Rabu, 14 November 2012

MARXISME

oleh: 
Muthi Fatihah (110910101005)
Jurusan Hubungan Internasional
UNEJ

Belum hilang dari ingatan kita tentang hal yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Mei lalu, yaitu Hari Buruh Sedunia atau yang biasa disebut May Day. Tiap tanggal 1 Mei kita dapat menyaksikan puluhan ribu pekerja turun ke jalan di kota-kota seluruh dunia untuk menandai Hari Buruh Internasional dan menyerukan perbaikan hak pekerja. Seperti di Asia, ribuan buruh berkumpul di ibukota Thailand, Bangladesh dan Indonesia untuk melakukan aksi demonstrasi yang diselenggarakan oleh serikat pekerja. Di Rusia, presiden yang baru terpilih Vladimir Putin, bergabung dengan puluhan ribu dalam pawai di Moskow. Presiden Rusia Dmitry Medvedev juga menghadiri rapat umum sementara para peserta pawai memegang spanduk besar yang mendukung serikat pekerja dan pabrik mereka. Ribuan pekerja Yunani diperkirakan akan menggelar protes penghematan anggaran sebagai bagian dari demonstrasi May Day di Athena Selasa. Di AS, pengunjuk rasa Occupy merencanakan demonstrasi di New York untuk memblokade sebuah jembatan besar dan menutup sebagian lembaga keuangan Wall Street.[1]
Aksi May Day ini telah menjadi aksi rutin tiap tahun yang dilakukan oleh para kaum pekerja untuk menuntut hak-hak mereka. Menurut sejarahnya sendiri, May Day memang lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis pada sistem ekonomi dan politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan AS. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja. Tanggal 1 Mei dipilih karena merujuk pada peristiwa Haymarket yang terjadi di AS pada 1 Mei 1886, yaitu saat sekitar 400.000 buruh di AS  mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei. Pada tanggal 4 Mei 1886, para demonstran melakukan pawai besar-besaran, polisi AS lalu menembak para demonstran hingga ratusan orang tewas, para pemimpin demonstrasi ditangkap dan dihukum mati. Kemudian, pada bulan Juli 1889  diadakan Kongres Sosialis Dunia di Paris untuk menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi berisi: Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis. Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890 inilah tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan May Day, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun sering mendapat tekanan keras dari pemerintah.[2]
Peristiwa May Day dan aksi-aksi para pekerja menuntut para pemilik modal untuk memperhatikan kesejahteraan dan hak-hak buruh ini kemudian mengingatkan kita dengan teori marxist yang dipopulerkan oleh Karl Marx (1818-1883). Adanya aksi-aksi buruh di seluruh dunia tersebut dapat membuktikan bahwa sistem kapitalisme yang mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi masih saja terjadi hingga saat ini. Pada kenyataannya efek kapitalisme menyebabkan orang yang kaya akan semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.
Pemikiran Marx berkembang dengan latar belakang adanya perubahan struktur ekonomi dan politik di eropa pada abad ke 19, yaitu terjadinya perubahan corak produksi menuju kapitalisme. Marx menganggap bahwa sistem ekonomi pada saat itu bersifat timpang dan eksploitatif.
Marx juga menitikberatkan teorinya pada perbedaan kelas, yaitu adanya kelas borjuis (pemilik modal) dan kaum proletar (pekerja) yang saling bertentangan. Kaum borjuis sebagai pemilik modal merupakan kelompok yang menguasai alat-alat produksi, sedangkan kaum proletar merupakan kaum buruh yang hanya memiliki kekuatan untuk bekerja yang kemudian ia jual pada kaum borjuis. Namun kenyataannya pendapatan yang diterima oleh buruh tidak sesuai dengan apa yang telah ia kerjakan, sementara kaum borjuis meraup keuntungan dari penjualan hasil produksi.
Namun posisi buruh lebih lemah daripada pemilik modal menyebabkan terjadinya  eksploitasi antara pemilik modal terhadap mereka. Situasi ini kemudian melahirkan solidaritas antar sesama pekerja untuk mengambil alih alat-alat produksi dari pemilik modal dan mengubah struktur produksi, yaitu dengan melakukan revolusi sosial.
Marxisme menganggap ekonomi dan politik merupakan dua hal yang sangat berkaitan, karena kaum borjuis yang mendominasi bidang ekonomi juga cenderung mendominasi dalam bidang politik. Hal itu kemudian menyebabkan negara tidak lagi otonom karena negara digerakkan oleh kepentingan kelas yang berkuasa yaitu kaum borjuis. Berarti konflik antar negara, termasuk perang seharusnya dilihat dakan konteks persaingan ekonomi antar negara, dan konflik kelas lebih mendasar daripada konflik antar negara.
Selain itu kapitalisme juga bersifat ekspansif yaitu cenderung untuk memperluas pasar untuk menjual hasil produksinya. Awalnya bentuk ekspansi terjadi dalam bentuk imperialisme dan kolonialisme, tetapi hingga saat ini imperialisme masih berlanjut walaupun negara jajahan sudah merdeka, yaitu melalui globalisasi ekonomi, misalnya berkembangnya perusahaan multinasional (MNC) di negara-negara berkembang yang mengakibatkan suatu eksploitasi terhadap negara berkembang oleh negara maju.
Dari penjelasan tentang marxisme tadi dapat didapat beberapa poin penting sebagai berikut:
1.      perekonomian adalah tempat eksploitasi dan perbedaan antar kelas, yaitu kelas borjuis (pemilik modal) dengan proletar (buruh).
2.      kehidupan politik sebagian besar ditentukan oleh konteks sosial ekonomi. Kelas sosial yang dominan juga cenderung akan dominan dalam bidang politik, ini artinya kaum borjuis juga berkuasa dalam politik
3.      pembangunan kapitalis global yang tidak seimbang mengakibatkan krisis antar negara dan antar kelas.[3]
Dalam hubungan internasional, marxisme merupakan dasar terbentuknya negara sosialis-komunis yang melakukan sentralisasi kekuasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu dengan membatasi peran individu (swasta) dan alat serta faktor produksi dikuasai negara dalam rangka mewujudkan peniadaan kelas sosial.
Dalam konteks globalisasi, kesenjangan antara kaum borjuis dan proletar terlihat dengan adanya eksploitasi antara negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang, misalnya dalam hal sumber daya alam, atau menjadikan negara berkembang sebagai pasar bagi negara-negara industri maju. Misalnya berdirinya Freeport milik AS yang melakukan penambangan dan AS mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada Indonesia yang merupakan pemilik SDA, ataupun berdirinya perusahaan minyak asing seperti Shell yang juga memperoleh minyaknya dari Indonesia. Dalam hal pasar, Indonesia merupakan sasaran utama dari negara industri untuk menjual hasil produksinya, misalnya alat-alat elektronik, alat transportasi, bahkan hingga ke makanan, minuman, buah-buahan, semua merupakan produksi luar negeri, akibatnya produksi dalam negeri kalah saing dan hanya menguntungkan pengusaha asing saja.
 Pada dasarnya, eksploitasi tersebut dapat dilakukan secara frontal atau tindakan langsung berupa aksi militer, penjajahan, atau kolonialisme terhadap suatu negara. Sedangkan eksploitasi secara terselubung dapat berupa kerjasama antarnegara, ataupun adanya aliran modal asing bagi negara-negara berkembang yang biasanya diikuti oleh adanya kepentingan asing yang turut mempengaruhi negara-negara berkembang tersebut.
Dalam sistem internasional, marxisme telah membawa pengaruh kuat dalam perekonomian dunia, dimana kesetaraan dan kebebasan setiap elemen masyarakat mutlak dijunjung tinggi. Sebenarnya yang menjadi agenda utama dari marxisme ialah adanya pemahaman terhadap komunitas sosialis untuk menghilangkan eksploitasi dan kesenjangan antar kelas. Dalam hal ini, baik kaum borjuis maupun proletar harus mampu bekerjasama demi tercapainya perdamaian dan strabilitas keamanan internasional. Dalam upaya menegakkan perdamaian dan stabilitas keamanan internasional, teori marxisme ini mengedepankan adanya penghapusan kelas. Jika kelas tersebut dihapuskan, maka tidak akan ada lagi konflik antar kelas yang terjadi. Karena pembentukan kelas, menurut marxisme, merupakan faktor utama yang memicu terjadinya konflik.[4]



DAFTAR BACAAN
Buku
Jackson, Robert. Sorensen, Georg. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Internet
VOA Indonesia. Dunia Peringati Hari Buruh Sedunia 2012. Dari www.voaindonesia.com diakses pada 20 Oktober 2012

Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. Sejarah Hari Buruh. Dari http://id.wikipedia.org diakses pada 20 Oktober 2012

Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. Marxisme. Dari http://id.wikipedia.org diakses pada 20 Oktober 2012

Putri, Dinar Prisca. 2010. Teori Hubungan Internasional: Marxisme Dan Neo-Marxisme. Dari http://dinaprisca.blogspot.com  diakses 14 oktober 2012



[1] Dikutip dari Dunia Peringati Hari Buruh Sedunia 2012. Diakses dari www.voaindonesia.com
[2] Wikipedia. Sejarah Hari Buruh. Diakses dari http://id.wikipedia.org
[3] Jackson,Robert.Sorensen,Georg. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. hal 243
[4] Dikutip dari Teori Hubungan Internasional: Marxisme Dan Neo-Marxisme. Dari http://dinaprisca.blogspot.com diakses 14 oktober 2012

Kamis, 25 Oktober 2012

PERAN MODAL SOSIAL DALAM PENDIDIKAN DAN GOOD GOVERNANCE DALAM MENGATASI ANARKISME PELAJAR


Oleh :
Muthi Fatihah
NIM. 110910101005

1.      Pendahuluan
Akhir-akhir ini pemberitaan media massa diramaikan oleh adanya peristiwa tawuran antar pelajar yang memakan korban jiwa. Hanya dalam satu tahun, sejumlah 13 pelajar di Jabodetabek tewas mengenaskan, salah satunya adalah siswa SMAN 6 Jakarta yang tewas akibat senjata tajam[1].
            Tak hanya terjadi di kalangan pelajar SMA atau SMP saja, dikalangan mahasiswa sendiri tindakan anarkisme juga sudah tidak asing lagi. Beberapa kali terdapat pemberitaan di media tentang adanya bentrokan antar mahasiswa, salah satunya yang pernah terjadi di Makassar, tepatnya di Universitas Negeri Makassar (UNM), terjadi bentrokan antar fakultas. Puluhan mahasiswa Fakultas Seni dan Desain (FSD) menyerang Fakultas Teknik UNM, di Makassar[2]. Selain bentrokan antar fakultas, para mahasiswa sendiri seringkali melakukan tindakan anarki saat melakukan demonstrasi dan cukup meresahkan masyarakat.
            Ini sungguh miris, para pemuda yang merupaka generasi penerus bangsa yang diharapkan bisa memberikan perubahan dan membangun negara ini ke arah yang lebih justru tumbuh sebagai generasi anarkis, menimbulkan korban jiwa dan meresahkan masyarakat.
            Tujuan pendidikan nasional sendiri seperti yang tercantum dalam UU No. 20, Tahun 2003 pasal 3 tentang pendidikan disebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab[3].
            Dari penjelasan UU tadi dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan tidak hanya untuk mencerdaskan bangsa tapi juga untuk membentuk manusia yang bermartabat. Tapi dalam kenyataannya perilaku brutal dan anarkis yang dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa masih saja sulit dihindari. Masalah ini kemudian menjadi masalah kolektif, karena tak hanya melibatkan murid secara individu, tapi juga orang tua, guru, sekolah, bahkan juga pemerintah, sehingga dalam kasus ini modal sosial sepertinya sangat dibutuhkan dalam rangka membentuk karakter para pelajar dan mahasiswa dan mencegah permasalahan semacam ini agar tidak terulang kembali. Tak hanya modal sosial yang dibutuhkan di sini, tapi juga konsep good gevernance, yaitu suatu sinergi antara pemerintah dan masyarakat.

2.      Definisi Modal Sosial
Apa itu modal sosial? Konsep modal sosial adalah suatu ikatan sosial antar manusia di dalam sebuah masyarakat yang sangat penting untuk membentuk kohesivitas sosial dalam mencapai tujuan masyarakat. Dengan kata lain modal sosial adalah suatu kekuatan untuk mencapai tujuan hidup bersama yang tidak mungkin dicapai secara personal.
             Dalam definisi lain, modal sosial merupakan bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi dengan tindakan-tindakan yang terkoordinasi, atau suatu kemampuan masyarakat untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama dalam berbagai komunitas.
            Manusia merupakan mahluk sosial yang pasti memerlukankan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sedari lahir hingga mati. Manusia mampu untuk hidup mandiri, namun bukan berarti hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia juga dituntut untuk hidup harmonis dengan masyarakat sekita dan beradaptasi dengan lingkungannya.
            Contoh dari modal sosial yang melekat dalam masyarakat misalnya kebersamaan, solidaritas, toleransi, semangat bekerjasama, kemampuan berempati, dan lain sebagainya. Tidak adanya modal sosial itu dikhawatirkan akan mengancam kehidupan bersama yang seharusnya berjalan dengan harmonis, seperti banyaknya konflik akhir-akhir ini. Masalah-masalah kolektif juga akan sulit untuk diselesaikan tanpa adanya modal sosial ini.

3.      Peran Modal Sosial dalam Pendidikan
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, masalah anarkisme yang dilakukan oleh pelajar dan juga mahasiswa kini telah menjadi masalah kolektif. Faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya tawuran antar pelajar tersebut antara lain faktor internal, atau faktor psikologis. Faktor psikologis tersebut antara lain karena terjadinya masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa, ataupun adanya perasaan ingin diakui, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal dapat berupa pengaruh buruk dari lingkungan atau teman, dan juga adanya kebencian yang diwariskan secara turun temurun oleh senior pada juniornya.
            Namun, masalah tersebut tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab individu-individu yang terlibat dalam tawuran tersebut, tapi juga menjadi tanggung jawab orang tua, para pengajar, polisi, juga pemerintah. Lalu bagaimana modal sosial ini dapat mengatasi masalah ini, utamanya dalam hal ini adalah modal sosial pendidikan .
            Modal sosial pendidikan muncul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam komunitas pendidikan, misalnya antara guru dan murid. Adanya interaksi, yaitu berupa komunikasi dan kerja sama pada dasarnya dipengaruhi oleh keinginan untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial yang didapat dari sekolah antara lain[4]:
1.      Hubungan sosial, yaitu komunikasi antar individu dalam hidup berdampingan sehingga terciptalah kepedulian antar sesama manusia.
2.      Toleransi, yaitu kemampuan untuk menghargai orang lain, baik pendapat, atau dalam hal perbuatan.
3.      Mau mendengar, yaitu kemampuan untuk mau mendengarkan pendapat orang lain sangat penting untuk diterima murid sehingga ia tidak hanya mementingkan pemikirannya sendiri tapi juga mau menerima pemikiran orang lain. Kemauan untuk mendengar ini erat kaitannya dengan budaya demokrasi. Di sekolah misalnya kemampuan untuk mau mendengar ini bisa didapat dari diskusi-diskusi kelas, di mana murid-murid yang terlibat saling mengemukakan pendapatnya.
4.      Kearifan dan pengetahuan lokal, yaitu pengetahuan yang berkembang di masyarakat sebagai pendukung nilai-nilai dan norma yang telah ada.
5.      Kepemilikan bersama dan kesetiaan, yaitu perasaan ikut memiliki dan menjadi bagian dari kelompok.  
6.      Tanggung jawab sosial, yaitu adanya rasa empati terhadap lingkungan. Adanya tanggung jawab sosial ini diharapkan siswa bisa berpikir rasional tentang apa saja konsekuensi dari perbuatannya terhadap diri sendiri, masyarakat, juga lingkungannya.
      Dalam hubungannya dengan good goverance yaitu berupa peran pemerintah dalam mengatasi anarkisme pelajar . Peran tersebut antara lain dengan cara memberi sanksi kepada sekolah-sekolah yang terlibat tawuran, yaitu dengan cara menurunkan status sekolah, misalnya sekolah dengan status RSBI diturunkan menjadi sekolah biasa. Selain itu sanksi juga dapat diberikan untuk manajemen sekolah seperti Kepala Sekolah, guru, komite sekolah, dan orang tua.
      Begitu juga dengan sanksi untuk para pelaku tawuran. Walaupun mereka masih di bawah umur mereka tetap layak mendapatkan sanksi karena tindakan mereka merupakan suatu bentuk kriminalitas. Kepolisian juga seharusnya berupaya untuk mencegah terjadinya hal-hal seperti itu juga secepatnya dapat menghentikan perkelahian yang terjadi, karena selama ini terdapat kesan bahwa adanya pembiaran dari pihak kepolisian. Selain itu bisa juga dilakukan razia-razia senjata tajam secara berkala untuk mencegah terjadinya tawuran tersebut.  
 
4.      Kesimpulan
Adanya anarkisme yang dilakukan oleh pelajar merupakan suatu masalah yang kompleks dan sampai saat ini masih sulit dicegah. Untuk mencegah agar tawuran tersebut diperlukan modal sosial yang kuat dari sektor pendidikan, yang dalam hal ini sekolah, agar bisa semakin membentuk karakter para peserta didiknya agar tidak hanya cerdas tapi juga beradab. Selain itu, karena masalah ini merupakan masalah kolektif, maka diperlurkan sinergi antara pemerintah dengan para komunitas pendidikan. Pemerintah diharapkan memberlakukan sanksi yang tegas pada sekolah-sekolah, ataupun universitas yang terlibat tawuran, sehingga lembaga pendidikan yang ada dapat terpacu untuk semakin protektif terhadap peserta didiknya.


[1] Kompas, 26 September 2012. Pelaku Harus Dipidanakan: Beri Sanksi Juga Jajaran Manajemen Sekolah. Hal 1
[2] Asdhiana, I Made. 2008. Tawuran Antar Mahasiswa UNM Kembali Pecah. (www.kompas.com)
[3] Jati, Roko Patria.2012.Tujuan Pendidikan (Nasional dan UNESCO). (www.kompasiana.com)

[4] Setyawan, Fendik. 2012. Modal Sosial Pendidikan Di Indonesia. (www.imadklius.com)

PEMANFAATAN SAMPAH KERTAS MENJADI BARANG KERAJINAN

oleh: Muthi Fatihah, Diapermata Singgih, Siti Rozalia A, Silvia Yosephine       
Latar Belakang
            Sampah merupakan masalah lingkungan maupun sosial yang selama ini kurang mendapat perhatian serius dari masyarakatnya. Sampah tersebar di berbagai tempat. Banyak tempat yang dijadikan oleh masyarakat sebagai pembuangan sampah. Tempat-tempat tersebut seperti sungai, selokan, dan di pesisir laut. Tumpukan sampah yang ada tidak dikelola dengan baik sehingga akan berakibat pada masalah lingkungan seperti polusi udara, polusi air, dan polusi tanah.
            Sampah terdiri atas dua macam yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik seperti sisa makanan, kotoran hewan dan berbagai macam daun sedangkan sampah anorganik seperti besi, plastik, gabus dan kertas. Sampah organik dapat dihancurkan dan dekomposisi di tanah. Namun yang menjadi permasalahan adalah sampah anorganik yang tidak dapat berdekomposisi dengan tanah.
            Kertas merupakan contoh dari sampah anorganik yang tidak dapat terurai dengan sendirinya. Sampah kertas banyak di lingkungan lembaga pendidikan, perkantoran, maupun rumah tangga. Sampah kertas hanya dibiarkan menumpuk tanpa di daur ulang atau hanya dikumpulkan pada pengepul barang bekas. Kemudian hasil yang dikumpulkan di pengepul ini tetap sebagai bahan utuh seperti koran yang digunakan sebagai pembungkus makanan dan bahan pokok di pasar.
            Sampah kertas yang dihasilkan di berbagai tempat ini berakibat pada rusaknya lingkungan alam. Hal ini yang memunculkan ide untuk mengolah sampah kertas lebih lanjut. Selain berdampak pada lingkungan juga akan berdampak pada sosiologi dan pembangunan pada masyarakat




1.         Pendahuluan
            Kertas[1] adalah suatu bahan yang tipis dan rata yang dihasilkan oleh kompresi serat yang berasal dari pulp. Pulp[2] berasal dari serat tumbuhan seperti kayu, bambu, padi, dan tumbuhan lain yang mengandung serat, tetapi pada umumnya yang sering digunakan untuk bahan baku kertas adalah kayu. Penciptaan kertas pada masa lalu merupakan suatu perubahan besar bagi kehidupan, khususnya bagi dunia tulis menulis yang turut mempengaruhi peradaban dunia.
            Seiring dengan berjalannya waktu, kertas tak hanya digunakan untuk menulis saja. Kertas kini telah menjadi bagian dari kehidupan manusia yang mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan hampir di setiap aktivitas manusia selalu membutuhkan kertas, seperti sebagai pembungkus makanan, tas belanja, tissue, sarana untuk menulis, melukis, mencetak buku, kalender, koran, pamflet, dan lain-lain.
            Dalam jangka panjang, aktivitas-aktivitas tersebut dapat menghasilkan banyak kertas yang tidak terpakai dan akan menumpuk dengan percuma. Sampah kertas kemudian menjadi salah satu penyumbang sampah yang jumlahnya cukup banyak. Bahkan saat ini, jumlah sampah kertas dan produk turunannya meliputi 25% dari seluruh sampah yang ada di pembuangan sampah.[3] Padahal kertas merupakan jenis sampah anorganik yang tidak bisa dihancurkan oleh organisme dan mengandung bahan-bahan kimia sebagai campurannya, seperti sulfat dan chlorin.
            Sebagian orang mungkin hanya akan membuang begitu saja kertas yang tidak ia gunakan lagi, dan sebagian orang lainnya menjual kertas-kertas bekasnya pada pengepul barang bekas. Oleh para pengepul kertas-kertas tersebut memang ada yang  dijual lagi untuk didaur ulang pabrik kertas dan menjadi kertas baru, atau ada juga daur ulang kertas untuk kerajinan tangan, namun sebagian lainnya, seperti kertas koran bekas misalnya, mereka jual lagi pada pedagang sebagai pembungkus barang dagangannya, yang pada akhirnya juga dibuang percuma dan menjadi sampah lagi.
            Lagipula kertas-kertas bekas tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan bila digunakan sebagai pembungkus makanan, selain karena kertas itu sendiri sudah tidak hiegenis, juga yang mengandung banyak tinta seperti kertas koran, ternyata mengandung timbal yang berbahaya jika masuk ke tubuh manusia.  
            Bagi seorang pelajar ataupun mahasiswa, kertas juga telah menjadi kebutuhan pokok yang sulit tergantikan. Mahasiswa pasti banyak membutuhkan kertas untuk kegiatan tulis menulis, mencatat, juga mengerjakan tugas kuliah yang tidak sedikit membutuhkan kertas. Namun akhirnya kertas-kertas itu banyak yang terbuang percuma karena sudah tidak terpakai lagi, padahal masih bisa dimanfaatkan jika kita kreatif dalam mengolahnya.
            Dari permasalahan yang telah diuraikan di atas, kemudian muncul sebuah ide untuk bisa mendaur ulang sendiri kertas-kertas itu menjadi produk yang lebih berguna, yang diharapkan dapat mengurangi sampah sehingga dapat mewujudkan lingkungan yang lebih baik. Apalagi sebagai mahasiswa yang banyak menghasilkan sampah kertas, untuk mendapatkan kertas-kertas bekas sangatlah mudah. Selain itu penerapan ide untuk mendaur ulang kertas ini merupakan realisasi dari sedikit keterampilan yang kami dapat dari sekolah dulu, yang kami rasa bisa berguna tidak hanya bagi kami saja, tapi juga bagi lingkungan sosial pada umumnya, yaitu dengan membantu mengurangi sampah kertas.       
2.           Dampak
Dampak yang ditimbulkan akibat sampah kertas:
            Sampah yang berupa kertas memiliki berbagai dampak di lingkungan yang berakibat pada permasalahan sosial di masyarakat. Beberapa dampak negatif akibat penumpukan sampah seperti gangguan kesehatan,  menurunnya kualitas lingkungan, menurunnya estetika lingkungan dan menghambat pada pembangunan negara. Dampak yang ditimbulkan inilah yang mendorong agar manusia lebih memperhatikan keadaan lingkungan sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan.
Dampak adanya penumpukan sampah kertas diantaranya adalah:
1.      Gangguan Kesehatan.
Tumpukan sampah yang banyak menandakan banyaknya limbah yang tersebar. Limbah ini akan berdampak pada kesehatan manusia seperti penyakit menular yang berasal dari tikus yang akan menyebarkan infeksi.
2.      Menurunnya kualitas lingkungan.
Tanah yang pada awalnya meiliki kesuburan yang tinggi menjadi tidak subur lagi jika tumpukan sampah dibiarkan berserakan di tanah yang subur.
3.      Menurunnya estetika lingkungan
Timbulan sampah yang bau, kotor dan berserakan akan menjadikan lingkungan tidak indah untuk dipandang mata. Keindahan menjadi penting dan berdampak pada masyarakat seperti nilai keindahan yang dimiliki oleh masyarakat terhadap sesuatu akan berkurang.
4.      Terhambatnya pembangunan negara
Dengan menurunnya kualitas dan estetika lingkungan, mengakibatkan pengunjung atau wisatawan enggan untuk mengunjungi daerah wisata tersebut karena merasa tidak nyaman, dan daerah wisata tersebut menjadi tidak menarik untuk dikunjungi. Akibatnya jumlah kunjungan wisatawan menurun, yang berarti devisa negara juga menurun.[4]
Dampak yang ditimbulkan akibat pengelolaan sampah kertas:
1.      Dampak lingkungan
Sampah merupakan salah satu masalah bagi masyarakat pada umumnya. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat penumpukan sampah menjadi maslah yang serius pada lingkungan. Sampah kertas sulit terurai dalam tanah sehingga pengelolaan sampah menjadi penting. Sampah yang menumpuk diakibatkan oleh produksi yang menggunakan kertas. Lingkungan lembaga pendidikan merupakan lembaga yang dekat dengan “kertas”. Mulai dari kertas HVS sampai koran maupun karton. Jika sampah-sampah ini dapat dikelola kembali maka lingkungan hidup menjadi lebih baik. Tanah yang subur akan tetap subur jika tidak ada lagi sampah kertas yang membebaninya. Ekosistem pada lingkungan akan terjaga dengan baik. Nilai keindahan juga akan meningkat jika sampah tidak lagi bertebaran di sembarang tempat. Usaha foto copy merupakan industri yang dekat dengan sampah kertas. Dengan adanya usaha pengelolaan kertas menjadi barang yang lebih berguna seperti vas bunga maupun gucci akan berdampak baik bagi lingkungan.
2.      Dampak Ekonomi
Pengelolaan sampah kertas menjadi benda yang lebih berguna seperti vas bunga dan gucci akan memiliki nilai ekonomi. Barang-barang hasil pengelolaan sampah kertas ini dapat didistribusikan serta dipasarkan kepada masyarakat. Sampah kertas yang dianggap tidak memiliki kegunaan lagi jika dikelola dengan baik akan berdampak ekonomi bagi masyarakat luas.
3.      Dampak sosial
Pengelolaan sampah kertas dapat dilakukan secara bersama dengan masyarakat sekitar. Melalui kerjasama yang dibangun akan membentuk hubungan masyarakat yang baik pula. Usaha foto copy dapat menyalurkan sampah kertasnya pada industri pengelolaan sampah kertas tetapi tidak hanya usaha foto copy saja, seluruh masyarakat dapat menyalurkan sampah kertasnya pula. Setelah sampah terkumpul maka industri pengelolaan akan melakukan tahap berikutnya yaitu merubah sampah kertas menjadi kerajinan tangan. Usaha ini dilakukan dengan bantuan masyarakat sehingga ketika semua komponen saling bekerja maka terbentuklah hubungan yang baik dan kerjasama diantara masyarakat itu sendiri. Damapk lain yang ditimbulkan adalah terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat dicapai.
4.      Dampak Pembangunan
Usaha baru yang dibuka untuk pengelolaan sampah ini akan membuka kesempatan kerja baru di lingkungan masyarakat sekitar. Lapangan kerja baru terbuka bagi masyarakat sekitar. Masyarakat yang pada awalnya tidak memiliki pekerjaan memiliki kesempatan untuk menjadi pekerja di industri pengelolaan sampah kertas. Kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Masyarakat yang awalnya tidak memiliki penghasilan untuk dirinya sendiri maupun lingkungan sekitar menjadi seseorang yang memiliki penghasilan untuk menghidupi dirinya maupun orang yang berada di sekitarnya. Jumlah pengangguran akan berkurang terlihat dari terserapnya tenaga kerja yang terampil dan siap untuk dipekerjakan di industri pengelolaan sampah kertas.

3.         Pembuatan Kerajinan dari Kertas Bekas
Bahan :
- Kertas bekas (koran, kertas sisa fotocopy, kertas bekas lainnya)
- Lem kayu
- Air
- Cutter
- Benda yang dijadikan cetakan (dijadikan contoh pola), seperti gentong,   vas bunga, patungm dan sebagainya.
- Wadah tempat lem kayu
Cara Pembuatan:
1. Kertas bekas yang ingin digunakan dipotong (disobek) menjadi ukuran sedang ataupun kecil. (Sesuai dengan selera).
2. Lem kayu diletakkan dalam wadah, kemudian diberi air, dan diaduk hingga menyatu. Hal ini diperuntukkan agar menghemat lem, kemudian agar lebih menempel pada kertas bekas.
3. Siapkan benda yang ingin dijadikan cetakan, (seperti gentong, vas bunga, patung, dst.) .
4. Kemudian kertas yang sudah disobek (dipotong menjadi ukuran sedang atau kecil) di celupkan ke dalam wadah larutan lem kayu, pastikan kertas tersebut terkena lem dengan rata, kemudian tempelkan kertas tersebut ke bagian luar dan bagian bawah benda cetakan (seperti gentong, vas bunga, patung, dst.) . Lakukan hal ini berulang-ulang hingga seluruh bagian terlapisi dengan kertas bekas tadi dan membentuk lapisan-lapisan. Dan tunggu hingga kering.
5. Setelah kertas bekas yang dilapisi lem membentuk lapisan yang cukup tebal di bagian luar cetakan dan benar-benar kering, kemudian buat sayatan di salah satu sisi lapisan kertas bekas tersebut. Sayatan itu ditujukan agar cetakan tersebut dapat dikeluarkan dari dalam lapisan kertas bekas tadi. Pastikan agar lapisan kertas yang siap disayat itu memiliki ketebalan yang tidak begitu tipis dan juga tidak begitu tebal.
6. Setelah lapisan kertas bekas tersebut disayat dan cetakan dikeluarkan, satukan kembali bekas sayatan-sayatan pada lapisan kertas yang sudah membentuk seperti cetakan yang diinginkan yaitu dengan merekatkan kembali bagian yang terpisah akibat sayatan. Kemudian lapisi kembali dengan kertas bekas yang telah dicelupkan ke dalam larutan lem.
7. Terus lapisi lapisan kertas dengan menempelkan kertas bekas yang disobek dan dicelupkan ke dalam larutan kayu hingga lapisan kertas bekas hasil cetakan tersebut memiliki ketebalan yang hampir sama dengan benda cetakan aslinya atau setidaknya benda tersebut cukup kokoh.
8. Jika telah mencapai ketebalan yang diinginkan, kemudian biarkan  hingga larutan lem kayu mengering.
9. Setelah kering, kita dapat menghias bagian luarnya agar tampak menarik sesuai dengan kreativitas kita, seperti mengecatnya dan menghiasnya sesuai dengan apa yang kita inginkan.
4.         Kesimpulan
            Sampah merupakan suatu bahan yang dibuang atau terbuang sebagai hasil dari aktivitas manusia maupun hasil aktivitas alam. Secara garis besar, sampah dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sampah organik dan anorganik. Yang menjadi masalah adalah sampah anorganik yang tidak dapat berdekomposisi dengan tanah seperti contohnya kertas.
            Kertas merupakan bahan yang sering digunakan sehari-hari yang sering dijumpai di lembaga pendidikan, perkantoran maupun rumah tangga. Karena sering digunakan setiap harinya, banyak juga kertas-kertas yang tidak terpakai lagi. Kertas-kertas ini akan menumpuk dan menjadi sampah.
            Kalau mendengar hal ini pasti yang terpikirkan adalah dampak negatifnya. Memang banyak sekali dampak negatif dari sampah kertas ini baik dari gangguan kesehatan, rusaknya lingkungan sosial sampai menghambat pembangunan negara. Tetapi kalau sampah kertas ini dapat diolah dengan sebaik-baiknya, akan meminimalisir dampak negatif dari sampah kertas tersebut. Tidak hanya itu, sampah kertas ini jika diolah dapat mempunyai dampak positif.
Salah satu cara untuk mengolah sampah kertas sehingga mendapatkan dampak positif tersebut adalah dengan cara membuat kerajinan tangan yang cantik yaitu  membuat vas bunga, gucci, patung dan lain sebagainya. Dengan bahan yang mudah ditemukan dan murah dan dengan cara pengolahan yang mudah dapat memberikan dampak positif pada kertas sampah tersebut, yaitu dalam lingkungan hidup akan terjaga lebih baik lagi, meningkatnya ekonomi karena sampah kertas yang berupa vas bunga, patung dan gucci ini juga dapat diperjual-belikan, meningkatnya hubungan sosial masyarakat yang baik karena dalam mengolah sampah kertas ini membutuhkan kerjasama orang banyak, pembangunan negara juga akan terlihat semakin meningkat karena pengangguran semakin sedikit. Ini disebabkan industri pengolahan sampah kertas membuka lapangan pekerjaan agar hasil dari sampah kertas tersebut semakin optimal. Dan para pengangguran yang akhirnya mendapat pekerjaan ini akan mendapatkan gaji. Sehingga kesejahteraan masyarakat akan tercapai.


[4]http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/info_5_1_0604/isi_4.htm pada       tanggal 20 september 2012              

VISI DALAM MENGATASI MASALAH PENGELOLAAN SAMPAH DI INDONESIA


Salah satu permasalahan lingkungan yang paling dekat dengan kehidupan kita sehari-hari adalah masalah pengelolaan sampah. Permasalahan sampah kini telah berkembang menjadi salah satu masalah publik serius dan sangat penting untuk segera diselesaikan.
            Di Indonesia, produksi sampah yang besar baik dari penduduk maupun sampah dari industri tidak diimbangi dengan pengelolaan sampah yang baik. Sampah-sampah yang dihasilkan tersebut kebanyakan tidak dikelola dengan baik sehingga akibatnya sering kita temui tumpukan sampah yang menggunung di pinggir jalan, mengotori selokan atau saluran air, dan lebih banyak lagi yang mencemari sungai, juga menimbulkan penyakit.
            Sampah-sampah itulah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir di kota-kota besar karena menghambat saluran air yang ada sehingga air hujan yang seharusnya bisa ditampung meluap hingga menggenangi jalan raya, hampir di setiap hujan deras.
            Faktor-faktor yang menyebabkan buruknya pengelolaan sampah di Indonesia antara lain karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Masyarakat sudah sangat terbiasa membuang sampah-sampahnya ke sungai tanpa peduli bahwa itu akan menimbulkan polusi. Ketidakdisiplinan masyarakat dalam membuang sampah juga seing terjadi di mana saja, seperti di tempat umum atau di jalan raya, seolah-olah masyarakat tidak peduli bahwa perilakunya membuat lingkungan menjadi tidak sedap dipandang. Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara lain yang masyarakatnya punya kesadaran tinggi tentang menjaga lingkungannya, sehingga tempat-tempat umum di sana selalu terlihat rapi dan bersih.
            Faktor lainnya adalah kurangnya fasilitas kebersihan yang seharusnya tersedia, misalnya di tempat-tempat umum ataupun di pinggir jalan. Hal ini kemudian menjadi alasan bagi masyarakat untuk membuang sampah sesuka hatinya karena tidak menemukan tempat sampah.
            Kemudian kurangnya peran pemerintah dalam menangani masalah ini juga menjadi salah satu faktor. Sebenarnya pemerintah sudah mempunya aturan tentang pengelolaan sampah, seperti UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah dan Permendagri No 33 Tahun 2010 tentang pengelolaan persampahan. Namun realita yang terjadi aturan-aturan ini tidak banyak merubah keadaan. Pencemaran sungai dan laut akibat sampah, sampah yang berserakan di tempat-tempat umum, dan lain sebagainya sepertinya tidak berkurang.
            Kemampuan Pemerintah dalam menangani sampah masih sangat terbatas. Secara Nasional, dari tahun 2000 sampai 2005, tingkat pelayanan baru mencapai 40 % dari volume sampah yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang tinggi  menyebabkan semakin tingginya volume sampah yang harus dikelola setiap hari sehingga bertambah sulit karena semakin besar beban yang harus ditangani.
            Sebenarnya masalah sampah adalah masalah semua negara yang ada di dunia, termasuk negara-negara maju. Namun negara-negara maju tersebut telah menemukan terobosan yang tepat dalam mengelola sampah dan masyarakatnya sudah mempunya kesadaran yang tinggi.
            Namun keberhasilan negara maju dalam mengelola sampahnya tidak terjadi begitu saja. Sampai dengan abad ke-17 penduduk Belanda ternyata juga melempar sampah di mana saja sesuka hati. Di abad berikutnya saat sampah mulai menimbulkan penyakit, pemerintah Belanda lalu menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah. Di abad ke-19, sampah masih tetap dikumpulkan di tempat tertentu dengan petugas pemerintah daerah yang datang mengambilnya dari rumah-rumah penduduk. Di abad ke-20 sampah yang terkumpul tidak lagi dibiarkan tertimbun sampai membusuk, tapi dibakar. Kondisi pengelolaan sampah di Belanda saat itu kira-kira sama seperti di Indonesia saat ini.[1]
            Begitu juga dengan yang terjadi di Jepang. Sekitar 20 tahun lalu, orang Jepang belum melakukan pemilahan sampah. Di tahun 1960 dan 1970-an, kepedulian orang Jepang pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah masih rendah. Saat-saat itu, Jepang baru bangkit menjadi negara industri, sehingga masalah lingkungan hidup tidak terlalu mereka pedulikan. Akibat tumbuhnya industri tersebut terjadi banyak kasus polusi, pencemaran lingkungan, dan keracunan. Baru pada pertengahan 1970-an mulai bangkit gerakan masyarakat peduli lingkungan atau “chonaikai” di berbagai kota di Jepang. Masyarakat menggalang kesadaran warga tentang cara membuang sampah, dan memilah-milah sampah, sehingga memudahkan dalam pengolahannya dengan menyosialisasikan tema 3R atau Reduce, Reuse, and Recycle.   Meski gerakan peduli lingkungan di masyarakat berkembang pesat, pemerintah Jepang belum memiliki Undang-undang yang mengatur pengolahan sampah karena saat itu urusan lingkungan belum menjadi prioritas. Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah melihat perkembangan yang positif dan dukungan besar dari seluruh masyarakat Jepang, Undang-undang mengenai pengolahan sampah diloloskan Parlemen Jepang Bulan Juni 2000.[2]
            Dalam membuang sampah, masyarakat Jepang selalu memilah sampahnya terlebih dahulu. Pemerintah Kota di sana telah menyiapkan dua buah kantong plastik besar dengan warna berbeda, hijau dan merah. Pada beberapa kategori lainnya, yaitu botol PET, botol beling, kaleng, baterai, barang pecah belah, sampah besar dan elektronik yang masing-masing memiliki cara pengelolaan dan jadwal pembuangan berbeda.
            Selain pengelolaan sampah di rumah, tempat umum seperti supermarket  juga menyediakan kotak-kotak sampah untuk tujuan recycle. Kotak-kotak tersebut disusun berderet berderet di dekat pintu masuk, kotak untuk botol beling, kaleng, botol PET masing-masing disendirikan. Bahkan di beberapa supermarket tersedia untuk kemasan susu dan jus yang terbuat dari kertas. Proses daur ulang itu pun sebagian besar dikelola perusahaan produk yang bersangkutan, dan perusahaan lain atau semacam yayasan untuk menghasilkan produk baru. Hebatnya lagi, informasi tentang siapa yang akan mengelola proses recycle juga tertulis dalam setiap kotak sampah.
            Sementara itu pengelolaan sampah juga ada di stasiun kereta bawah tanah, atau shinkansen, pada saat para penumpang turun dari kereta ada petugas yang berdiri di depan pintu keluar dengan membawa kantong plastik sampah besar siap untuk menampung kotak bento dan botol kopi penumpang.[3]
            Rahasia sukses Jepang dalam mengelola sampahnya ada tiga faktor, yaitu tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, adanya rasa malu apabila membuang sampah seenaknya, dan yang ketiga adalah adanya edukasi sejak dini bagi anak-anak untuk memilah sampah sebelum dibuang. Awalnya masyarakat Jepang merasa cara ini sangat merepotkan, namun setelah merasakan manfaatnya lambat laun kebiasaan mereka mulai berubah.
            Dalam kaitannya dengan sosiologi, adanya gerakan masyarakat peduli lingkungan di Jepang yang disebut chonaikai merupakan suatu modal sosial. Modal sosial adalah suatu ikatan sosial antar manusia di dalam sebuah masyarakat yang sangat penting untuk membentuk kohesivitas sosial dalam mencapai tujuan masyarakat. Dengan kata lain modal sosial adalah suatu kekuatan untuk mencapai tujuan hidup bersama yang tidak mungkin dicapai secara personal.
            Dalam definisi lain, modal sosial merupakan bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi dengan tindakan-tindakan yang terkoordinasi, atau suatu kemampuan masyarakat untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama dalam berbagai komunitas. Chonaikai di Jepang ini ternyata mampu menciptakan kesadaran masyarakat, bahkan juga mampu menggerakkan masyarakat untuk ikut aktif mengatasi masalah sampah hingga akhirnya pemerintah Jepang mengesahkan UU tentang pengelolaan sampah.
            Dengan pengalaman seperti itu seharusnya bisa dijadikan pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Jepang awalnya juga memiliki pengelolaan sampah yang buruk, namun dengan adanya kesadaran yang tinggi masyarakatnya mulai berubah dan juga adanya dukungan dari pemerintah, bahkan Jepang butuh puluhan tahun agar dapat menyelesaikan masalah sampah dengan baik, tentu Indonesia dalam waktu sepuluh tahun juga bisa meniru Jepang. Selain itu di Indonesia juga telah banyak organisasi sosial yang peduli masalah lingkungan dan secara aktif terus menerus mengedukasi masyarakat agar peduli terhadap masalah lingkungan, baik melalui media massa maupun dengan mengadakan acara-acara bertema lingkungan. Tentunya ini merupakan modal sosial yang kuat di Indonesia.  
            Penyebab masalah persampahan di Indonesia selain dikarenakan belum dijalankannya prinsip 3R, juga karena kurangnya kedisiplinan warga dalam membuang sampah. Orang-orang Indonesia suka sekali membuang sampah sembarangan, meskipun di dekat mereka terdapat tempat sampah sekalipun. Bahkan sungai yang merupakan salah satu sumber daya alam yang harus dilestarikan kini dijadikan tempat sampah, sehingga tidak heran kalau air sungai di Indonesia hampir semuanya sudah terpolusi.
            Negara-negara maju seperti Belanda dan Jepang awalnya juga mengalami masa-masa seperti di Indonesia. Di Indonesia sendiri kampanye lingkungan hidup juga sangat gencar, apalagi kampanye tentang 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Kesadaran masyarakat sedikit demi sedikit juga sudah mulai terbangun walau belum terlalu banyak yang melakukan. Ini artinya masih ada harapan bagi Indonesia untuk dapat membangun kesadaran warganya dalam mengelola sampah secara mandiri juga adanya UU dari pemerintah untuk mengatur masalah persampahan, bahkan bila perlu juga adanya sanksi bagi tiap orang yang membuang sampah sembarangan.
            Saya berharap sepuluh tahun mendatang Indonesia juga dapat meniru sistem pengelolaan sampah seperti yang dilakukan Jepang dan memiliki teknologi recylce yang bagus. Selain itu diharapkan juga munculnya kesadaran dan kedisiplinan masyarakat dalam mengelola sampah-sampah itu.  Karena dengan sistem dan teknologi yang canggih tidak akan berguna apabila tidak ada kesadaran dari masyarakat.
            Dalam mengatasi masalah persampahan, tentu bisa ada hal-hal sederhana yang bisa dilakukan oleh kita sendiri dan dapat dimulai saat ini juga.  Hal-hal sederhana itu adalah dengan melakukan pengolahan sampah secara sederhana, yaitu dengan melakukan prinsip 4R (replace, reduce, reuse, dan recyle).
            R pertama adalah replace, yaitu mengganti. Gantilah barang-barang yang kita punya dengan barang yang ramah lingkungan, misalnya menggunakan kantong plastik yang dapat didaur ulang. R kedua adalah reduce, yaitu mengurangi sampah. Mengurangi sampah dapat dilakukan dengan cara membawa tas belanja sendiri untuk mengurangi sampah kantong plastik pembungkus barang belanja, membeli kemasan isi ulang untuk shampoo dan sabun daripada membeli botol baru setiap kali habis.
            R berikutnya adalah reuse, atau menggunakan barang yang masih bisa digunakan. Contohnya adalah dengan memanfaatkan botol-botol bekas untuk wadah, memanfaatkan kantong plastik bekas kemasan belanja untuk pembungkus, dan memanfaatkan pakaian atau kain-kain bekas untuk kerajinan tangan, perangkat pembersih (lap), maupun berbagai keperluan lainnya
            Dan R yang terakhir adalah recycle atau mendaur ulang sampah, contohnya adalah mengumpulkan kertas, majalah, dan koran bekas untuk di daur ulang, mengumpulkan sisa-sisa kaleng atau botol gelas untuk di daur ulang atau
menggunakan berbagai produk kertas maupun barang lainnya hasil daur ulang.
             Selain itu yang terpenting adalah tidak membakar sampah sembarangan karena dapat menyebabkan polusi udara dan bisa saja ada kandungan kimia dalam sampah yang berbahaya jika dibakar.

DAFTAR PUSTAKA

Internet

Anonim. Pengolahan Sampah di Negara-Negara Maju, diakses pada 16 Oktober 2012 dari www.abatasa.com

Herdiawan, Junianto. 2012 Rahasia Sukses Pengolahan Sampah Di Jepang Part 2, diakses pada 16 Oktober 2012 dari www.juniantoherdiawan.com


[1]  Pengolahan Sampah di Negara-Negara Maju, dari www.abatasa.com
[2] Herdiawan, Junianto. Rahasia Sukses Pengolahan Sampah Di Jepang Part 2, diakses dari juniantoherdiawan.com
[3]  Dari artikel Pengolahan Sampah di Negara-Negara Maju, diakses dari www.abatasa.com