dalam Hubungan Internasional terkemuka adalah Robert Cox dan Andrew Linklater.[2]
      Pada dasarnya teori kritis menolak postulat dasar positivisme yaitu realitas eksterna yang obyektif, perbedaan subjek atau objek, dan ilmu sosial bebas nilai. Menurut teori kritis dunia sosial adalah sebuah konstruksi dan sistem internasional yang terbentuk selama ini merupakan suatu bentuk konstruksi dan negara-negara kuat yang berkuasa di dunia.
      Bagi teori kritis pengetahuan bukan dan tidak dapat netral baik secara moral maupun secara politik dan ideologi. Semua pengetahuan cenderung mencerminkan kepentingan dari para pengamat. Pengetahuan sadar atau tidak memiliki kecenderungan menuju kepentingan, nilai, kelompok, golongan, kelas, bangsa, dan lain sebagainya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa teori Hubungan Internasional cenderung bias. [3]
      Menurut Robert Cox sebuah teori selalu untuk seseorang dan untuk tujuan tertentu (theory is always for someone and some purposes). Robert Cox lalu membagi pandangannya menjadi dua hal yaitu perbedaan antara pengetahuan penyelesaian masalah (problem solving knowledge) dan pengetahuan emansipatori (emancipatory knowledge). Yang termasuk ke dalam pengetahuan penyelesaian masalah adalah teori-teori positivis.[4] Teori-teori positivis tersebut hanya untuk menjelaskan fenomena yang terjadi saat ini namun tidak dapat melakukan emansipasi seperti yang diperjuangkan oleh teori kritis.
Selain itu tidak ada teori yang objektif karena sebuah teori biasanya berangkat dari sebuah perspektif. Misalnya teori power yang mempunyai asumsi awal berdasarkan paradigma realis yang menyatakan bahwa dunia internasional adalah anarki dan setiap negara selalu mengejar kepentingannya melalui konflik. Hal ini membuat teori tersebut lebih bersifat subjektif.
Teori-teori yang telah ada tidak objektif juga karena para ilmuwan sosial dianggap sebagai instrumen kekuatan dan politik semata sehingga teori kritis berupaya untuk mengetahui kepentingan politis dari teori-teori yang ada tersebut. Nilai dari teori tersebut didasarkan pada nilai-nilai politis daripada nilai akademis sehingga perdebatan teori yang terjadi selama ini merupakan perdebatan yang penuh dengan muatan kepentingan politik.
Fokus utama teori kritis adalah pada kekuatan dan dominasi dunia secara umum. Jadi di sini teori kritis ingin mencoba mendobrak dominasi global yang ada selama ini dengan cara memahami kondisi yang menopang bentuk-bentuk dominasi dalam Hubungan Internasional tersebut. Tujuan utama teori kritis adalah ingin membebaskan kemanusiaan dan struktur ekonomi politik dunia yang dikendalikan oleh sebuah kekuatan hegemoni, seperti Amerika Serikat. Tak hanya itu, teori kritis juga berupaya untuk menciptakan suatu emansipasi dari struktur sosial global yang dianggap telah menciptakan kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang dan miskin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori kritis ini memiliki banyak kesamaan dengan EPI Marxis.
Jadi kontribusi utama dari teori kritis terhadap Hubungan Internasional adalah untuk memahami dan menganalisa bentuk-bentuk dominasi struktural dalam dunia internasional yang dianggap merugikan sebagian pihak. Selain itu teori kritis juga berupaya untuk mengetahui kepentingan politis tersembunyi dalam teori-teori dan perdebatan yang terjadi dalam Hubungan Internasional. Dengan demikian tujuan akhir dari teori kritis ini adalah untuk merobohkan sistem ekonomi politik dunia yang dinilai hanya menguntungkan kekuatan-kekuatan besar dalam sistem politik internasional melalui hegemoni yang dibuatnya.
Sebagai contoh untuk menjelaskan kontribusi teori kritis ini misalnya kritik terhadap paradigma liberalisme. Asumsi dasar kaum liberalis adalah setiap individu pada dasarnya baik dan mau bekerja sama. Dengan adanya kerjasama itu kemudian dapat menciptakan perdamaian. Begitupula yang terjadi dalam politik internasional, bila negara-negara di dunia mau bekerjasama dan tergabung dalam suatu wadah atau organisasi internasional maka perdamaian dunia dapat dicapai.
Selain itu menurut liberalisme, perang dapat dihindari jika negara-negara yang ada di dunia mampu membangun dan menyejahterakan rakyatnya. Menurut liberalisme, untuk dapat membangun dan menyejahterakan negara, negara tersebut harus menerapakan sistem free trade atau perdagangan bebas. Hal ini kemudian diadopsi oleh banyak negara berkembang di dunia.
Awalnya saat era berakhirnya Perang Dunia negara-negara berkembang tidak banyak berpartisipasi dalam sistem perdagangan multilateral atau perdagangan internasional. Negara-negara berkembang tersebut lebih memilih untuk menerapkan kebijakan proteksi dan meningkatkan campur tangan negara dalam perekonomian. Namun seiring berkembangnya keadaan dan bergabungnya negara berkembang ke dalam GATT, Negara tersebut akhirnya harus melakukan penyesuaian struktural sesuai kesepakatan GATT yaitu menerakan liberalisasi perdagangan. negara-negara berkembang tersebut akhirnya membuka pasar domestiknya terhadap perdagangan internasional.
Namun hal ini kemudian dianggap merugikan bagi negara berkembang karena ekspornya cenderung kalah saing dengan produk-produk yang dijual oleh negara maju. Selain itu negara maju secara sepihak melakukan proteksi terhadap pasar domestiknya sehingga produk dari negara berkembang sulit masuk ke pasar negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang tersebut harus membuka pasar dalam negerinya untuk menerapkan liberalisasi perdagangan sehinggap produk asing lebih mendominasi pasar dalam negeri. Akibatnya industri di negara-negara berkembang tersebut terancam.
Negara berkembang yang merasa dirugikan tersebut lalu berusaha membuat perubahan dalam sistem perdagangan internasional. Mereka ingin adanya mekanisme pembagian keuntungan yang adil antara negara maju dengan negara berkembang. Tahun 1964 dibentuk UCTAD (United Nations Conference On Trade And Development) yang memperjuangkan kepentingan negara berkembang dalam  perdagangan dunia. Setelah itu dibentuk kelompok G77 untuk memperjuangkan reformasi, yaitu mekanisme pengurangan peran GATT dalam perdagangan internasional dan distribusi pedapatan pada negara berkembang. Lalu dibentuk New International Economic Order (NIEO) yang ingin negara berkembang mempunyai kontrol terhadap MNC asing di negaranya, kemudahan akses teknologi, pengurangan utang luar negeri, dan peran lebih dalam World Bank dan IMF (International Monetary Fund). Namun ternyata NIEO juga gagal karena negara-negara anggota di dalamnya mempunyai kepentingan yang beragam dan mengalami krisis sehingga butuh bantuan dana dari IMF dan World Bank. 
Pinjaman dana dari IMF untuk negara-negara tersebut cenderung digunakan untuk konsumsi dalam negeri daripada untuk peningkatan ekspor dan untuk pembangunan yang lebih produktif. Sebagai syarat peminjaman dana dari IMF maka negara tersebut harus melakukan penyesuaian struktural sesuai permintaan IMF, yaitu melakukan peningkatan peran pasar daripada peran negara. Menurut IMF, pembangunan negara dapat dicapai apabila menerapkan konsep tadi.
Dari yang telah dijelaskan sebelumnya, asumsi dasar teori kritis adalah sebuah teori atau paradigm yang ada merupakan suatu bentuk kepentingan politis dari sebuah kekuatan besar. Hal ini terlihat dalam perspektif liberalisme yang dianggap sebagai sebuah cara untuk melestarikan kepentingan negara maju saja dan menindas negara kecil.
Adanya forum atau organisasi perdagangan internasional seperti GATT atau WTO memaksa negara-negara yang tergabung di dalamnya untuk mengikuti kesepakatan yang ada seperti menerapkan liberalisasi perdagangan yang dianggap merugikan negara berkembang. Begitu juga dengan adanya IMF dan World Bank yang membuat negara-negara yang memperoleh bantuannya harus melakukan penyesuaian structural seperti permintaan IMF dan World Bank. Akibatnya terjadi dependensia antara negara berkembang pada IMF dan negara tersebut terpaksa harus tetap menuruti kepentingan IMF apabila ingin tetap mendapat pinjaman dana. Pada akhirnya negara tersebut sulit maju karena menggunakan dana pinjaman untuk hal yang kurang produktif dan akan terus terbebani dengan hutang luar negeri. Selain itu kebijakan negara tersebut akan cenderung didikte oleh kepentingan IMF yang di dominasi oleh negara-negara maju.
 Aturan perdagangan internasional selama ini hanya menguntungkan negara maju sehingga negara berkembang tidak dapat bersaing. Selain itu ketergantungan negara berkembang pada IMF membuatnya harus melakukan penyesuaian struktural sesuai kepentingan IMF sehingga menghambat kemajuan negara berkembang. Dengan demikian sesuai asumsi teori kritis bahwa kemiskinan dan kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang terjadi karena struktur yang ada sulit diubah dan struktur yang ada tersebut merupakan bentuk hegemoni dari negara maju saja. Meski sudah berusaha untuk mengubah struktur yang ada negara berkembang tersebut rupanya masih saja gagal untuk menciptakan keadilan dan pemerataan pendapatan. Dengan demikian negara-negara berkembang tersebut akan tetap kesulitan untuk dapat menjadi negara maju karena terdapat sebuah struktur yang ada ternyata menghambat kemajuan itu sendiri.
Berdasarkan contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa kontribusi teori kritis dalam studi Hubungan Internasional adalah untuk memahami bahwa terdapat dominasi struktural yang tidak adil dalam Hubungan Internasional yang tercermin dalam kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang akibat dari penerapan liberalisasi perdagangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa liberalisme merupakan sebuah kepentingan politis atas negara-negara maju untuk terus dapat menindas negara kecil. Akibat dari struktur yang dibentuk oleh liberalisme ini negara miskin akan tetap miskin sementara negara kaya semakin kaya. Oleh karena itu teori kritis berupaya membongkar fenomena ini dengan harapan dapat menciptakan dunia politik internasional yang lebih baik dan adil. Untuk mewujudkan harapan tersebut teori kritis berupaya menentang segala bentuk hegemoni dan merobohkan sistem ekonomi politik dunia yang tidak adil tersebut melalui studi Hubungan Internasional.



[1] Robert Jackson dan George Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional . hal 84
[2] Ibid. hal 299
[3] Ibid,. hal 300
[4] Ibid,.hal 300

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share on :