Jumat, 22 April 2016

PERDAGANGAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) SEBAGAI ANCAMAN TERHADAP KEAMANAN LINGKUNGAN HIDUP



Studi keamanan tradisional pada awalnya lebih berfokus pada usaha negara dalam memperkuat pertahanan dan keamanannya agar mampu menghadapi serangan militer atau mengimbangi kekuatan negara lain sehingga tercipta suatu perasaan aman dalam negara tersebut. Seiring perkembangan zaman, ancaman keamanan nasional bukan hanya dari adanya serangan militer tapi juga ancaman yang berasal dari dalam negara itu sendiri, sehingga saat ini muncul studi keamanan non tradisional yang membahas ancaman keamanan yang tidak berasal dari serangan militer.
             Jika pada awalnya keamanan tradisional lebih berpusat pada keamanan negara, keamanan non-tradisional saat ini lebih berpusat pada keamanan individu sehingga disebut sebagai human security. Beberapa unsur yang terdapat dalam bahasan human security adalah keamanan dalam bidang ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan hidup, personal atau individu, politik, dan komunitas.
            Salah satu unsur dalam human security yang saat ini telah menjadi isu penting dalam perpolitikan internasional adalah mengenai environment security atau keamanan lingkungan hidup. Kasus yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah adanya masalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang banyak dihasilkan oleh negara yang memiliki industri maju, seperti di Eropa, Amerika Serikat, atau Jepang.
            Limbah B3 adalah jenis limbah yang mengandung bahan berbahaya atau beracun dalam sifat dan konsentrasinya sehingga baik langsung maupun tidak langsung dapat merusak atau mencemarkan lingkungan atau membahayakan kesehatan manusia. Limbah yang termasuk dalam B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus. Bahan-bahan ini termasuk limbah B3 memiliki karakteristik seperti mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan bila diuji dengan toksikologi dapat digolongkan pada limbah B3.[1]

Rabu, 06 April 2016

Job Seeker Experience (Part1)

Halo. Numpang curcol sedikit. Beberapa hari ini aku sebagai mahasiswa freshgraduate tidak berguna telah berstatus sebagai job seeker. Baru beberapa hari, dan tentu saja belum membuahkan hasil, mengingat ijazah juga belum diberi. Tapi pengalaman beberapa hari mencari kerja tadi sepertinya boleh juga untuk dibagi.
               Mengenai mencari kerja, ada hal menarik yang aku temui. Tadi sore aku melihat sebuah iklan lowongan kerja dari salah satu perusahaan minyak di Indonesia. Perusahaan itu membuka lowongan bagi freshgraduate alias sarjana. Ada salah seorang commenters (yang entah namanya siapa) mengeluhkan kalau lowongan-lowongan pekerjaan itu hanya bagi yang sarjana, sedangkan bagi dia yang punya pengalaman kerja tapi tidak sarjana tidak bisa mendaftar. Tidak hanya satu commenters, tapi ada satu dua orang lainnya yang berkomentar senada.
               Melihat komentar itu rasanya ingin tertawa. Tertawa miris lebih tepatnya. Dia punya pengalaman bekerja tapi tidak sarjana. Sedangkan aku? Aku adalah sarjana, tapi tidak punya pengalaman kerja, jadi sama saja tidak bisa mendaftar ke lowongan tersebut.
               Dalam beberapa hari aku rajin membuka koran dan internet, termasuk berkeliling ke berbagai tempat di mana iklan lowongan kerja ditempel, ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil,yaitu:
1.      Rata-rata lowongan pekerjaan yang tersedia adalah sales dan marketing
Sejauh yang aku temukan, 80% lowongan yang terpampang nyata itu sebagian besar adalah perusahaan yang membutuhkan sales yang sepertinya harus keliling ke mana-mana untuk menawarkan barang. Terbanyak kedua adalah marketing atau agen pemasaran (aku nggak tahu apa bedanya dengan marketing). Kedua jenis pekerjaan itu tidak bisa aku ambil karena tidak sesuai dengan latar belakang ilmuku. Selain itu aku juga nggak punya relasi yang luas, jadi intinya kedua jenis pekerjaan tadi harus dicoret dari daftar.
               Lowongan terbanyak ketiga adalah akuntan dan juga admin, yang biasanya terkait dengan keuangan. Jadi kedua jenis tadi berhubungan dengan keuangan, dan jelas harus dicoret pula. Lagipula aku paling nggak bisa menghitung.
               Lowongan berikutnya adalah desain grafis. Banyak sekali perusahaan yang membutuhkan orang yang ahli photoshop. Bahkan admin les kursus bahasa juga mensyaratkan kemampuan phostoshop, entah apa hubungannya.
               Lowongan lain-lain biasanya guru bahasa Inggris untuk anak-anak. Agak ragu-ragu mau mengambil pekerjaan itu karena tidak pernah mengajar.., ada juga satu lembaga kursus yang cukup terkenal yang juga mencari guru bahasa Inggris. Tapi sayangnya mensyaratkan pengalaman hidup di luar negeri. Gagal lagi.
2.      Kebanyakan lowongan mensyaratkan pengalaman kerja, jarang ada lowongan bagi freshgraduate
Ada beberapa jenis pekerjaan yang sebenarnya aku mampu, persyaratan memadai, tapi terganjal karena tidak adanya pengalaman bekerja sebelumnya. Sayang sekali. Sekalipun ada lowongan freshgraduate, biasanya tidak sesuai jurusan kuliah.
3.      Lebih mudah mencari jenis pekerjaan yang tidak mensyaratkan keahlian tertentu
Kebanyakan lowongan yang terpampang di mana-mana adalah pekerjaan kasar, misalnya penjaga toko, pelayan kafe, supir, dll. Yang aku maksud ‘kasar’ di sini adalah jenis pekerjaan yang nggak mensyaratkan pendidikan tinggi. Biasanya mereka menerima orang-orang lulusan SD sampai SMA saja. Yang lulusan S1 tapi menganggur dan tidak punya potensi karena tergolong biasa-biasa, biasanya tetap nggak dipilih karena bos memprioritaskan mereka yang cuma lulusan sekolah. Walhasil, menganggurlah kami para sarjana tidak berguna ini. Perusahaan besar nggak menerima,... yang kecil apalagi.
Selain berbagai kendala di atas, ada hal lain yang aku amati. Secara umum, berbagai lowongan pekerjaan kebanyakan hanya tersedia bagi lulusan ekonomi, akuntansi, psikologi, IT, desain, pajak, komunikasi, sastra, dan administrasi. Mungkin agak jarang lowongan untuk jurusan yang berkaitan dengan ilmu politik seperti aku. Sejauh ini aku nggak pernah menemukan lowongan untuk jurusan Hubungan Internasional. Bahkan Kedubes AS di Indonesia mencari tenaga IT, bukan lulusan HI.
Jadi berpikir, apa sih gunanya ilmuku? Toh, di dunia kerja nggak dibutuhkan. Mana ada perusahaan yang butuh analis politik internasional?
Aku nggak menyalahkan jurusanku dan nggak mau membahas sejarah salah jurusan yang dulu. Mungkin masih banyak jurusan lainnya yang nggak terlalu populer di dunia kerja alias kurang dicari. Pertanyaannya adalah..., berarti banyak jurusan di bangku perguruan tinggi itu yang mubazir? Alias kurang dibutuhkan bagi kehidupan sehari-hari? Maaf-maaf aja, sebenarnya aku juga yakin kalau nggak ada ilmu yang nggak berguna.
Atau pertanyaannya..., sebenarnya saat kuliah kita sedang mencari kerja atau cari ilmu? Ada orang yang mengambil kuliah jurusan akuntansi karena lowongan kerja akuntan sangat banyak, menghasilkan banyak uang pula. Sebaliknya bagaimana jika ada orang yang mengambil jurusan, misalnya sejarah, karena dia sangat menyukai sejarah, memiliki passion, dan semata-mata ingin belajar tentang sejarah? Sedangkan lowongan kerja adanya cari akuntan lagi akuntan lagi.
Dulu waktu SMA, pertanyaan yang muncul dari kami anak newbie ke mahasiswa yang lagi promosi kampusnya adalah,”Kalau kuliah itu nanti jadi apa?”
Aku inget banget, salah satu mahasiswa jurusan filsafat menjawab,”Kalian kuliah cari uang atau cari ilmu?”
Beberapa minggu lalu aku ketemu adik kelas semester dua yang masih polos. Mereka bertanya,”Lulusan Hubungan Internasional itu, nanti jadi apa?”

Well...., aku juga belum tahu bakal jadi apa. Hehehe. Masih berusaha.

Rabu, 16 April 2014

TEORI MOBILISASI SUMBER DAYA


            Terdapat berbagai definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli mengenai konsep gerakan sosial. Secara umum, gerakan sosial adalah suatu tindakan kolektif dalam masyarakat atau kelompok yang digerakkan oleh orang-orang yang merasa tidak puas dengan struktur sosial yang ada dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan mengubah struktur sosial dengan menggantikan dengan struktur sosial yang baru. [1]
            Selanjutnya terdapat pula berbagai teori yang menjelaskan tentang gerakan sosial ini. Salah satunya adalah teori pengerahan sumber daya yang berkembang pada rahun 1970-an. Teori ini menekankan pentingnya sumber daya dalam perkembangan dan keberhasilan suatu gerakan sosial, misalnya dalam bentuk pengetahuan, uang, media, tenaga kerja, kesetiakawanan, legitimasi, dan berupa dukungan bagi gerakan tersebut, baik dukungan internal maupun dukungan eksternal dari elit penguasa.
            Asumsi utama teori ini adalah gerakan sosial dapat berkembang ketika individu yang merasa tidak puas tersebut mampu untuk mengerahkan sumber daya yang cukup untuk bertindak melalui sebuah gerakan. Teori pengerahan sumber daya atau mobilisasi sumber daya ini adalah menawarkan  penjelasan mengapa sekelompok individu yang tidak puas mampu mengorganisasi suatu gerakan sedangkan yang lain tidak.
            Beberapa asumsi dari teori mobilisasi sumber daya antara lain:
  1. proses perubahan dalam suatu masyarakat modern pasti terjadi karena terdapat banyak perbedaan pandangan politik yang memunculkan ketidakpuasan di dalamnya. Hal ini membuat para aktor berpikir secara rasional untuk mempertimbangkan biaya dan manfaat dari calon anggota yang akan direkrut sehingga terlibat dalam suatu gerakan.
  2. komitmen dari anggota gerakan dijaga melalui pembentukan identitas kolektif secara berkelanjutan melalui hubungan antar pribadi tiap anggotanya. Hal ini dilakukan untuk menghadapi ketidakpastian pengumpulan sumber daya organisasi
  3. gerakan sosial membutuhkan suatu kemampuan memimpin karena kemampuan untuk mengorganisasi dapat mengubah ketidakpuasan kolektif menjadi suatu gerakan sosial.
  4. organisasi gerakan sosial dapat menjadi sarana pengumpulan sumber daya dalam mendukung aktivitas gerakan, seperti dana, peralatan, akses media, dll.
  5. suatu gerakan seringkali menghadapi ketidakpastian dalam usaha mengumpulkan dan menggerakkan sumber daya, karena hal tersebut tergantung pada pengelolaan organisasi dan sumber daya yang dimiliki, sehingga tidak ada pola yang jelas dalam pengembangan gerakan atau metode umum dari gerakan sosial tersebut.[2]  
Berdasarkan uraian tadi dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial akan muncul bila didukung oleh ketersediaan sumber daya, seperti adanya dukungan kelompok koalisi, dana, upaya pengorganisasian yang efektif, dan juga ideologi. Teori mobilisasi sumber daya ini menolak penjelasan tentang adanya peran perasaan atau faktor psikologis dalam menjelaskan fenomena gerakan sosial karena menurutnya suatu gerakan muncul akibat dukungan dari sumber daya tersebut.[3]


DAFTAR PUSTAKA


BUKU
Maarif, Syamsul. 2010. Bahan Ajar Sosiologi. Perilaku Kolektif & Gerakan Sosial. Yogyakarta: Gress Publishing

INTERNET
Riyan. 2012. “Teori Gerakan Sosial”. Dari http://riyanpgri.blogspot.com/2012/11/teori-gersos.html  (diakses 12 Februari 2012 jam 18.50)



[1] Maarif, Syamsul. 2010. Bahan Ajar Sosiologi. Perilaku Kolektif & Gerakan Sosial. Yogyakarta: Gress Publishing halaman 53
[2] Ibid,. Halaman 68-70
[3] Riyan. 2012. “Teori Gerakan Sosial”. Dari http://riyanpgri.blogspot.com/2012/11/teori-gersos.html  diakses 12 Februari 2012 jam 18.50

Senin, 04 November 2013

It's Nothing

That time... I was in the dark...

            Day by the day, and I still asking to myself, why am I still alive? How long I should stay here... how long? I see myself,  will not be able to see again, can’t walk, can’t breath... but now I still here against everything, struggle, try to stay alive. Feel the pain isn't that easy, but i can forget it.

            Then I ask to my self again, what I’m living for?
           
            Year by year after that.., I just forget how I really really want it... how much I wanna go away from here, how I kill my own dream, and lost my mind.

            And you remind me about that... I realize something that I’ve forget. And I just say to myself, that ‘thing’, isn’t a bad idea... you remind how much I really want it. I just remember, I don’t wanna do that for now.


            Sometimes try to stay alive is more killing than the death itself...

Sabtu, 05 Oktober 2013

TEORI DALAM REGIONALISME


            Regionalisme dapat diartikan sebagai sebuah pengelompokan negara-negara berdasarkan region atau kawasan. Seiring dengan perkembangannya, pengelompokan tersebut tidak hanya berdasarkan kawasan tapi juga persamaan tertentu misalnya persamaan budaya, sejarah, ataupun kepentingan yang ingin dicapai. Regionalisme bertujuan untuk memudahkan kerjasama antar negara-negara yang berada dalam suatu kawasan untuk mencapai tujuan regional bersama.
            Adanya fenomena globalisasi yang terjadi saat ini seolah mengakibatkan penyatuan wilayah, baik secara geografis, ekonomi, politik, dan budaya. Adanya kebutuhan antar negara dan interaksi yang semakin erat kemudian mendorong terjadinya pengelompokan negara-negara dalam sebuah unit kecil  yang disebut dengan konsep region atau kawasan. Hal ini dimaksudkan untuk semakin mempermudah kerjasama antar negara.
            Adanya regionalisme ini dapat dikatakan sebagai hasil dari globalisasi. Globalisasi tersebut semakin terlihat dari adanya saling ketergantungan antar negara yang terwujud dalam suatu bentuk regionalisme. Maka dari itu, regionalisme dapat dijelaskan menggunakan teori interdependensi struktural yang memandang bahwa adanya perubahan merupakan dampak dari perkembangan teknologi dan meningkatnya kebutuhan ekonomi. Perkembangan teknologi dan meningkatnya kerjasama ekonomi tersebut merupakan beberapa implikasi dari adanya globalisasi itu sendiri.
            Dapat dikatakan adanya globalisasi ini mendorong meningkatnya kebutuhan suatu negara sehingga membutuhkan negara-negara lain untuk saling bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan maupun kepentingan atau national interest, misalnya seperti pemenuhan kebutuhan ekonomi ataupun keamanan. Kerjasama ini kemudian memunculkan berbagai bentuk regionalisme tersebut.
            Regionalisme dapat menjawab kebutuhan untuk mengadakan integrasi kawasan yang meningkat. Selain itu organisasi regional dapat digunakan melawan dampak negatif kapitalisme dari globalisasi yang mengancam perekonomian lokal. Jadi, adanya interdependensi tersebut semakin mendorong terbentuknya suatu integrasi politik.
           

SUMBER: Farrel, Mary. Hettne, Bjorn. 2005.Global Politics of Regionalism Theories and Practice. London: Pluto Press

REGIONALISME



            Adanya fenomena globalisasi yang terjadi saat ini seolah mengakibatkan penyatuan wilayah, baik secara geografis, ekonomi, politik, dan budaya. Adanya kebutuhan antar negara dan interaksi yang semakin erat kemudian mendorong terjadinya pengelompokan negara-negara dalam sebuah unit kecil atau subsistem yang disebut dengan konsep region atau kawasan. Hal ini dimaksudkan untuk semakin mempermudah kerjasama antar negara.
Regionalisme dapat diartikan sebagai pembagian aktor-aktor hubungan internasional berdasarkan region atau kawasan. Regionalisme tersebut bertujuan untuk memudahkan kerjasama antar negara-negara yang berada dalam suatu kawasan untuk mencapai tujuan regional bersama.
Sebenarnya regionalisme dibentuk karena negara memiliki letak geografis yang saling berdekatan, namun bisa juga karena persamaan identitas, seperti budaya atau bahasa. Selain itu dapat bersifat non geografis karena adanya aktivitas politik dan ekonomi antar negara tanpa melihat negara tersebut saling berdekatan atau tidak.  
            Regionalisme mulai berkembang setelah Perang Dunia II, karena negara di dunia mulai banyak terlibat dalam kegiatan kerjasama internasional. Akibatnya, negara-negara tersebut membentuk blok-blok tertentu atau organisasi internasional berdasarkan wilayah yang bertujuan untuk semakin mempermudah kerjasama dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ekonomi, politik, militer, sosial budaya, dan lain sebagainya. Sebagai contoh misalnya ASEAN (Association of South East Asia Nation).
  Selain fenomena globalisasi tersebut, liberalisme juga semakin meluas dan membuat perdagangan bebas semakin berkembang pesat. Akibatnya organisasi-organisasi regional tersebut kemudian lebih bergeser ke motif ekonomi sebagai tujuan utamanya, sehingga muncul pula blok-blok perdagangan bebas berdasarkan wilayah untuk mempermudah jalannya perdagangan bebas antar negara anggota. Dalam blok perdagangan tersebut kemudian terdapat kesepakatan antar aktor dalam membuat aturan perdagangan bebas yang dilakukan. Misalnya CAFTA (China-ASEAN Free Trade Area) yang merupakan kerjasama perdagangan bebas antara China dengan negara anggota ASEAN.
Secara umum, regionalisme terjadi kerena dua faktor, yaitu faktor domestik dan faktor dari luar atau internasional. Faktor domestik adalah adanya interest group dalam negara yang mempengaruhi kebijakan luar negeri ataupun karena adanya kebijakan dari pemerintah negara itu sendiri. Sedangkan faktor luarnya adalah adanya national interest dari negara itu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari kerjasama regional, kebutuhan akan keamanan bersama, ataupun untuk mendapatkan pengaruh di dunia internasional karena bergabung dengan beberapa negara.

Berdasarkan tujuannya, bentuk regionalisme terbagi menjadi dua, yaitu[1]:
1.      Form of Regional Security Integration ,yaitu bentuk regionalisme yang berkaitan dengan keamanan.
a.       Cooperative Security, dibentuk untuk menciptakan keamanan bersama dengan rasa saling percaya
b.      Collective Security, dibentuk untuk menciptakan kekuatan bersama untuk mengantisipasi musuh yang belum diprediksi, misalnya teroris.
c.       Aliansi, suatu bentuk kekuatan bersama yang memiliki musuh yang sudah pasti. Misalnya antara NATO dengan Pakta Warsawa

2.      Form of Regional Economy Integration ,yaitu bentuk regionalisme dengan tujuan ekonomi
a.       Free Trade Area, adalah kawasan perdagangan bebas dengan adanya pengurangan pembebasan tarif sesuai kesepakatan
b.      Custom Union, adalah penyamaan kebijakan luar negeri
c.       Common Market, adalah Custom Union yang ditambah dengan pemberlakukan pasar bebas
d.      Economic Union, adalah Common Market ditambah dengan penyamaan kebijakan ekonomi negara
e.       Monetary Union, adalah Economic Union dan penyamaan mata uang, contohnya Uni Eropa yang menggunakan euro.


SUMBER:

D. Coleman, William. R.D Underhill Geofey (ed.). 2002. Regionalism And Global Economic Integration: Europe, America, And Asia. New York : Routledge  



Rabu, 10 Juli 2013

KONTRIBUSI TEORI KRITIS DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

Banyak fenomena yang berkembang dalam Hubungan Internasional saat ini sehingga tidak hanya bisa dijelaskan oleh teori yang sudah ada selama ini. Misalnya banyak fenomena Hubungan Internasional yang muncul selain damai dan perang. Karena itu pemikiran Hubungan Internasional berkembang dalam tahapan yang ditandai oleh perdebatan khusus antara kelompok-kelompok penstudi. Perdebatan besar pertama adalah utopian liberalisme dan realisme. Perdebatan besar kedua adalah pada metode antara pendekatan tradisional dan behavioralisme dan perdebatan besar ketiga adalah antara neorealisme/neolibrealisme dan neo-Marxisme dan yang keempat adalah antara tradisi yang mapan dengan alternatif-alternatif pospositivis. Pada perdebatan keempat tersebut diangkat isu-isu metodologi maupun isu-isu pokok. [1]
      Pospositivis merupakan paham yang luas, mencakup pandangan-pandangan metodologis yang berbeda yaitu terdiri dari beberapa teori dan salah satunya adalah teori kritis, teori kritis adalah sekelompok ilmuwan di Jerman yang dikenal dengan nama Mazhab Frankurt. Teori kritis dalam Hubungan Internasional cenderung mirip dengan asumsi yang dikemukakan oleh Marxisme utamanya dalam hal ekonomi politik internasional. Teoritisi kritis dalam Hubungan Internasional terkemuka adalah Robert Cox dan Andrew Linklater.[2]
      Pada dasarnya teori kritis menolak postulat dasar positivisme yaitu realitas eksterna yang obyektif, perbedaan subjek atau objek, dan ilmu sosial bebas nilai. Menurut teori kritis dunia sosial adalah sebuah konstruksi dan sistem internasional yang terbentuk selama ini merupakan suatu bentuk konstruksi dan negara-negara kuat yang berkuasa di dunia.
      Bagi teori kritis pengetahuan bukan dan tidak dapat netral baik secara moral maupun secara politik dan ideologi. Semua pengetahuan cenderung mencerminkan kepentingan dari para pengamat. Pengetahuan sadar atau tidak memiliki kecenderungan menuju kepentingan, nilai, kelompok, golongan, kelas, bangsa, dan lain sebagainya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa teori Hubungan Internasional cenderung bias. [3]
      Menurut Robert Cox sebuah teori selalu untuk seseorang dan untuk tujuan tertentu (theory is always for someone and some purposes). Robert Cox lalu membagi pandangannya menjadi dua hal yaitu perbedaan antara pengetahuan penyelesaian masalah (problem solving knowledge) dan pengetahuan emansipatori (emancipatory knowledge). Yang termasuk ke dalam pengetahuan penyelesaian masalah adalah teori-teori positivis.[4] Teori-teori positivis tersebut hanya untuk menjelaskan fenomena yang terjadi saat ini namun tidak dapat melakukan emansipasi seperti yang diperjuangkan oleh teori kritis.
Selain itu tidak ada teori yang objektif karena sebuah teori biasanya berangkat dari sebuah perspektif. Misalnya teori power yang mempunyai asumsi awal berdasarkan paradigma realis yang menyatakan bahwa dunia internasional adalah anarki dan setiap negara selalu mengejar kepentingannya melalui konflik. Hal ini membuat teori tersebut lebih bersifat subjektif.
Teori-teori yang telah ada tidak objektif juga karena para ilmuwan sosial dianggap sebagai instrumen kekuatan dan politik semata sehingga teori kritis berupaya untuk mengetahui kepentingan politis dari teori-teori yang ada tersebut. Nilai dari teori tersebut didasarkan pada nilai-nilai politis daripada nilai akademis sehingga perdebatan teori yang terjadi selama ini merupakan perdebatan yang penuh dengan muatan kepentingan politik.
Fokus utama teori kritis adalah pada kekuatan dan dominasi dunia secara umum. Jadi di sini teori kritis ingin mencoba mendobrak dominasi global yang ada selama ini dengan cara memahami kondisi yang menopang bentuk-bentuk dominasi dalam Hubungan Internasional tersebut. Tujuan utama teori kritis adalah ingin membebaskan kemanusiaan dan struktur ekonomi politik dunia yang dikendalikan oleh sebuah kekuatan hegemoni, seperti Amerika Serikat. Tak hanya itu, teori kritis juga berupaya untuk menciptakan suatu emansipasi dari struktur sosial global yang dianggap telah menciptakan kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang dan miskin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori kritis ini memiliki banyak kesamaan dengan EPI Marxis.
Jadi kontribusi utama dari teori kritis terhadap Hubungan Internasional adalah untuk memahami dan menganalisa bentuk-bentuk dominasi struktural dalam dunia internasional yang dianggap merugikan sebagian pihak. Selain itu teori kritis juga berupaya untuk mengetahui kepentingan politis tersembunyi dalam teori-teori dan perdebatan yang terjadi dalam Hubungan Internasional. Dengan demikian tujuan akhir dari teori kritis ini adalah untuk merobohkan sistem ekonomi politik dunia yang dinilai hanya menguntungkan kekuatan-kekuatan besar dalam sistem politik internasional melalui hegemoni yang dibuatnya.
Sebagai contoh untuk menjelaskan kontribusi teori kritis ini misalnya kritik terhadap paradigma liberalisme. Asumsi dasar kaum liberalis adalah setiap individu pada dasarnya baik dan mau bekerja sama. Dengan adanya kerjasama itu kemudian dapat menciptakan perdamaian. Begitupula yang terjadi dalam politik internasional, bila negara-negara di dunia mau bekerjasama dan tergabung dalam suatu wadah atau organisasi internasional maka perdamaian dunia dapat dicapai.
Selain itu menurut liberalisme, perang dapat dihindari jika negara-negara yang ada di dunia mampu membangun dan menyejahterakan rakyatnya. Menurut liberalisme, untuk dapat membangun dan menyejahterakan negara, negara tersebut harus menerapakan sistem free trade atau perdagangan bebas. Hal ini kemudian diadopsi oleh banyak negara berkembang di dunia.
Awalnya saat era berakhirnya Perang Dunia negara-negara berkembang tidak banyak berpartisipasi dalam sistem perdagangan multilateral atau perdagangan internasional. Negara-negara berkembang tersebut lebih memilih untuk menerapkan kebijakan proteksi dan meningkatkan campur tangan negara dalam perekonomian. Namun seiring berkembangnya keadaan dan bergabungnya negara berkembang ke dalam GATT, Negara tersebut akhirnya harus melakukan penyesuaian struktural sesuai kesepakatan GATT yaitu menerakan liberalisasi perdagangan. negara-negara berkembang tersebut akhirnya membuka pasar domestiknya terhadap perdagangan internasional.
Namun hal ini kemudian dianggap merugikan bagi negara berkembang karena ekspornya cenderung kalah saing dengan produk-produk yang dijual oleh negara maju. Selain itu negara maju secara sepihak melakukan proteksi terhadap pasar domestiknya sehingga produk dari negara berkembang sulit masuk ke pasar negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang tersebut harus membuka pasar dalam negerinya untuk menerapkan liberalisasi perdagangan sehinggap produk asing lebih mendominasi pasar dalam negeri. Akibatnya industri di negara-negara berkembang tersebut terancam.
Negara berkembang yang merasa dirugikan tersebut lalu berusaha membuat perubahan dalam sistem perdagangan internasional. Mereka ingin adanya mekanisme pembagian keuntungan yang adil antara negara maju dengan negara berkembang. Tahun 1964 dibentuk UCTAD (United Nations Conference On Trade And Development) yang memperjuangkan kepentingan negara berkembang dalam  perdagangan dunia. Setelah itu dibentuk kelompok G77 untuk memperjuangkan reformasi, yaitu mekanisme pengurangan peran GATT dalam perdagangan internasional dan distribusi pedapatan pada negara berkembang. Lalu dibentuk New International Economic Order (NIEO) yang ingin negara berkembang mempunyai kontrol terhadap MNC asing di negaranya, kemudahan akses teknologi, pengurangan utang luar negeri, dan peran lebih dalam World Bank dan IMF (International Monetary Fund). Namun ternyata NIEO juga gagal karena negara-negara anggota di dalamnya mempunyai kepentingan yang beragam dan mengalami krisis sehingga butuh bantuan dana dari IMF dan World Bank. 
Pinjaman dana dari IMF untuk negara-negara tersebut cenderung digunakan untuk konsumsi dalam negeri daripada untuk peningkatan ekspor dan untuk pembangunan yang lebih produktif. Sebagai syarat peminjaman dana dari IMF maka negara tersebut harus melakukan penyesuaian struktural sesuai permintaan IMF, yaitu melakukan peningkatan peran pasar daripada peran negara. Menurut IMF, pembangunan negara dapat dicapai apabila menerapkan konsep tadi.
Dari yang telah dijelaskan sebelumnya, asumsi dasar teori kritis adalah sebuah teori atau paradigm yang ada merupakan suatu bentuk kepentingan politis dari sebuah kekuatan besar. Hal ini terlihat dalam perspektif liberalisme yang dianggap sebagai sebuah cara untuk melestarikan kepentingan negara maju saja dan menindas negara kecil.
Adanya forum atau organisasi perdagangan internasional seperti GATT atau WTO memaksa negara-negara yang tergabung di dalamnya untuk mengikuti kesepakatan yang ada seperti menerapkan liberalisasi perdagangan yang dianggap merugikan negara berkembang. Begitu juga dengan adanya IMF dan World Bank yang membuat negara-negara yang memperoleh bantuannya harus melakukan penyesuaian structural seperti permintaan IMF dan World Bank. Akibatnya terjadi dependensia antara negara berkembang pada IMF dan negara tersebut terpaksa harus tetap menuruti kepentingan IMF apabila ingin tetap mendapat pinjaman dana. Pada akhirnya negara tersebut sulit maju karena menggunakan dana pinjaman untuk hal yang kurang produktif dan akan terus terbebani dengan hutang luar negeri. Selain itu kebijakan negara tersebut akan cenderung didikte oleh kepentingan IMF yang di dominasi oleh negara-negara maju.
 Aturan perdagangan internasional selama ini hanya menguntungkan negara maju sehingga negara berkembang tidak dapat bersaing. Selain itu ketergantungan negara berkembang pada IMF membuatnya harus melakukan penyesuaian struktural sesuai kepentingan IMF sehingga menghambat kemajuan negara berkembang. Dengan demikian sesuai asumsi teori kritis bahwa kemiskinan dan kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang terjadi karena struktur yang ada sulit diubah dan struktur yang ada tersebut merupakan bentuk hegemoni dari negara maju saja. Meski sudah berusaha untuk mengubah struktur yang ada negara berkembang tersebut rupanya masih saja gagal untuk menciptakan keadilan dan pemerataan pendapatan. Dengan demikian negara-negara berkembang tersebut akan tetap kesulitan untuk dapat menjadi negara maju karena terdapat sebuah struktur yang ada ternyata menghambat kemajuan itu sendiri.
Berdasarkan contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa kontribusi teori kritis dalam studi Hubungan Internasional adalah untuk memahami bahwa terdapat dominasi struktural yang tidak adil dalam Hubungan Internasional yang tercermin dalam kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang akibat dari penerapan liberalisasi perdagangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa liberalisme merupakan sebuah kepentingan politis atas negara-negara maju untuk terus dapat menindas negara kecil. Akibat dari struktur yang dibentuk oleh liberalisme ini negara miskin akan tetap miskin sementara negara kaya semakin kaya. Oleh karena itu teori kritis berupaya membongkar fenomena ini dengan harapan dapat menciptakan dunia politik internasional yang lebih baik dan adil. Untuk mewujudkan harapan tersebut teori kritis berupaya menentang segala bentuk hegemoni dan merobohkan sistem ekonomi politik dunia yang tidak adil tersebut melalui studi Hubungan Internasional.



[1] Robert Jackson dan George Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional . hal 84
[2] Ibid. hal 299
[3] Ibid,. hal 300
[4] Ibid,.hal 300

Sabtu, 06 Juli 2013

COFFE CONVERSATION



                Aku terpaksa memenuhi permintaannya untuk minum kopi  bersama hari ini. Kami  memilih duduk di tepi jendela, dan aku menyibukkan diri dengan melihat pemandangan kota di sore hari sambil menikmati kopi panas ini, sampai akhirnya dia memulai pembicaraan.
                “Kita belum pernah saling sapa sejak pertama kali bertemu di kantor…” ujarnya sambil tersenyum.
                “Maaf,” aku agak terkejut setelah terlarut dalam lamunan tadi.
                “Kukira kau lupa siapa aku,…”
                “Oh, tidak aku… aku hanya bersikap profesional saja,” aku mencari alasan. Alasan yang tidak bagus menurutku dan hanya menyulitkanku saja bicara begitu.
                “Haha, kau memang begitu. Selalu profesional sejak dulu…” katanya lagi, entah memuji atau menyindirku. Aku tersenyum saja.
                “Baru sekarang kita bisa ngobrol, dan kamu sudah akan pergi ke London saja. Berapa lama kamu di sana?”
                “Mmm… mungkin sekitar empat tahun…”
                “Lama sekali ya?”
                “Aku juga ingin cepat lulus kuliah sepertimu jadinya tidak perlu selama itu. London… seperti apa di sana? Apa dingin sekali? Apa macet seperti di sini?”
                “Tentu saja dingin kalau musim dingin…”
                “Menyenangkan di sana?”
                “Di mana-mana aku selalu senang,”
                Aku tersenyum saja mendengar jawabannya. “Termasuk di sini?”
                “Tentu saja! Ini kampung halaman kita, seburuk apapun negara ini, ini rumah kita..”
                Aku diam.
                “Kau sendiri apa kau tidak senang di sini, jadi harus tiba-tiba ke London?”
                “Ini tidak tiba-tiba, aku berusaha mendapat beasiswa di sana sejak lulus kuliah dulu. Baru sekarang aku mendapat beasiswa S2 itu. Memang butuh waktu yang lama dan ini waktu yang tepat,..”
                “Senyummu palsu,…” katanya sambil tersenyum sekaligus menatapku dengan tajam.
                “Apa?”
                “Aku tahu kau pura-pura tersenyum saja padaku. Tidak apa-apa, aku tidak akan memaksamu berpura-pura begini.”
                Aku tidak tersenyum lagi. Aku menatapnya tajam.
                “Kau pergi karena menghindariku kan,”
                “Kenapa kau berpikir begitu?”
                “Itu hanya perasaanku saja,… apa benar begitu? Maafkan aku kalau aku salah,”
                “Tidak, kau memang benar. Beasiswa ini datang di saat yang tepat,”
                Dia menunduk. “Begitu,”
                “Maafkan aku,”
                “Kenapa kau minta maaf? Harusnya aku minta maaf padamu. Aku pasti berbuat salah hingga kau membenciku seperti itu.”
                “Lupakan saja,”
                “Sebenarnya apa salahku? Apa aku punya kesempatan untuk memperbaikinya? Aku tidak akan tenang hidup begini,”
                “Kau bicara apa, kau tidak salah. Kubilang lupakan, ceritakan padaku tentang London,” aku berusaha mengganti topic.
                “Sebenarnya apa salahku?”
                Aku menghela nafas. Aku sudah terjebak dalam pembicaraan yang tidak menyenangkan ini.
                “Kesalahanmu adalah… kau muncul lagi dihadapanku! Kenapa kau tidak ke London, New York, Tokyo, Mesir, Jerman, Belanda, Belgia, Hawai, Austra,…”
                “Apa?”
                “Ya! Kalaupun kau harus kembali ke sini, kenapa kau harus ingat aku? Kenapa harus di kantor yang sama? Kenapa kau jadi bosku? Kenapa juga kita harus bicara di sini! Kau puas?”
                “Aku tetap tidak mengerti alasanmu itu.”
                “….aku juga tidak tahu kenapa,”
                “Apa?”
                “Aku benci sekali tiap melihatmu sejak dulu. Oh, tidak… Dulu aku tidak membencimu. Aku hanya merasa tidak pantas berada di dekatmu, apalagi bicara denganmu. Tiap kali aku di dekatmu aku merasa bodoh, aku merasa buruk sekali dan aku benci itu. Kau tahu, aku memang profesional, aku tidak ingin terlihat buruk di mata semua orang, mereka harus memandangku seperti orang yang paling pintar dan rajin, dan… aku benci saat kau mengetahui kalau aku juga mendapat nilai jelek atau tak sepintar dirimu. Karena itulah aku kemudian membencimu,”
                “Kenapa kau berpikir begitu? Itu perasaanmu saja, merasa bodoh, apa-apaan itu?”
                “Ya, ketika kau pintar sekali, bisa menjawab semua teka-teki tersulit, mendapat nilai bagus, menanyakan hal-hal yang tidak dimengerti orang lain, mengkritisi semua hal, mendapat pujian, aku benar-benar…” nafasku tertahan.
                “Jadi ini semua karena kau merasa iri padaku?”
                “Aku hanya merasa tidak pantas untuk orang sebaik dirimu, itu saja. Mungkin aku memang iri, ya, aku mengakuinya. Aku juga ingin selevel denganmu, tapi… kau tidak akan pernah bisa melihatku meski aku berada di bawah cahaya terang kan,”
                Dia memandangku dengan sedih. Aku memang menyedihkan.
                “Gadis itu… apa kau masih bersamanya?” tanyaku tiba-tiba. Hal itu muncul seketika di kepalaku.
                “Oh… ya,” jawabnya datar. Dia seakan tidak ingin aku menanyakan itu lebih lanjut dan segera menyela sebelum aku menimpali.
                “Kenapa kau merendahkan dirimu sendiri, padahal aku tidak pernah berpikir begitu, maksudku… aku tidak peduli apa orang itu sempurna atau tidak,… aku sendiri juga sangat bodoh, sebenarnya aku tidak punya apa-apa untuk disombongkan,”
                “Aku tidak memahami diriku sendiri. Haha, aku memang tidak memahaminya. Karena aku membencimu aku tidak ingin melihatmu, aku ingin kau enyah dari bumi, aku berharap kau menghilang selamanya. Kenapa kau tidak menghilang saja! Aku kesal saat kau selalu saja ada di sekitarku tanpa diundang!”
                Dia mendengarkan.
                “Tapi… saat kau tidak ada aku malah mencarimu, tidak, aku tidak mencari sebenarnya, aku hanya bertanya-tanya kenapa kamu tidak ada? Apa kamu bolos? Apa kamu ketiduran? Apa kamu sakit? Hahaha, bodoh sekali aku ini! Saat aku melihatmu aku merasa sesak, aku sakit sekali, seperti tidak bisa bernafas, tapi saat kau hilang, aku juga merasa sakit… Apa yang harus aku lakukan? Apa? Kenapa kau menyiksaku seperti ini?”
                “Maafkan aku,…”
                “Sudah kubilang, kau tidak perlu minta maaf. Aku mengerti sekarang kenapa aku merasa sakit seperti ini, aku bukan membencimu, aku hanya membenci diriku sendiri yang bodoh ini,”
                Dia menghela nafas. Aku memandang keluar jendela. Mulai gelap  dan hening.
                “Aku tidak akan menyiksamu lagi, aku yang akan pergi,”
                Aku menatapnya lagi dengan terkejut.
                “Apa?”
                “Aku akan menghilang dari hidupmu, kau tidak akan merasa sakit lagi mulai sekarang,”
                Aku tertawa meremehkannya.
                “Apa kau ingin membunuhku?”
                “Membunuh?”
                “Kau pergi pun itu sama saja sekarang, aku akan merasa kehilangan, dan yang paling parah aku akan merasa bersalah sekali telah mengakui ini semua, ternyata kau benar-benar jahat,”
                “Tidak akan seperti itu,…”
                “Aku sendiri yang akan pergi. Cuma ini satu-satunya cara aku melupakan semuanya. Kalau aku pergi aku tidak akan merasa kehilanganmu, aku akan merasa lega. Aku tidak peduli harus ke mana, aku ingin pergi sejauh-jauhnya.”
                “Baiklah. Aku tidak akan menghalangimu, lakukan apa maumu,”
                “Terimakasih,”
                “Tapi…. Aku tidak yakin semua akan baik-baik saja saat aku pergi. Maksudku… meski kau pergi ke bulan atau ke planet lain untuk melupakan aku, aku tidak yakin kau akan tenang,”
                “Kenapa?” tanyaku setelah meminum kopinya yang kini dingin.
                “Masalahmu bukan karena kau membenciku atau benci dirimu sendiri, tapi karena kau tidak jujur pada dirimu sendiri. Katakan saja yang sebenarnya, aku tidak akan marah, aku tidak akan mengejekmu atau apa, apakah ada yang ingin katakan padaku?”
                Aku menatapnya dengan bingung.Beberapa detik kemudian aku berpikir, mungkin benar yang ia katakan, tapi apa….?
                “Aku tidak tahu.”
                “Tidak tahu?”
                “Ya, aku tidak tahu… bukan, bukan! Aku hanya tidak yakin tentang itu,”
                “Aku akan menunggumu sampai kau yakin.. meski sampai besok aku di sini,…”
                “Jangan memaksaku! Lupakan saja semua dan mulai hidup baru. Aku tidak akan membencimu seperti tadi, mulai sekarang aku akan menyapamu, aku akan baik padamu. Apa perlu aku telepon tiap hari dari London supaya kau percaya kalau aku baik-baik saja? Kita anggap ini hari perkenalan kita, bagaimana?” aku memasang wajah ceriaku yang sejak tadi hilang.
                “Sampai kapan kau mau membohongi dirimu sendiri seperti itu? Kau menyiksa dirimu sendiri!”
                Aku terdiam. Ada apa dengan orang ini? Kenapa begitu susah bagimu lupakan saja semua, aku sudah menyesal bicara panjang lebar sejak tadi. Kalau tahu begini aku pergi saja dan tidak minum kopi denganmu!
                “Gadis itu, siapa namanya? Dia juga pernah ke London kan?” aku memaksakan diri mengubah topik pembicaraan.
                “Gadis itu? Siapa? Kau bicara Apa? Bukan itu yang ingin aku dengar,”
                Aku tidak tahan lagi. Aku pergi saja dari sini. Aku bangkit dari kursiku.
                “Katakan saja kau mencintaiku! Kau tidak perlu membohongi dirimu sendiri lagi! Kau menyiksa dirimu sendiri! Sampai kapan kau akan bertahan seperti itu?”
                Aku terdiam. Aku bahkan tidak sanggup menoleh. “Apa-apaan ini? Dasar brengsek!” Mataku sudah berkaca-kaca. Tiba-tiba aku teringat kata-kata seorang teman, seakan dia sendiri yang sedang bicara padaku saat ini, di sebelahku.
                “Hahaha, cuma orang bodoh yang tidak tahu kalau kau menyukainya! Sangat aneh kalau dia sendiri tidak tahu, hahaha!” Ia meledekku waktu itu.
                “Jadi kau memang tahu?” aku bicara dengan lirih.
                “Tidak, aku tidak tahu! Makanya aku menanyakannya padamu sekarang!”
                “Haha, dasar bodoh,”
                Lalu aku pergi.